THE NAUGHTIEST GIRL AGAIN by Enid Blyton Djvu: kiageng80 Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net SEKALI LAGI SI PALING BADUNG Alih bahasa: Djokolelono Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Dicetak oleh Percetakan Duta Prima. Jakarta Daftar Isi 1. Kembali ke Whyteleafe 2. Kehidupan di Sekolah Dimulai 3. Elizabeth Mendapat Musuh 4. Apa yang Terjadi di Rapat Besar 5. Elizabeth Sangat Marah 6. Tikus Putih Jenny 7. Kathleen Terlibat Kesulitan 8. Rapat Sekolah Sekali Lagi 9. Kathleen Mulai Bertindak 10. Keributan di Dalam Kelas 11. Persoalan Semakin Gawat 12. Rapat yang Menegangkan 13. Robert Diberi Kesempatan 14. Hari Pertandingan 15. Kathleen Mengaku 16. Kathleen Melarikan Diri 17. Menjernihkan Suasana 18. Suasana Membaik 19. Minggu yang Damai 20. Pertandingan Lacrosse 21. Akhir Pertandingan 22. Elizabeth Mendapat Kesulitan Lagi 23. Kejutan bagi Joan 24. Pengalaman yang Mengerikan 25. Elizabeth Sangat Mengesalkan 26. Kejutan Manis 1. Kembali ke Whyteleafe Elizabeth begitu gembira. Libur musim panas yang panjang hampir usai. Dan kini ia mulai bersiap-siap untuk kembali ke sekolah. Ibunya, Nyonya Allen, ikut sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Elizabeth membantu memasukkan barang-barang ke dalam kopor besarnya. "Oh, Ibu, bayangkan! Betapa senangnya. Aku akan bertemu dengan sahabat-sahabatku lagi!" kata Elizabeth. "Betapa senangnya kembali ke Whyteleafe. Masa pelajaran musim dingin pasti sangat menggembirakan." Nyonya Allen memandang Elizabeth dan tertawa. "Elizabeth," katanya. "Ingatkah kau dulu, waktu pertama kali pergi ke Sekolah Whyteleafe? Ribut sekali! Kau berjanji akan berbuat begitu nakal dan badung agar segera diusir dari sekolah itu. Sekarang senang hatiku melihatmu hampir tak sabar untuk berangkat ke sana." "Oh, Ibu, waktu itu aku memang begitu bodoh dan tolol," kata Elizabeth, pipinya me- merah malu bila mengenang tingkahnya beberapa bulan sebelum itu. "Sungguh memalukan, bila kuingat apa yang kulakuan dan apa yang kukatakan! Ibu tahu, aku bahkan tak mau membagikan kue dan makanan yang kubawa! Dan aku begitu kurang ajar dan nakal di dalam kelas-dan aku tak mau pergi tidur pada waktu yang ditetapkan, atau mengerjakan apa pun yang harus kulakukan! Waktu itu aku memang telah memutuskan untuk bisa segera dikirim pulang!" "Dan ternyata pada akhirnya kau memilih tinggal di asrama sekolah itu," kata Nyonya Allen tersenyum. "Yah, kuharap semester ini kau tidak dijuluki si paling badung lagi." "Kuharap saja tidak," kata Elizabeth. "Tapi aku juga tidak mau berjanji untuk menjadi anak yang terbaik, sulit bagiku. Ibu sendiri tahu, betapa mudahnya aku marah, betapa seringnya aku bertindak tanpa berpikir lebih dahulu. Aku yakin aku akan terlibat dalam suatu kesulitan. Tetapi tak apa. Kesulitan apa pun pasti bisa kuatasi. Pokoknya aku akan berusaha keras untuk berkelakuan baik semester ini." "Bagus," kata ibunya sambil menutup rapat-rapat kopor besar Elizabeth. "Lihatlah, Elizabeth. Ini kotak makananmu. Di sini ada sekaleng permen, sebuah kue cokelat yang besar, sekaleng biskuit, dan satu botol besar selai. Sudah penuh, tak bisa kutambah lagi. Tapi cukup, bukan?" "Oh, ya, cukup. Terima kasih. Ibu." kata Elizabeth dengan riang. "Teman-temanku juga pasti menyukainya. Mudah-mudahan ibu Joan juga membekalinya kotak makanan kali ini." Joan sahabat karib Elizabeth. Di libur musim panas ini Joan pernah tinggal di rumah Elizabeth. Alangkah senangnya mereka berdua. Kemudian Joan pulang, menghabiskan sisa liburannya yang tinggal seminggu atau dua ming-gu di rumahnya sendiri. Elizabeth sudah rindu pada sahabatnya itu. Alangkah senangnya tinggal satu asrama lagi, duduk di satu kelas dan bermain bersama dalam pertandingan-pertandingan. Elizabeth telah bercerita tentang kehidupan di Sekolah Whyteleafe kepada ibunya. Di sekolah itu semua murid bersama-sama membuat peraturan sendiri, mengatur diri mereka sendiri. Jarang mereka harus dihukum oleh guru-guru mereka. Ketua para murid terdiri dari dua orang: Ketua Murid Laki-laki dan Ketua Murid Perempuan. Mereka berdua bertindak sebagai Hakim, dibantu oleh Dewan Juri yang terdiri dari dua belas orang murid yang dipilih oleh murid-murid lain dan masing-masing diberi kedudukan sebagai Pengawas. Setiap keluhan atau rasa tidak senang terhadap sesuatu akan dibicarakan bersama dalam suatu pertemuan yang diberi nama Rapat Besar. Jika ada murid yang berbuat atau bertindak salah, maka anak-anak itu sendiri yang memikirkan harus diberi hukuman apa. Pada awalnya, Elizabeth seakan selalu menderita di Rapat-rapat Besar itu, sebab ia begitu badung dan bandel, hampir semua peraturan yang ada dilanggarnya. Tetapi kini ia sadar bahwa berkelakuan baik bukanlah hanya baik untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh sekolah. Ia tak sabar untuk memulai itu semua. Mungkin dalam semester ini ia bisa menunjukkan pada semua kawannya bahwa bukan saja ia bisa berlaku sangat nakal, tetapi ia juga bisa menjadi sangat baik. Ia berangkat keesokan harinya. Semuanya telah siap. Di antaranya ia juga membawa sebuah tongkat lacrosse(permainan bola. berasal dari pemainan orang Indian Amerika Dimainkan oleh dua tim masing-masing terdiri dari 10 orang, dengan membawa tongkat panjang berjaring.) dan tongkat hockey baru. Kedua permainan itu memang dimainkan di Whyteleafe, dan walaupun Elizabeth sama sekali belum pernah memainkannya ia bermaksud untuk mempelajarinya serta menguasainya dengan baik. Pasti ia akan bisa menjadi pelari yang paling cepat. Pasti ia akan menjadi pencetak gol yang paling banyak. Nyonya Allen membawa Elizabeth ke London untuk kemudian naik kereta api ke desa tempat Sekolah Whyteleafe berada. Elizabeth bagaikan menari di peron stasiun London saat dilihatnya beberapa sahabatnya sudah berada di sana. "Joan!" serunya. "Kau sudah ada di sini! Oh, apa kabar. Nyonya Townsend? Nyonya mengantarkan Joan?" "Benar," kata Nyonya Townsend, ibu Joan. "Apa kabar. Nyonya Allen? Girang hatiku melihat anak paling nakal di sekolah kini nampak begitu gembira untuk kembali ke sekolah." "Oh, jangan goda aku," tawa Elizabeth. "Aku takkan jadi anak yang paling badung lagi. Hei, itu Nora! Nora! Nora! Bagaimana liburanmu?" Si jangkung berambut hitam Nora berpaling dan melambai padanya. "Halo, Dik!" seru Nora. "Kembali ke sekolah, ya? Wah, wah, wah, bisa-bisa kami akan terpaksa membuat seperangkat peraturan baru khusus untukmu." Nyonya Townsend tertawa. "Kaudengar itu, Elizabeth," katanya. "Semua pasti akan menggodamu. Sungguh sulit untuk melupakan betapa nakalnya kau di semester pertamamu di Whyteleafe." "Lihat! Itu Harry!" seru Joan. "Harry! Kau ingat kelinci yang kauberikan pada Elizabeth dan aku semester yang lalu? Kini kelinci-kelinci itu sudah besar. Sudah beranak! Dua di antaranya kubawa untuk kupelihara di sekolah." "Bagus," kata Harry. "Halo, Elizabeth. Wah, kau hangus kena matahari, ya? Hai, John! Ini Elizabeth! Sebaiknya kau mulai merancang musim tanam kebunmu dengan dia sekarang juga, untuk musim dingin nanti!" John Terry mendekat. Ia seorang anak lelaki yang tinggi dan kuat. Umurnya sekitar dua belas tahun. Ia begitu suka berkebun sehingga diangkat menjadi kepala tukang kebun di bawah Pak Johns, seorang guru. Ia dan Elizabeth telah merancangkan berbagai kegiatan berkebun untuk musim dingin nanti. "Halo, Elizabeth!" seru John. "Kaubawa buku berkebun yang kaujanjikan itu? Bagus! Banyak kerjaan kita nanti, menggali dan membakar sampah." Beberapa saat kedua anak ini bercakap-cakap dengan penuh semangat. Kemudian seorang anak lelaki lain mendekat, berambut hitam dan berwajah serius. Ia langsung menjabat tangan Elizabeth. "Halo, Richard!" seru Elizabeth. "Jahat kau ya! Katanya akan berkirim surat padaku! Ku-tunggu-tunggu suratmu tak pernah datang. Aku yakin selama liburan ini kau bermain-main saja, tak pernah berlatih sekali pun." Richard tersenyum. Walaupun masih termasuk anak-anak, ia sudah begitu pandai memainkan piano dan biola. Ia dan Elizabeth sama-sama sangat menyukai musik. Keduanya mendapat sambutan gegap-gempita sewaktu bermain duet dalam pertunjukan musik di sekolah pada akhir semester. Para penonton meminta agar mereka mengulangi permainan mereka yang memang begitu indah! "Aku tinggal bersama kakekku liburan ini," kata Richard. "Ia mempunyai sebuah biola yang sungguh luar biasa. Dan aku diijinkannya memainkan biola tersebut! Selama liburan ini hanya musik saja yang kupikirkan. Terima kasih untuk kartu posmu. Tulisanmu begitu buruk hingga yang bisa kubaca hanyalah tanda tanganmu di akhir surat itu. Tak apalah. Pokoknya terima kasih." "Oh!" hampir saja Elizabeth menghardik Richard. Tetapi ia segera melihat mata Richard yang seakan tertawa, dan ia pun ikut tertawa. "Oh, Richard, mudah-mudahan Pak Lewis mengajar kita berduet lagi semester ini." "Ayo, ucapkan selamat tinggal kepada para pengantar," kata Bu Ranger, mendekati kelompok kecil itu. "Kereta api akan segera berangkat. Harap segera mencari tempat duduk." Bu Ranger adalah guru kelas Elizabeth. Ia sangat berdisiplin, sangat adil, dan sering-sering pandai juga melucu. Elizabeth dan Joan gembira sekali bertemu kembali dengan guru mereka itu. Bu Ranger tersenyum pada mereka dan memperingatkan kelompok-kelompok lainnya tentang Keberangkatan kereta api mereka. "Ingat tidak. Bu Ranger pernah mengeluarkan kau dari kelas karena kau melontarkan penghapus pada teman-teman kita?" kata Joan, sambil tertawa terkikik-kikik saat keduanya bergegas naik ke dalam gerbong. Elizabeth juga tertawa. Ia berpaling pada ibunya, melambaikan tangan. "Selamat tinggal Ibu!" serunya. "Ibu tak usah khawatir semester ini. Kali ini aku akan berusaha keras untuk menjadi murid yang baik!" Lokomotif membunyikan peluit, melengking keras. Semua murid kini sudah berada di dalam gerbong khusus mereka. Para pengantar - ayah, ibu, paman atau bibi - melambai sebagai ucapan selamat jalan. Kereta api pun mulai meninggalkan stasiun. Dan segera kota London tertinggal di belakang. "Kini kita berangkat!" kata Elizabeth. Ia melihat berkeliling. Ada Belinda. Nora. Harry. Dan John Terry juga. John malah telah mengedarkan sebungkus kembang gula. Semua mengambil masing-masing satu. Tak lama gerbong itu telah penuh dengan keributan anak-anak yang bercakap-cakap dan bercanda, ramai membicarakan masa liburan mereka. "Apakah ada anak baru?" tanya Joan. "Aku kok belum lihat." "Ya. Dua atau tiga orang," kata John. "Tadi kulihat seorang anak lelaki baru, di ujung gerbong ini. Juga dua orang anak perempuan. Mungkin mereka akan sekelas dengan kalian. Aku tak begitu suka pada si anak lelaki. Wajahnya seperti masam saja." "Anak-anak perempuannya bagaimana?" tanya Joan. Tetapi John tidak mendengar pertanyaan itu. "Toh kita nanti bisa melihat mereka di sekolah," kata Joan. "Hei, Elizabeth. Apa yang kaubawa di kotak makananmu? Ibuku mengisi kotakku dengan satu kotak besar coklat, sebuah kue jahe, satu kaleng sirup kuning, dan roti berlapis selai." "Kedengarannya lezzzaaat!" kata Elizabeth. Segera juga anak-anak ribut membicarakan isi kotak makanan mereka, sementara kereta api terus menderu melaju. Akhirnya perjalanan panjang tersebut berakhir juga. Kereta api berhenti di sebuah stasiun desa. Anak-anak berlompatan turun, menghambur lari menuju dua bis yang sudah menunggu. "Ayo kita lihat pemandangan pertama atas sekolah kita," seru Elizabeth saat bis-bis itu mulai berangkat. "Oh, itu dia! Itu dia! Sungguh indah!" Anak-anak memandang ke puncak bukit, tempat sekolah mereka berdiri. Semua gembira bisa melihatnya lagi. Di pagar tembok sekolah itu, di sana-sini tanaman sulur-sulurannya telah mulai memerah, dan jendela-jendela kaca memantulkan sinar matahari musim gugur. Gapura besar telah mereka lewati, bis-bis menderu terus dan berhenti di pintu depan. Elizabeth ingat sekali saat pertama kali ia tiba di sini, lima bulan yang lalu, pada permulaan semester musim panas. Dahulu ia begitu membenci gedung tersebut! Kini ia begitu riang melompat menuruni tangga bis bersama anak-anak lain dan berpacu berlari memasuki sekolah mereka. la melihat berkeliling, mencari ketiga anak baru yang dikatakan John tadi. Dan dilihatnya mereka berdiri ragu-ragu, tak tahu harus berbuat apa, tak tahu harus pergi ke mana. Elizabeth menggamit tangan Joan. "Ayo kita bantu anak-anak baru itu," katanya. "Mereka bagaikan anak tersesat saja." "Baiklah." Keduanya mendekati ketiga anak tadi. Umur ketiga anak tersebut agaknya sekitar sebelas atau dua belas tahun, walaupun si anak lelaki tampaknya lebih besar daripada anak seumurnya. "Ikutlah kami. Akan kami tunjukkan tempat membersihkan diri dan tempat makan malam," kata Elizabeth. Ketiga anak itu memandang dengan rasa terima kasih. Saat itu Rita, Ketua Murid lewat dan mengangguk setuju pada Elizabeth. "Agaknya anak-anak baru ini telah memperoleh perlindungan yang tepat," kata Rita. "Baru saja aku akan mengurus mereka. Bagus! Terima kasih. Elizabeth, Joan!" "Itu Ketua Murid, salah satu di antara dua orang yang menjadi ketua di sini," kata Elizabeth pada anak-anak baru itu. "Dan lihat, itu William, Ketua Murid yang satunya lagi. Mereka murid-murid teladan. Ayo, ikutilah aku. Akan kutunjukkan tempat kalian bisa membasuh muka atau tangan, dan merapikan pakaian." Mereka bergegas ke lantai bawah, tempat mencuci tangan dan muka serta merapikan pakaian. Kemudian bergegas ke ruang makan, lapar bagaikan berhari-hari tidak makan. Betapa lezatnya bau sup, betapa indahnya wortel dan bawang terapung-apung pada sup itu! "Senang sekali kembali bersekolah," kata Elizabeth melihat berkeliling, pada wajah-wajah yang dikenalnya, yang tersenyum riang seperti dirinya. "Entah peristiwa apa yang akan kita alami dalam semester ini." "Rasanya tak akan ada peristiwa yang cukup berkesan seperti dulu," kata Joan. Tetapi salah dugaan Joan. Banyak sekali peristiwa yang terjadi nanti. 2. Kehidupan di Sekolah Dimulai Akhirnya semua siap untuk memulai kehidupan di sekolah itu. Kecuali beberapa orang murid baru, murid-murid lama kebanyakan berada di kelas yang sama seperti semester yang lalu. Beberapa orang memang pindah ke kelas yang lebih tinggi, dan untuk beberapa hari mereka merasa dirinya istimewa. Ketiga anak baru yang ditemui Elizabeth waktu mereka pertama kali datang ke sekolah itu ternyata memang sekelas dengan Elizabeth. Bu Ranger mencatat nama mereka. "Jennifer Harris, Kathleen Peters, Robert Jones." Jennifer tampaknya bersifat periang, dengan rambut lurus dipotong pendek dan berponi tebal. Matanya yang cokelat selalu berseri. Anak-anak lain segera merasa bahwa Jennifer akan menjadi teman yang menyenangkan. Kathleen Peters berwajah agak pucat berbintik-bintik. Rambutnya tak pernah bisa rapi, wajahnya menggambarkan suatu perasaan yang tak menyenangkan-bagaikan cemberut terus-menerus. Beberapa hari pertama tak ada yang menyukai Kathleen. Robert Jones lebih besar dari anak lain seumurnya, wajahnya juga muram. Tetapi bila tersenyum wajah itu sangat berbeda-lebih menyenangkan. "Aku tak menyukai bibir Robert. Kalau kau bagaimana?" tanya Joan suatu hari pada Elizabeth. "Bibirnya terlalu tipis dan selalu cemberut. Tampaknya ia juga agak kejam." "Ah, kita toh tak bisa mengubah bentuk bibir kita," kata Elizabeth. "Kukira dalam hal ini kau salah," kata Joan. "Aku yakin wajah kita cermin pribadi kita, bisa diubah!" Elizabeth tertawa. "Kalau begitu alangkah baiknya kalau Kathleen Peters segera berusaha mengubah wajahnya!" katanya. "Ssst," kata Joan. "Dia dengar lho!" Minggu pertama terasa berlangsung lama sekali. Buku-buku baru dibagikan, begitu juga pensil dan pena baru. Tempat duduk di kelas ditentukan, dan ternyata Joan ditempatkan berdampingan dengan Elizabeth. Alangkah senangnya mereka. Mereka duduk dekat jendela, bisa melihat keindahan bunga di kebun. Siapa pun yang mau boleh bekerja di kebun. John Terry membagikan petak-petak tanah pada mereka yang ingin ikut bercocok tanam-dengan syarat mereka harus ikut memeliharanya dengan baik. Petak-petak kecil ini. berbatasan dengan dinding pagar, merupakan petak-petak kecil indah, dengan bunga beraneka warna. Ada juga yang menanam selada. Atau bunga hias. Malahan seorang anak yang sangat mencintai mawar menanamkan enam batang bunga mawar di petak bagiannya- tanpa tumbuhan lainnya! Elizabeth tidak mau kalau hanya kebagian satu petak. Ia lebih suka membantu John di padang yang lebih luas. Elizabeth sudah ingin membuat rencana baru bersama John tentang kebun sekolah mereka. Ia banyak memiliki rencana tentang berkebun, dan semasa liburan ia tekun mempelajari buku berkebunnya. Anak-anak juga diperkenankan memelihara binatang kesayangan mereka-kecuali anjing atau kucing, sebab keduanya sulit diurus dan tak bisa ditaruh di dalam kandang. Ada anak yang memelihara kelinci, marmut, burung merpati lengkap dengan rumah-rumahannya di puncak sebatang tiang tinggi, ada yang membawa burung kenari atau ikan emas. Sungguh menyenangkan memiliki binatang peliharaan. Tidak semua anak mempunyai binatang peliharaan, sebab hanya mereka yang sayang binatang sajalah yang diberi hak untuk mengurus binatang peliharaan mereka. Binatang-binatang peliharaan itu dikumpulkan dalam sebuah pondok besar dan luas, tak jauh dari kandang kuda-kuda yang biasa dinaiki oleh anak-anak itu. Sekolah juga beternak ayam dan itik. Ini bukan termasuk binatang peliharaan anak-anak, tetapi siapa yang senang boleh ikut membantu mengurus dan memberi makan unggas-unggas itu. Di padang rumput sekolah juga digembalakan tiga ekor sapi Jersey yang sehat-sehat, sumber susu yang tak kering-kering. Dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki bertugas untuk memerah susu sapi-sapi ini. Untuk tugas tersebut mereka terpaksa harus bangun lebih pagi tiap hari. Tetapi ketiganya tidak berkeberatan. Bagi mereka tugas tersebut adalah semacam kegemaran. Sesuatu yang menyenangkan! Jennifer Harris memiliki beberapa ekor binatang peliharaan. Tikus-tikus putih yang kecil-kecil dan lucu-lucu! Jennifer sangat senang pada tikus-tikus tersebut. Tikus-tikus itu diletakkan di dalam sebuah kandang besar, yang dibersihkan dengan teliti tiap hari oleh Jennifer, hingga selalu bersih tak bernoda sedikit pun. Tikus-tikus ini merupakan suatu keunikan-belum pernah sebelumnya ada yang memelihara tikus. Suatu .hari Elizabeth dan Joan berkunjung ke kandang tikus-tikus tersebut. "Lucu bukan?" kata Jennifer, dan membiarkan seekor tikus lari di lengannya, di dalam lengan bajunya. "Lihat matanya. Merah dan lucu! Cobalah, Elizabeth, biarkan yang ini lari di dalam lengan bajumu. Geli sekali rasanya, tetapi menyenangkan!" "Oh, terima kasih," kata Elizabeth cepat-cepat. "Bagimu mungkin menyenangkan, tetapi pasti tidak bagiku." "Halo! Itukah tikus-tikus putihmu, Jennifer?" tanya Harry yang tiba-tiba muncul. "Manis-manis sekali! Hei, lihat! Ada seekor di dalam bajumu, mengintip dari balik leher baju! Kau sudah tahu?" "Oh, tentu saja," kata Jennifer. "Ambillah, Harry. Ia pasti lari di dalam lengan bajumu dan muncul di leher." Memang benar kata Jennifer Tikus tadi berlari menyusuri lengan baju Harry dan tak lama ujung hidungnya yang kecil-mungil muncul di balik leher baju. Joan menggigil geli dan takut juga. "Ih! Rasanya tak mungkin aku tahan dijadikan tempat lari tikus-tikus itu," kata Joan. Lonceng berbunyi. Tikus-tikus tersebut segera dimasukkan kembali ke dalam kandang. Joan cepat-cepat menengok kedua ekor kelincinya. Gemuk-gemuk dan tampaknya tak kekurangan suatu apa pun. Kelinci-kelinci tersebut dirawatnya bersama Elizabeth. Waktu minum teh dan makan malam terasa lebih menyenangkan di minggu pertama itu. Anak-anak diperkenankan untuk mengeluarkan apa saja yang mereka sukai dari kotak penganan yang mereka bawa dari rumah. Kue-kue besar, roti lapis, permen, cokelat, daging kaleng, selai... apa saja! Semua saling membagikan bawaan mereka masing-masing, walaupun Robert, si anak baru, tampaknya tidak terlalu gembira dengan kebiasaan itu. Juga Elizabeth melihat bahwa Kathleen Peters tidak menawarkan permennya, walaupun tanpa keberatan ia menawarkan daging kalengnya. Elizabeth teringat betapa pelitnya ia sendiri dulu, tak mau membagikan makanannya. Mengingat hal itu, maka ia diam saja melihat perbuatan Robert dan Kathleen. "Aku tak bisa menyalahkan orang lain untuk perbuatan yang dulu juga pernah kulakukan," katanya dalam hati. "Aku harus bersyukur bahwa kini kelakuanku telah berubah." Rapat Besar pertama merupakan suatu acara terbesar minggu pertama itu. Semua murid diharuskan hadir. Guru-guru yang ingin ikut hadir boleh datang. Biasanya kedua pimpinan sekolah, Bu Best dan Bu Belle, memerlukan untuk hadir. Begitu juga Pak Johns, salah seorang guru. Tetapi biasanya guru-guru ini duduk di bagian belakang ruangan dan tidak ikut campur dalam rapat yang sedang berlangsung, kecuali bila diminta. Rapat Besar tadi memang semacam Parlemen sekolah. Di situlah anak-anak membuat peraturan mereka sendiri, mendengarkan laporan tentang pelanggaran peraturan, keluhan atau kritik. Bila ada yang berbuat salah, mereka sendirilah yang mengadili serta menentukan hukuman apa yang harus dijatuhkan. Memang tak menyenangkan bila kesalahan kita dibicarakan secara terbuka oleh seluruh murid. Tetapi di lain pihak, kita juga harus berterima kasih-jarang sekali kita tahu bahwa diri kita bersalah, dan bila hal ini tidak segera diakhiri maka kesalahan tersebut makin hari akan makin besar, makin sulit untuk dibenarkan lagi. Banyak murid yang dengan cara tadi sama sekali "sembuh" dari kebiasaan buruk mereka, seperti mencontek, berdusta, nakal, atau perbuatan tak baik lainnya, dengan petunjuk dan teguran yang dijatuhkan oleh kawan-kawan mereka sendiri di Rapat Besar. Rapat Besar pertama diadakan sekitar satu minggu setelah sekolah mulai. Anak-anak berduyun-duyun memasuki ruang senam. Sebuah meja besar disediakan untuk dua belas Pengawas, yang akan bertindak sebagai Dewan Juri. Mereka ini hasil pemilihan semester musim panas dan akan terus menjabat sebagai Pengawas selama sebulan lagi. Setelah waktu sebulan tersebut, diadakan pemilihan lagi. Mungkin ada yang terpilih kembali, atau mungkin juga tempat mereka digantikan anak lain. Semua harus berdiri bila William dan Rita, dua orang Ketua Murid yang pada Rapat Besar menjadi Hakim, memasuki ruangan. Keduanya duduk di tempat yang disediakan dan hadirin pun duduk kembali. William mengetuk meja dengan palu kecil. Semua terdiam. "Tak banyak yang harus kita bicarakan hari ini," Ketua Murid berkata. "Aku yakin semua anak baru sudah diberitahu mengapa kita mengadakan Rapat Besar ini setiap minggu, dan apa yang kita lakukan pada setiap Rapat Besar, seperti ini. Kalian semua melihat, di meja ini duduk dua belas pengawas kita. Kalian semua tahu mengapa mereka terpilih sebagai Pengawas. Mereka kita pilih karena kita percaya akan kemampuan mereka untuk berpikir tajam dan adil, setia pada sekolah dan baik hati. Dan karena kita sendiri yang memilih mereka, maka kita harus mematuhi mereka dan mengikuti peraturan yang mereka buat." Kemudian Rita berkata, "Kuharap kalian semua telah membawa semua uang yang kalian miliki. Mungkin anak baru sudah diberitahu, semua uang yang kita miliki harus dimasukkan ke dalam kotak uang bersama. Dari kotak tersebut tiap minggu setiap anak akan diberi uang saku sebesar dua shilling. Dengan uang tersebut kalian bisa membeli apa saja yang kalian inginkan: prangko, permen, pita rambut, tali sepatu, dan sebagainya. Kalau ada yang memerlukan uang lebih dari dua shilling maka ia harus menerangkan apa sebab keperluan berlebih itu. Dan Rapat Besar akan memutuskan apakah keperluan tersebut patut disetujui. Bila disetujui maka uang tambahan akan diberikan. Nah. Kini harap siapkan uang kalian, Nora akan mengedarkan kotak uang." Nora bangkit. Diambilnya kotak, diberikannya pada anak di ujung tiap baris. Anak tersebut akan memasukkan uangnya ke dalam kotak dan kemudian memberikannya pada anak di sampingnya dan begitu seterusnya. Semua memasukkan uang mereka, kecuali Robert Jones, si anak baru. Ia tampak keberatan. "Begini," kata Robert. "Aku punya uang satu pound (1 poundsterling = 4 crown = 20 shilling = 240 pence) dari kakekku. Tetapi kurasa tak ada perlunya memasukkannya ke dalam kotak. Bisa-bisa aku tak dapat melihatnya lagi nanti." "Robert, di antara kita ada yang punya uang terlalu banyak, ada pula yang terlalu sedikit," William menerangkan. "Kadang-kadang bila kita berulang tahun memperoleh hadiah uang banyak sekali, tetapi kadang-kadang kita juga tak punya uang sama sekali. Dengan memasukkan uang kita ke dalam kotak uang bersama, maka kita bisa yakin bahwa setiap minggu kita pasti mempunyai uang saku dua shilling. Semua mendapat uang saku yang tepat sama, jadi adil. Dan kalaupun kita memerlukan uang lebih dari itu, kita selalu bisa minta pada Dewan Juri untuk memberi izin memperoleh kelebihan uang itu. Nah, sekarang masukkan uangmu." Robert memasukkan uangnya, tetapi tampak sekali ia memasukkannya hanya karena terpaksa. Mukanya semakin muram saja, lebih muram dari biasanya. "Jangan cemberut saja," bisik Elizabeth. Tetapi Robert malah memandangnya dengan marah sehingga Elizabeth tak mau berbicara lagi. Nora mengambil kembali kotak uang tadi dan membawanya ke meja di depan. Kini kotak itu tampak sangat berat. Dua shilling dibagikan pada semua anak, langsung mereka simpan di saku atau dompet. Rita dan William juga mendapat bagian dua shilling seperti anak lainnya. "Ada yang memerlukan uang tambahan minggu ini?" tanya William, melihat berkeliling. Kenneth berdiri. "Bolehkah aku mendapat tambahan enam pence?" tanyanya. "Aku meminjam buku dari perpustakaan sekolah, dan buku tersebut agaknya terselip entah di mana. Aku didenda enam pence." "Ambil enam pence dari uang sakumu yang dua shilling itu," kata William dan para anggota Dewan Juri mengangguk setuju. "Kurasa tak pada tempatnya bila sekolah harus ikut membayar sesuatu yang terjadi karena kelalaianmu, Kenneth. Sudah terlalu banyak buku yang hilang. Bayar sendiri denda enam pence itu, dan uang itu akan kauperoleh kembali bila buku tersebut sudah kautemukan. Permintaan uang tambahan ditolak." Seorang anak perempuan berdiri. "Ibuku pergi ke luar negeri. Aku harus menulis surat padanya seminggu sekali. Tetapi surat ke luar negeri prangkonya tujuh pence. Bolehkah aku memperoleh sedikit uang tambahan untuk meringankan bebanku itu? Para anggota Dewan Juri berunding. Mereka setuju bahwa memang kasihan jika Mary ha- rus menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk keperluan membeli prangko. "Baiklah. Setiap minggu kau akan memperoleh uang tambahan empat setengah pence," kata Rita akhirnya. "Itu berarti kau hanya mengeluarkan uang dua setengah pence seperti biasa untuk prangko dalam negeri, sedang sisanya dibayar oleh sekolah. Kurasa itu cukup adil." "Oh, ya!" kata Mary bersyukur. "Terima kasih!" Uang empat setengah pence diberikan pada Mary dan dimasukkannya ke dalam dompet. "Kukira itu saja acara kita minggu ini," kata Rita melihat buku catatannya. "Kalian mengerti bukan, bahwa segala ringkah laku kasar dan buruk, seperti misalnya keji, keras kepala, berbuat curang di ujian atau ulangan, mengancam anak yang lebih lemah dan sebagainya, harus dibawa ke Rapat Besar ini untuk diselesaikan bersama. Kuharap anak-anak baru bisa me- ngerti bahwa laporan di Rapat Besar bukan hanya sekadar mengadu. Kalau bingung harap bertanya pada Pengawas masing-masing." "Baik," kata Nora. "Sekarang... ada keluhan atau pengaduan?" tanya William, mengangkat wajahnya. Tak ada. Maka Rapat Besar itu pun bubar. Anak-anak berhamburan keluar. Elizabeth agak termenung-menung waktu keluar itu. Ia mengenang saat-saat pahit yang dialaminya di hampir setiap Rapat Besar semester yang lalu. Begitu keras kepala dan kasar kelakuannya waktu itu. Ia hampir tak bisa mempercayai itu sekarang. Ia pergi dengan Joan untuk memberi makan kelinci mereka. Seekor di antaranya begitu jinak, berbaring diam di gendongan Elizabeth. Senang sekali hati Elizabeth. "Tampaknya semester ini akan berlalu tenang-tenang saja," kata Joan. "Kuharap seterusnya suasana seperti ini." Tetapi ternyata harapan Joan itu tinggal harapan. 3. Elizabeth Mendapat Musuh Suasana tenang itu ternyata dirusak oleh dua dari anak-anak baru. Anak-anak segera menyadari bahwa Robert dengki dan keji. Juga segera diketahui bahwa Kathleen Peters, si anak berwajah pucat dan berbintik-bintik, suka bertengkar dan sulit bergaul. Sebaliknya, ternyata Jennifer Harris sangat lucu. Ia pandai sekali menirukan gerak-gerik dan cara berbicara semua guru, terutama Mam'zelle (nona dalam bahasa Prancis-mademoiselle) yang mengajar bahasa Prancis. Bila bicara Mam'zelle banyak sekali menggerakkan tangan, dan nada suaranya selalu naik-turun dengan cepat. Jennifer bisa meniru raut muka, cara bicara, dan cara menggerakkan tangan Mam'zelle dengan tepat, sehingga seisi kelas bisa terpingkal-pingkal dibuatnya. "Jenny menyenangkan," kata Elizabeth. "Tetapi kurasa aku tak bisa berteman dengan Robert dan Kathleen. Menurut pendapatku Robert seorang anak yang kejam, Joan." "Mengapa?" tanya Joan. "Apakah ia pernah kurang ajar padamu?" "Tidak... tidak padaku," kata Elizabeth. "Kemarin aku mendengar seseorang menjerit. Kulihat Janet kecil lari dari Robert, menangis. Kutanyai anak itu, tetapi ia tak mengaku. Mungkin sekali Robert telah mencubitnya atau entah diapakan anak itu." "Kurasa sih memang begitu," kata Joan. Belinda Green mendengar percakapan mereka dan mendekat. "Kukira Robert merasa dirinya jagoan, paling berani, paling kuat," kata Belinda. "Ia selalu mengganggu anak kecil, menggertak mereka, mengganggu permainan mereka, dan bila iseng mencubiti siapa saja." "Kurang ajar!" desis Elizabeth, yang selalu membenci ketidakadilan. "Awas kalau sampai kulihat sendiri. Akan kulaporkan dia ke Rapat Besar!" "Hati-hati saja," kata Belinda. "Kau harus yakin bahwa apa yang kaulaporkan benar. Kalau tidak kau takkan didengar oleh sidang." Saat itu Robert muncul. Ketiga gadis tersebut langsung diam. Robert sengaja menubruk Elizabeth, hingga hampir saja Elizabeth terbanting ke dinding. "Oh, maaf, aku tak melihat kau!" Robert menyeringai, melanjutkan perjalanan masuk ke dalam kelas. Marah Elizabeth meluap. Ia sudah melangkah untuk mengejar Robert, tetapi Joan cepat menangkap tangannya. "Ia sengaja ingin membuatmu marah," kata Joan. "Jangan sampai kau terpancing olehnya!" "Bagaimana aku tidak marah. Dia memang kurang ajar!" kata Elizabeth geram. Bel berbunyi dan pelajaran akan dimulai sehingga tak ada waktu untuk berbuat apa pun terhadap kejadian tadi. Elizabeth yang sekelas dengan Robert memandang marah pada anak laki-laki itu. Robert mengejeknya dari jauh. Dan mulai saat itu mereka pun bermusuhan. Ketika Robert hampir salah semua dalam soal hitungannya, Elizabeth tersenyum kegirangan. "Syukur!" katanya. Sayang sekali Bu Ranger mendengar dan melihat tingkah Elizabeth itu. Dengan tajam ibu guru itu berkata, "Apakah kita perlu senang kalau orang lain berbuat salah?" Giliran Robert kini yang menyeringai senang. Baik Robert maupun Elizabeth sama-sama gembira bila salah satu di antara mereka mendapat nilai buruk. Tetapi Elizabeth lebih sering punya kesempatan untuk menertawakan Robert, sebab ia termasuk anak cerdas, cepat menguasai pelajaran dengan baik. Sementara Robert agak lambat berpikir, walaupun tubuhnya lebih tinggi dan lebih besar Dalam permainan pun mereka berusaha keras untuk saling mengalahkan atau menyakiti. Dan mereka sering secara kebetulan merupakan pihak-pihak yang berlawanan. Dan setiap ada kesempatan bagi Robert untuk memukul tangan Elizabeth dengan tongkat lacrosse, atau menghantam kakinya dengan tongkat hockey, maka itu dilakukannya dengan senang hati. Begitu juga dengan Elizabeth. Sesungguhnya ia tak suka menyakiti orang lain, tetapi terhadap Robert ia membuat perkecualian. Setiap saat ia mengincar kesempatan untuk menyakiti Robert. Dan bila kesempatan itu ada, maka digunakannya dengan sepenuh tenaganya. Pak Warlow, guru olah raga, segera melihat hal ini. Dipanggilnya kedua anak tersebut. "Kalian sedang bertanding, bermain. Bukannya bertempur," kata Pak Warlow tegas. "Jangan bawa rasa permusuhanmu ke dalam pertandingan hockey dan lacrosse, dan bermainlah dengan baik." Elizabeth menjadi malu oleh teguran ini, dan menghentikan usahanya untuk menyakiti Robert. Tetapi Robert tampaknya semakin bersemangat untuk menghadiahkan pukulan yang menyakitkan pada Elizabeth, hanya kini ia melakukannya dengan licik, setiap kali Pak Warlow tak melihat. "Elizabeth, kau benar-benar bodoh bermusuhan dengan Robert," kata Nora suatu hari. "Dia lebih besar darimu. Menghindar sajalah darinya. Suatu saat kau akan kehilangan kesabaranmu, kehilangan akal warasmu dan kau akan terjebak untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar peraturan. Itulah agaknya yang sedang direncanakan oleh Robert." Tetapi Elizabeth sama sekali tak mau mendengar nasihat seperti itu. "Aku tak takut pada Robert," katanya geram. "Bukan itu soalnya," kata Nora. "Ia berbuat itu semua hanya untuk membuatmu marah. Kalau kau tak memperhatikannya, tak membalas apa pun yang dilakukannya, maka ia akan bosan sendiri." "Ia seorang yang sok jago dan keji!" kata Elizabeth. "Kau tak boleh mengatakan seperti itu, kecuali bila kau punya bukti-bukti yang cukup," kata Nora segera. "Dan bahkan kalau kau mempunyai bukti cukup, kau harus melaporkannya pada Rapat Besar. Di situlah tempat untuk menegur siapa pun yang kauanggap bersalah. Kau tahu itu." Dengan muka cemberut Elizabeth meninggalkan Nora. Mengapa Nora tidak mempercayainya? Nora memang tidak sekelas dengannya, jadi tak mengetahui betapa menye-balkannya Robert. Sore hari berikutnya, setelah minum teh, Elizabeth pergi mengunjungi kelincinya. Dalam perjalanan ia mendengar seseorang menjerit dengan suara memohon, "Jangan ayunkan aku terlalu tinggi! Jangan!" Elizabeth mengintip ke arah tempat ayunan. Dilihatnya seorang anak kecil, kira-kira berumur sembilan tahun, bermain ayunan. Dan Robert mendorong ayunan tersebut hingga terayun tinggi-tinggi. "Aku takut sekali!" teriak anak kecil bernama Peter itu. "Aku ingin muntah! Aku bisa jatuh nanti! Hentikan, Robert! Hentikan! Jangan ayun lagi!" Tetapi Robert tidak memedulikan jeritan anak kecil itu. Bibirnya yang tipis terkatup keji, matanya bersinar nakal, dan ia mengayunkan ayunan lebih tinggi lagi, lebih tinggi, dan lebih tinggi lagi. Elizabeth marah sekali hingga terpaksa ia mengerjap-ngerjapkan matanya untuk bisa melihat dengan jelas. "Hentikan!" ia berteriak, dan berlari mendekat. "Jangan berbuat begitu! Bisa sakit Peter nanti!" "Jangan ikut campur!" bentak Robert. "Ia sendiri yang minta diayun. Pergi kau, sok usil! Selalu ikut campur urusan orang lain!" "Tidak!" seru Elizabeth. Ia mencoba menangkap ayunan waktu berayun ke bawah. Telapi Robert lebih cepat. Ia mendorong Elizabeth sehingga terbanting ke dalam semak-semak, kemudian diayunkannya Peter lebih tinggi lagi. "Akan kukatakan pada yang lain!" teriak Elizabeth, bangkit. "Tukang ngadu! Tu-kang nga-du!" Robert berteriak berlagu, kembali mendorong ayunan tinggi-tinggi. Habis kesabaran Elizabeth. Diserbunya anak yang menjengkelkan itu. Dicengkeramnya rambut Robert, dientakkannya, sehingga sejumlah rambutnya ikut tercabut! Kemudian ditamparnya Robert dan ditinjunya perutnya keras-keras! Robert mengerang lalu roboh, terbungkuk-bungkuk. Elizabeth menghentikan ayunan, membantu Peter yang gemetar ketakutan turun. "Kalau ingin muntah, muntahlah," kata Elizabeth. "Jangan minta diayun lagi oleh Robert." Terhuyung Peter pergi, wajahnya pucat sekali. Elizabeth berpaling pada Robert. Tetapi saat itu muncul beberapa orang anak, tiga atau empat orang, dan baik Robert maupun Elizabeth tahu bahwa tak baik berkelahi disaksikan anak lain. "Akan kulaporkan kau dalam Rapat yang akan datang!" geram Elizabeth masih sangat marah. "Tunggu saja nanti! Tunggu saja! Kau pasti dihukum, anak kejam!" Ia menghambur pergi. Robert melihat pada anak-anak yang mendatangi itu dan berbuat pura-pura heran. "Galak sekali anak itu!" katanya. "Lihatlah! Rambutku dicabutinya!" Diambilnya beberapa lembar rambutnya yang dibuang Elizabeth, ditunjukkannya pada anak-anak tersebut. Mereka jadi keheranan. "Pasti kau berbuat sesuatu yang sangat menggusarkan hatinya sehingga Elizabeth marah seperti itu," kata Kenneth. "Aku hanya membantu seorang anak berayun, mendorong ayunannya," kata Robert. "Dan seperti biasa Elizabeth ikut campur. Mengapa sih ia selalu menggangguku? Tak heran bila dalam semester yang lalu ia dijuluki gadis yang paling badung di sekolah." "Kami menempelkan selembar kertas di punggungnya, dan memberikan julukan Si Badung Bandel Bengal!" seseorang berkata, tertawa, teringat betapa marahnya Elizabeth waktu itu. "Kau memukul dia, Robert? Kalau kau memukulnya, maka kau salah, keji. Anak perempuan memang kadang-kadang kelewatan. Tetapi kita sebagai anak laki-laki tak boleh memukul mereka." "Tidak, menyentuh sedikit pun tidak," kata Robert, walaupun sesungguhnya ia tadi akan menyerang Elizabeth kalau anak-anak itu tidak muncul. Ia akan menampar Elizabeth sebagai balasan. "Aku tidak melakukan apa-apa," kata Robert. "Tiba-tiba saja ia meledak marah dan menyerangku! Dasar badung!" Elizabeth waktu itu sudah berlari menemui Joan, mengatakan apa yang telah terjadi. Joan mendengarkan dengan perasaan cemas. "Robert memang seorang anak nakal yang kurang ajar," kata Joan. "Dan ia memang harus dihentikan. Tetapi, oh, Elizabeth, sayang sekali kau telah menyerangnya lebih dahulu! Sayang sekali kau kehilangan kesabaranmu! Kau betul-betul terlalu pemarah!" "Siapa pun akan menjadi marah melihat ia mengayunkan Peter! Diayunkan sampai hampir mencapai puncak!" kata Elizabeth, marahnya masih menggelegak. "Peter sampai pucat, ingin muntah." "Menurut pikiranmu, bila kau melapor pada Rapat Besar nanti, kau yakin laporanmu akan diterima, tidak dianggap hanya mengadu dan mengarang saja?" tanya Joan ragu-ragu. "Kalau aku jadi kau, aku akan bertanya dulu pada Nora." "Untuk apa?" kata Elizabeth, teringat betapa Nora tak mau mempercayainya. "Aku bisa menentukan sendiri. Aku melihat semuanya itu dengan mata kepalaku sendiri! Baiklah. Akan kulaporkan perbuatan Robert pada Rapat Besar besok. Kita lihat saja nanti apa yang akan dikatakan Dewan Juri. Robert pantas mendapat hukuman yang berat, benar-benar berat!" Sehari itu Elizabeth marah-marah terus. Dan keesokan harinya tak sabar ia menunggu sampai Rapat Besar dimulai, untuk melaporkan Robert. Biar tahu rasa anak itu, apa hukumannya untuk anak yang kejam terhadap anak lain. Robert tampaknya tidak peduli sama sekali akan kemungkinan Elizabeth melaporkannya. Setiap kali Elizabeth memandangnya, Robert mengolok-oloknya dari jauh. Tak heran makin lama Elizabeth makin marah saja. "Tunggu saja nanti dalam Rapat Besar! Tahu rasa kau nanti!" kata Elizabeth. Tetapi ternyata nanti Elizabeth-lah yang bahkan "tahu rasa". 4. Apa yang Terjadi di Rapat Besar? Rapat besar tiba. Elizabeth duduk di samping Belinda dan Joan, tak sabar menunggu waktu untuk melaporkan Robert. Robert duduk tak jauh darinya, wajahnya muram dan sama sekali tak tersenyum. Tetapi di mata Robert tampak suatu sinar licik setiap kali ia berpaling pada Elizabeth. "Aku takut kalau-kalau Robert juga akan melaporkanmu," bisik Joan pada Elizabeth. "Tampaknya ia menyembunyikan sesuatu." "Aku tak peduli," kata Elizabeth. "Tunggu saja sampai rapat ini mendengarkan laporan-ku!" William dan Rita masuk, bersama guru-guru. Hadirin berdiri. Kedua Ketua Murid duduk, dan rapat pun mulai. Uang dikumpulkan. Jumlahnya tak banyak. Kenneth baru saja berulang tahun dan memperoleh uang lima shilling. Semua dimasukkannya ke dalam kotak Janet memasukkan satu shilling. Kemudian setiap anak memperoleh dua shilling. Mary memperoleh tambahan empat setengah pence untuk uang prangko. "Telah kautemukan buku perpustakaan yang kauhilangkan itu, Kenneth?" tanya William. "Minggu lalu kami berjanji akan mengembalikan dendamu yang enam pence bila buku tersebut telah kautemukan." "Belum, belum kutemukan," kata Kenneth. "Padahal telah kucari ke mana saja." "Ada yang menginginkan uang tambahan?" tanya Rita, mengguncangkan kotak uang untuk mengira-ngira berapa banyak uang di dalamnya. "Mungkinkah aku mendapat uang tambahan?" tanya Ruth, berdiri. "Minggu lalu uangku hilang semua, dua shilling. Sungguh kecewa aku, sebab sesungguhnya aku akan membeli prangko." "Hilangnya bagaimana?" tanya Rita. "Kantongku berlubang," kata Ruth. "Uangku agaknya jatuh. Entah di mana " "Apakah kau sudah tahu bahwa kantongmu berlubang?" tanya Rita. Ruth ragu-ragu sejenak. Kemudian berkata, "Yah aku tahu ada lubang di kantongku. Tadinya kecil sekali. Aku tak tahu bahwa akhirnya membesar, cukup besar untuk dilewati uang." "Siapa pengawasmu?" tanya William. "Oh, kau, Nora. Apakah kaupikir itu karena kesalahan Ruth sendiri?" "Yah... begini," Nora mulai berbicara. "Terus terang saja Ruth tak begitu pandai menjahit baju. Semester yang lalu ia kehilangan pisau lipatnya yang sangat indah. Juga karena jatuh lewat lubang saku. Betul begitu kan, Ruth?" "Benar," kata Ruth gelisah. "Ya, memang benar. Seharusnya lubang dalam saku itu segera kuperbaiki. Aku agak teledor dan tak terlalu memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Aku berjanji takkan ada sakuku yang berlubang setelah ini. Dan setelah kupikir-pikir, rasanya lebih baik kubatalkan saja permintaanku tadi. Kukira uangku hilang karena kesalahanku." Ruth duduk. Dewan Juri berunding, cukup ramai. Kemudian seorang anak perempuan berdiri. Eileen, seorang anak'yang baik hati, dengan rambut lebat berombak. "Bolehkah aku bertanya sedikit?" katanya. "Kukira karena Ruth telah mengaku bahwa itu kesalahannya sendiri, dan karena biasanya ia sangat pemurah dengan uangnya, apakah tidak mungkin Ruth mendapat sedikit keringanan dengan memberinya tambahan dua shilling?" "Kami baru saja merundingkannya," kata Rita. "Dan keputusannya sebagai berikut. Kami akan memberimu satu shilling, Ruth, dan bukannya dua shilling, sebab kami yakin kau takkan berbuat kesalahan seperti itu untuk ketiga kalinya. Dan kau pun sudah berkata sejujurnya. Baiklah. Terimalah uang tambahan satu shilling ini." "Oh, terima kasih," kata Ruth, maju untuk menerima uang yang dimintanya itu. "Aku telah meminjam prangko pada Belinda. Kini aku bisa membayar kembali utangku tanpa harus mengurangi uang sakuku yang dua shilling. Aku akan lebih berhati-hati kelak, Rita." "Ada lagi yang memerlukan uang tambahan?" tanya William mengetuk meja, sebab anak-anak telah mulai ramai bercakap-cakap sendiri. Segera mereka terdiam. Seorang anak perempuan kecil berdiri. "Minggu ini nenekku berulang tahun," katanya. "Aku ingin mengiriminya selembar kartu. Bolehkah aku minta uang tambahan untuk membeli kartu itu beserta prangkonya?" "Tidak," kata William. "Kau harus membelinya dengan uang sakumu. Permintaan tidak dikabulkan. Ada permintaan lain?" Tak ada yang bersuara. Elizabeth tahu bahwa acara selanjutnya adalah mendengarkan keluhan dan pengaduan. Dadanya berdebar keras. William berbicara sejenak dengan Rita, kemudian kembali mengetuk meja agar hadirin diam. "Ada laporan, keluhan, atau pengaduan?" tanya William. Elizabeth langsung berdiri. Tetapi Robert juga berdiri, dan ternyata lebih cepat darinya. "Kau lebih dulu, Robert," kata William. "Duduklah, Elizabeth, giliranmu setelah Robert nanti." "Oh, tetapi, William, aku harus melaporkan sesuatu yang sangat penting!" "Nanti juga bisa," kata William. "Duduklah." "Tetapi, William, aku ingin melapor tentang Robert," kata Elizabeth, suaranya meninggi. "Elizabeth, lakukan apa yang diperintahkan padamu," kata Rita. "Kau nanti akan punya cukup banyak waktu untuk mengatakan apa yang ingin kaukatakan." Tak bisa membantah lagi, Elizabeth duduk. Ia sangat marah. Matanya bersinar tajam ke arah Robert. Tetapi Robert pura-pura tak melihat, tampak sangat sabar menunggu waktunya untuk berbicara. "Nah, Robert, apa yang akan kaukatakan?" tanya William. "Kuharap saja apa yang kukatakan ini tidak dianggap mengadu," Robert mulai berbicara dengan suara sopan dan agak malu-malu. "Tetapi aku terpaksa melaporkan tentang kelakuan Elizabeth Allen padaku. Aku selalu berusaha bersikap baik padanya...." "Ooooo...," kata Elizabeth kesal. "Kau tahu sendiri kata-katamu itu tak benar! Kau telah..." "Diam, Elizabeth!" perintah William tajam. "Kau bisa mengatakannya nanti setelah Robert. Jangan menyela. Teruskan, Robert!" Dada Elizabeth bagaikan meledak menahan marah. Joan memegang lengan sahabatnya itu agar bersikap lebih tenang. Tetapi Elizabeth mengibaskan tangan Joan. Tunggu saja nanti kalau ia punya kesempatan untuk berbicara! "Aku selalu berusaha untuk berlaku baik padanya," Robert melanjutkan, dengan suara yang sangat sopan. "Tetapi aku toh tak bisa membiarkannya mencabuti rambut di kepalaku dan menampar mukaku keras-keras!" Hening seketika semua. Heran. Semua memandang Elizabeth. Robert melanjutkan ceritanya, sangat senang karena semua memperhatikan kata-katanya. "Di amplop ini kusimpan sebagian rambutku yang dicabut olehnya, sebagai bukti, kalau-kalau kalian tak mempercayai kata-kataku," kata Robert lagi. "Dan ada dua atau tiga orang anak yang bisa dijadikan saksi tentang apa sebenarnya yang telah terjadi. Tentu saja karena Elizabeth seorang anak perempuan maka aku tak mau membalasnya, walaupun aku tahu bahwa di semester yang lalu ia memang terkenal sebagai anak yang paling nakal di sekolah, dan..." "Kau tak usah membicarakan hal itu Robert, tak ada hubungannya dengan perkara ini," tukas William segera. "Selama ini kita mengenal Elizabeth sebagai anak yang selalu bersikap adil dan baik hati, walaupun ia pernah sangat nakal. Bisakah kau mengatakan mengapa Elizabeth sampai melakukan hal yang luar biasa itu?" "Ia tak suka aku mengayunkan seseorang," kata Robert. "Ia selalu ikut campur apa pun yang sedang kulakukan. Ia selalu tertawa bila aku berbuat kesalahan di kelas. Tetapi itu tak ada hubungannya dengan peristiwa ini. Aku sedang mengayunkan Peter, dan Peter menjerit-jerit kegirangan, tiba-tiba saja Elizabeth menyerbuku, mencengkeram rambutku dan menariknya keras-keras, kemudian aku ditamparnya dan ditinjunya!" "Sudah. Terima kasih," kata William. "Duduklah. Elizabeth, mungkin kau bisa menerangkan apakah yang dituduhkan Robert tadi benar. Apakah kau benar mencabut rambut Robert dan menamparnya?" Elizabeth langsung berdiri. Pipinya merah bagaikan api, matanya menyala-nyala murka. "Benar!" katanya hampir berteriak. "Dan sudah pantas ia menerima hajaran itu! Kalau perlu aku ingin mencabut rambutnya lebih banyak lagi, menamparinya...." "Cukup, Elizabeth," Rita memutuskan perkataan Elizabeth. "Kalau kau tak bisa mengendalikan dirimu, tak bisa menceritakan apa yang terjadi dengan baik, lebih baik kau tak usah berkata-kata lagi." Elizabeth tahu tak ada gunanya ia marah-marah. Sekuat tenaga ia mencoba bersikap tenang. "Baiklah, Rita, akan kuceritakan baik-baik apa yang terjadi," katanya. "Dan kau akan tahu bahwa sudah sepantasnya aku marah. Dan mungkin kau bisa memahami bahwa sepantasnya aku tampar dia. Waktu itu aku akan mengunjungi kelinciku. Tiba-tiba kudengar seseorang menjerit-jerit. Ternyata Peter. Ia duduk di ayunan, dan berteriak minta agar Robert tidak mengayunnya lagi sebab ia sudah sangat ketakutan." "Teruskan," kata William dengan nada dingin. "Aku segera berlari untuk menghentikan ayunan itu. Tetapi Robert menghalangiku, mendorongku hingga terjatuh," kata Elizabeth, merasakan betapa kemarahannya makin lama makin meninggi lagi, saat ia menceritakan apa yang terjadi. "Aku bangkit dan menangkap Robert agar tidak mengayun Peter lagi. Peter sudah begitu pucat dan terayun sangat tinggi. Aku takut kalau anak itu terjatuh. Oh, William, Rita, ini bukan pertama kalinya Robert menyiksa anak kecil! Ia benar-benar seorang anak yang kejam!" Hening sekali lagi. Setiap orang yang hadir tahu betapa gawatnya persoalan yang mereka hadapi. Siapa yang benar? Robert ataukah Elizabeth? Bersifat kejam terhadap yang lemah suatu tindakan yang sangat dibenci di sekolah itu. Tetapi pemarah dan suka berkelahi juga suatu kesalahan besar. Joan sangat bingung. Ia tahu benar Elizabeth berniat untuk berkelakuan sangat baik semester ini, dan ternyata kini si berandalan ini telah terlibat suatu kesulitan berat! Tak ada gunanya menghentikan Elizabeth. Jika Elizabeth melihat sesuatu yang dianggapnya tidak adil, ia pasti langsung hilang kesabaran dan mencoba membenarkannya. Joan tak tahu bagaimana perkara pelik ini bisa diselesaikan. William dan Rita berunding dengan suara perlahan. Dewan Juri juga membicarakan perkara tersebut. Robert duduk. Tenang-tenang saja. Sama sekali tak peduli. Ia bahkan tidak melihat pada Elizabeth, sama sekali. William mengetuk meja, minta agar hadirin diam. "Kami ingin bertanya pada mereka yang melihat peristiwa itu. Siapakah yang hadir waktu hal tersebut terjadi?" Tiga orang anak berdiri. Secara singkat mereka berkata bahwa mereka telah melihat rambut Robert yang tercabut, serta melihat pipi Robert yang merah kena tampar. "Apakah Robert balas memukul?" tanya Rita. "Kami tidak melihatnya berbuat itu," jawab Kenneth, kemudian duduk. Ia merasa kasihan pada Elizabeth. "Kini kami akan bertanya pada Peter apa yang telah terjadi," kata William dengan suara yang berubah lembut. "Berdirilah, Peter, dan jawab pertanyaanku." Si Peter kecil yang baru berumur sembilan tahun itu berdiri. Kakinya gemetar. Ia sangat ketakutan melihat semua mata tertuju padanya. "Apakah Robert mengayunmu terlalu tinggi?" tanya William. Peter berpaling pada Robert. Robert memandangnya dengan pandangan aneh. Dan Peter berbicara dengan suara semakin gemetar, "Ya, ia mengayunku cukup tinggi...." "Apakah kau ketakutan?" tanya William. "Tttttidak...," jawab Peter. "Apakah kau menjerit minta tolong?" tanya Rita. "Tidak," kata Peter, melirik ke arah Robert. "Aku hanya... aku hanya menjerit kegirangan...." "Terima kasih," kata William. "Duduklah." Elizabeth meloncat berdiri. "Robert pasti telah memaksa Peter untuk mengatakan itu semua tadi!" serunya. "Coba tanyakan pada anak-anak kecil lainnya, apakah mereka ingin mengadu tentang Robert, Rita!" Rita berpaling pada tempat murid-murid kecil duduk. "Apakah ada di antara kalian yang akan mengadu tentang Robert?" tanyanya. "Kalau ia pernah berbuat kasar, nakal, atau menyakiti kalian, entah dengan cara apa pun, harap menceritakan hal itu sekarang juga." Elizabeth menunggu. Menurut perkiraannya sekitar enam orang anak akan berdiri dan memberi kesaksian. Tetapi ternyata tidak! Ruang itu sunyi. Tak seorang pun berdiri dan melapor. Sungguh aneh! Lantas, apa yang akan terjadi? 5. Elizabeth Sangat Marah Kedua pengaduan yang diajukan dalam Rapat Besar itu begitu berat, sehingga lama sekali kedua Hakim dan anggota Dewan Juri berunding. Sementara itu anak-anak lainnya juga sibuk membicarakan persoalan tersebut. Tak banyak yang memihak Robert, sebab ia memang tak disukai. Tetapi hampir semua juga merasakan bahwa Elizabeth seharusnya tidak naik pitam dan melakukan pemukulan. "Lagi pula," kata seseorang pada kawannya, "dulu ia memang anak yang paling nakal di sekolah kita." "Memang. Dulu dia kita beri nama Si Badung Bandel Bengal," bisik kawannya. "Tetapi setelah tengah semester kelakuannya sungguh sangat baik." "Dan aku yakin benar ia berusaha menjadi murid yang baik semester ini," kata Harry. "Sering kudengar ia mengatakan itu. Semester yang lalu ia pernah bertengkar denganku, tetapi kemudian ia minta maaf, dan sejak itu kelakuannya terhadapku sangat baik." Begitulah. Pembicaraan terus berlangsung sementara Elizabeth dan Robert duduk tegak, di hati saling membenci, saling ingin agar yang lain dihukum seberat-beratnya. Para Hakim dan Juri sulit sekali mengambil kata sepakat Beberapa anggota Juri berpendapat bahwa Robert memang seorang yang suka menyakiti anak-anak yang lebih kecil- tetapi mengapa bahkan si Peter tidak memberi kesaksian tentang itu? Mungkinkah desas-desus bahwa Robert sok jago itu hanya desas-desus belaka? Semua anggota Dewan Juri memang terbiasa untuk berpikir dan mengambil keputusan seadil-adilnya. Mereka pun sadar bahwa mereka tidak bisa menjatuhkan ke-putusan tanpa suatu bukti. Di lain pihak, semua anggota Dewan Juri tahu betapa nakalnya Elizabeth semester yang lalu, dan tahu juga betapa gadis kecil itu akhirnya bisa mengalahkan dirinya sendiri dan mengubah pribadinya menjadi pribadi yang sangat menyenangkan. Mereka tak bisa percaya bahwa Elizabeth menampar Robert hanya karena iseng saja, hanya karena ingin berbuat nakal. Sungguh sulit. Mereka tak ingin menghukum Elizabeth, sebab jangan-jangan Robert memang suka menyiksa anak kecil. Akhirnya William mengetuk meja, minta agar hadirin diam. Semua hadirin terdiam, menunggu dengan berdebar-debar apa yang akan diputuskan Hakim. Elizabeth masih merah pipinya karena marah dan gelisah. Robert tampak pucat namun tenang. "Menurut kami persoalan ini sungguh pelik, tak mudah untuk diputuskan," kata William dengan suaranya yang enak didengar. "Memang jelas Elizabeth tak bisa mengendalikan diri, dan menyerang Robert. Tetapi tak jelas apakah Robert benar-benar menyiksa Peter. Sebab betapapun kita harus mempercayai kata-kata Peter. Toh ia mengerti bahwa tak baik bagj kita untuk berdusta. Kita juga sudah mengetahui pribadi Elizabeth, dan tahu benar bahwa ia biasanya bersikap sangat adil. Jadi, kalau tidak ada suatu hal yang dianggapnya keterlaluan, sulit untuk percaya bahwa ia menyerang Robert tanpa alasan." Hening sejenak. Seluruh hadirin seakan menahan napas untuk mendengarkan apa kata William selanjutnya. William berpikir sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya. "Baiklah. Elizabeth mungkin bersalah, tetapi mungkin sekali ia merasa yakin Robert melakukan sesuatu yang keji. Karenanya ia tak bisa menahan diri, menyerang Robert untuk menghentikannya. Di situlah kau salah, Elizabeth. Kalau kau cepat naik darah, maka kau sulit untuk bisa berpikir secara jernih. Seharusnya bila kau melihat sesuatu yang kauanggap salah, kau harus berpikir tenang, agar kau bisa mempertimbangkannya secara wajar, tidak melebih-lebihkannya, tidak memutar-balikkannya. Kau tadi berbicara dengan sikap sangat membenci Robert. Dan itu tidak saja melukai hatinya, tetapi juga pasti melukai hatimu sendiri." "Aku memang benci padanya!" sembur Elizabeth marah. "Tapi tanpa bukti yang cukup kuat bahwa Robert sering menindas anak-anak kecil, kami tidak bisa mengadili atau menghukumnya," kata William. "Dan karena kami yakin bahwa kau sungguh berpendapat bahwa Robert melakukan sesuatu yang salah, kami pun tidak menghukummu. Tetapi kau harus minta maaf pada Robert karena berlaku begitu kasar kepadanya." Semua berpendapat bahwa keputusan ini adil sekali. Tak seorang pun menginginkan Elizabeth dihukum berat, sebab semua menyukai gadis pemarah ini. Jadi semua berpendapat bahwa kemungkinan besar Elizabeth salah tafsir tentang Robert, dan karenanya Elizabeth harus meminta maaf. Elizabeth tak berkata sepatah pun. Ia duduk kaku, wajahnya masam. Robert tampak senang. Hebat! William berunding lagi dengan Rita, kemudian ia berbicara untuk menutup persoalan tersebut, "Itulah keputusan kami, Elizabeth dan Robert. Elizabeth, kau harus meminta maaf kepada Robert. Dan Robert, kau harus menerima permintaan maaf itu dengan baik-baik. Elizabeth, kau harus mengendalikan dirimu. Robert, jangan sampai terdapat kesan bahwa kau menindas anak-anak kecil. Sebab kalau itu terjadi, maka hu-kumanmu akan sangat berat." Pertemuan itu pun beralih membicarakan hal lain. Dan setelah beberapa saat, Rapat Besar dibubarkan, sebab sudah melebihi waktu biasanya. Anak-anak keluar dari ruang senam tak semeriah biasanya. Persoalan yang tadi mereka hadapi, masih membekas. Perkelahian dan penindasan! Soal seperti itu sangat jarang muncul. Robert berjalan dengan riang, tangannya dimasukkan ke dalam saku. Ia merasa dirinya tiba-tiba jadi anak penting. Dan ia merasa girang. Ia telah menang! Kini Elizabeth akan terpaksa meminta maaf padanya. Puas! Tetapi Elizabeth tidak sudi meminta maaf. Joan memperhatikan wajah merah sahabatnya itu saat mereka pergi ke ruang bermain. "Elizabeth. Itu Robert di sana. Cepatlah minta maaf, agar persoalan ini segera selesai," pinta Joan. "Tak sudi!" tukas Elizabeth, menggoyangkan kepalanya keras-keras. "Tak sudi! Aku senang telah menampar dia, telah menyakiti dia! Untuk apa berkata menyesal kalau dalam hati sesungguhnya aku tidak menyesal?" "Kau kan hanya minta maaf, tak perlu mengatakan menyesal. Itu kan tata cara kesopanan saja," Joan mencoba membujuk Elizabeth. "Dekati dia. Dan katakanlah. 'Robert, aku minta maaf! Begitu saja. Tak usah kau berbicara hal-hal lainnya lagi." "Tak mau!" kata Elizabeth. "Kali ini para Hakim dan Dewan Juri telah membuat kesalahan. Tak seorang pun bisa memaksaku minta maaf." "Elizabeth, tak peduli bagaimana perasaanmu, kau harus mematuhi William dan Rita," kata Joan gelisah. "Perasaanmu tak penting, yang penting adalah apa yang dirasakan anak lain terhadap dirimu. Ini adalah soal kau seorang diri menghadapi pendapat seluruh warga sekolah ini!" "Mungkin juga. Tetapi harus diingat bahwa kali ini aku di pihak yang benar," kata Elizabeth dengan suara gemetar. "Aku yakin Robert memang seorang penindas anak kecil!" "Elizabeth, kerjakan saja apa yang sudah diputuskan oleh Rapat Besar, kemudian kita berdua akan terus mengawasi Robert, agar suatu saat kita bisa menangkap basah dia," pinta Joan. "Cobalah lakukan itu. Demi aku, Elizabeth. Aku akan sangat sedih bila kau tidak mematuhi Rapat Besar, sebab seisi sekolah pasti mengira bahwa kau takut minta maaf." "Aku tak takut!" kata Elizabeth dengan mata bersinar marah. Joan dalam hati tersenyum. Ia berpaling meninggalkan Elizabeth sambil berkata lagi, "Kau takut. Kau takut menyakiti hatimu sendiri, meruntuhkan keangkuhanmu sendiri." Elizabeth langsung berjalan mantap ke arah Robert dan berkata kaku, "Aku minta maaf." Robert membungkuk sopan dan menjawab, "Kuterima permintaan maafmu." Elizabeth bergegas meninggalkan tempat itu, begitu cepat sehingga Joan terpaksa berlari-lari kecil mengikutinya. "Jangan ikuti aku!" bentak Elizabeth marah. Ia masuk ke ruang berlatih musik, duduk di kursi piano. Dimainkannya sebuah lagu, dengan keras dan menggambarkan kemarahan. Pak Lewis, guru musik, dengan heran memasuki ruangan itu. "Astaga, Elizabeth " kata Pak Lewis. "Belum pernah kudengar lagu itu dimainkan sedemikian dahsyat. Berdirilah. Biar kumainkan sebuah lagu yang lebih dahsyat dari itu, penuh rasa marah, dengan hujan badai hebat di dalamnya." Elizabeth bangkit. Pak Lewis memainkan lagu yang benar-benar dahsyat, penuh bayangan angin, laut, awan hitam, angin meraung-raung, dan pepohonan yang hampir bertumbangan. Kemudian badai reda, hujan turun rintik-rintik, angin berhenti bertiup, matahari terbit. Musik pun menjadi lembut dan teduh. Elizabeth mendengarkan itu semua. Hatinya menjadi sejuk juga. Teduh dan lembut pula. Ia begitu mencintai musik. Pak Lewis melirik padanya. Gadis kecil itu kini tampak tenang, tidak gelisah dan marah seperti tadi. Ia terus memainkan lagunya sampai terdengar lonceng berbunyi waktu tidur untuk Elizabeth. "Nah, sudah," kata Pak Lewis, kemudian menutup pianonya. "Sehabis badai, datang keteduhan. Kini pergilah tidur. Tidurlah dengan nyenyak, tak usah memikirkan yang tidak-tidak lagi." "Terima kasih. Pak Lewis," kata Elizabeth benar-benar bersyukur "Sekarang aku merasa lebih baik. Tadi hatiku panas dan mendendam. Tetapi kini aku lega kembali. Selamat malam!" 6. Tikus Putih Jenny Elizabeth tak bisa tidur nyenyak malam itu. Ia berguling-guling gelisah di tempat tidurnya, memikirkan Rapat Besar tadi dan Robert yang begitu dibencinya. Betapa malunya ia, harus minta maaf pada anak keji itu! Ia harus bisa menangkap basah anak itu, saat ia berbuat kejam pada anak-anak kecil! "Ya, aku akan selalu mengawasinya, terus mengawasinya," pikir Elizabeth. "Ia suka menindas anak kecil, pasti suatu saat ia akan melakukannya, dan aku akan melihatnya!" Keesokan harinya Elizabeth begitu capek dan matanya terasa sangat berat. Sulit sekali ia mengikuti pelajaran, terutama pelajaran bahasa Prancis. Mam'zelle sangat gusar padanya. "Elizabeth! Mengapa tak kauhafalkan kata-kata kerja yang kemarin?!" tegur guru bahasa Prancis itu. "Sungguh buruk. Kau diam saja, setengah mengantuk, dan kau tak memperhatikan kata-kataku! Aku kecewa sekali padamu!" Diam-diam Robert menyeringai senang. Elizabeth melihat hal itu dan terpaksa menggigit bibir agar tidak mengatakan kata-kata kasar yang pasti tidak saja akan menyinggung Robert, tetapi juga akan membuat Mam'zelle lebih gusar lagi. "Bagaimana? Kau tidak punya lidah?" tanya Mam'zelle tidak sabar. "Mengapa kau tidak menghafalkan kata kerja kemarin?" "Kemarin saya sudah menghafalkannya," kata Elizabeth dengan sebenarnya. "Tetapi entah kenapa hari ini semua terlupa lagi." 'Kalau begitu, hari ini juga kau harus mencoba menghafalkannya!" kata Mam'zelle dengan mata hitamnya yang bersinar marah. "Kalau kau sudah hafal, datanglah padaku dan ucapkanlah di depanku." "Baiklah," kata Elizabeth cemberut. Tetapi Mam'zelle masih merasa tidak puas. Ia mengetuk meja dan berkata dengan tajam, "Kau tak boleh hanya berkata 'Baiklah' begitu saja, dengan caramu yang tidak sopan itu. Kau harus berkata 'Baiklah, Mam'zelle'." "Baiklah, Mam'zelle," kata Elizabeth. Dalam hati, dengan kesal, ia memikirkan betapa gembiranya Robert melihat ini, melihat ia kena marah terus. Geram sekali Elizabeth. Mau rasanya ia mencabuti rambut hitam anak kurang ajar itu sekali lagi. Selanjutnya pelajaran berjalan cukup lancar. Elizabeth bertekad untuk tidak memberi kesempatan dirinya menjadi bulan-bulanan kemarahan gurunya, sebab itu pasti akan membuat Robert sangat bergirang hati. Namun ia tak bisa dengan mudah memusatkan pikiran pada pelajaran. Begitu ia berpikir, yang terpikir olehnya adalah Robert dan cara bagaimana ia bisa menjebak anak itu pada saat sedang menindas anak lain. Sorenya, saat Elizabeth sedang berlatih piano, Belinda, Joan, dan Nora mengadakan pertemuan kecil, merundingkan sahabat mereka itu. "Kita harus menjaga agar Elizabeth tidak bertemu dengan Robert. Paling tidak untuk beberapa hari ini," kata Joan. "Elizabeth sangat membenci Robert, dan ia sungguh sangat mudah marah karenanya. Sedikit saja Robert mencibirkan bibir bila mereka bertemu, misalnya, Elizabeth bisa langsung menyerang anak lelaki itu." "Benar. Dan setelah beberapa hari kemungkinan besar kemarahan Elizabeth sudah bisa mereda, dan dia bisa melupakan ini semua," kata Nora. "Kita harus memberinya kegiatan, agar selalu jauh dari Robert. Misalnya saja, kita ajak dia turun ke desa. Atau menyibuk-kannya dengan kebun John. Atau yang seperti itu. Lebih jarang bertemu dengan Robert, lebih baik. Aku sendiri sebetulnya muak juga melihat anak nakal itu." Begitulah. Hari-hari berikutnya Elizabeth selalu dibuat sangat sibuk oleh teman-temannya. "Ayo, bantulah aku memilih pita rambut, Elizabeth," pinta Joan. "Aku harus membeli yang baru." Keduanya pun turun ke desa untuk keperluan itu. "Elizabeth, yuk latihan menangkap bola lacrosse" ajak Nora. "Makin hari tampaknya kau makin pandai bermain lacrosse. Bila rajin berlatih, mungkin kau bisa jadi pemain utama kita." "Elizabeth, kita diminta John membantunya mengumpulkan sampah untuk api unggun," panggil Belinda. "Ayolah!" Begitulah. Hampir setiap saat Elizabeth harus berlari ke sana, berlari kemari. Jarang sekali ia melihat Robert, kecuali di dalam kelas tentunya. Tetapi ia tak pernah melupakan tekadnya untuk terus memata-matai Robert. Setiap ada kesempatan ia selalu menyelidiki apakah ada anak kecil yang ditindas oleh Robert. Tetapi hasilnya nihil. Robert seakan tak peduli pada anak lain, dan malahan selalu menghindari anak-anak kecil. Agaknya ia tahu bahwa Elizabeth terus mengawasinya, dan ia tak akan memberi kesempatan pada gadis itu untuk menjebaknya. Ia berpendapat, tak lama Elizabeth akan bosan mengawasinya terus. Robert sangat suka pada kuda. Setiap ada kesempatan selalu digunakannya untuk berkuda. Ia tak diperbolehkan merawat kuda-kuda itu sebab tugas tersebut hanya boleh dilakukan oleh anak-anak yang sudah besar. Namun Robert sering terlihat menunggui kuda-kuda di kandang mereka, berbicara dengan mereka, mengusap-usap kepala mereka. Dan kuda-kuda tersebut agaknya juga sudah mulai mengenal Robert. Setiap kali Robert datang, mereka menjulurkan kepala lewat pintu kandang. Binatang peliharaan lainnya sama sekali tak menarik hati Robert. Dan ini sedikit membuat kesal anak lain yang biasanya ingin memamerkan binatang peliharaan mereka. Jadi karena Robert sibuk dengan kuda-kudanya, dan Elizabeth disibukkan oleh sahabat-sahabatnya, maka kedua musuh tadi hampir tak punya kesempatan untuk bertemu dan bertengkar. Hanya di dalam kelas saja mereka memperlihatkan permusuhan mereka. Robert juga bertekad untuk tidak memberi kesempatan pada Elizabeth untuk mengejeknya. Ia belajar rajin sekali, berusaha sebaik-baiknya mengerjakan semua pekerjaan rumahnya. Bu Ranger, wali kelas mereka, sangat heran akan hasilnya. Girang juga ia melihat bahwa Robert membuat kemajuan besar di semua mata pelajaran. "Robert, pekerjaanmu baik sekali," puji Bu Ranger. "Aku takkan heran kalau suatu saat kau memimpin dalam memperoleh angka-angka tertinggi di kelas ini." Muka Robert merah karena senang. Sesungguhnya ia anak yang malas belajar. Tak pernah ia menduduki tempat dekat dengan tempat teratas dalam urutan pengumpulan nilai tertinggi. Bahkan di sekolahnya yang lama, ia tidak terhitung anak pintar. Elizabeth sangat marah dalam hati mendengar Robert mendapat pujian seperti itu. Kalau ia mau, dengan mudah ia bisa memimpin dalam pengumpulan angka! Ia bertekad akan bekerja keras untuk menunjukkan bahwa Robert takkan dapat memperoleh kedudukan nomor satu sementara Elizabeth masih di kelas itu. Elizabeth makin rajin dan tekun belajar. Begitu juga Robert. Tetapi mereka giat belajar untuk suatu alasan yang tidak benar! Hanya untuk bisa mengejek lawannya! Jadi sesungguhnya mereka rajin belajar bukan karena senang belajar, tetapi karena merasa terpaksa! Sungguh sayang. Kemudian untuk beberapa lama Robert dan Elizabeth melupakan permusuhan mereka karena tertarik pada suatu soal lain. Tikus-tikus Jennifer telah membuat suatu keributan besar dan Jenny hampir mendapat kesulitan karenanya! Tikus-tikusnya baru saja punya anak sembilan ekor. Lucu-lucu sekali. Kulitnya putih lembut, hidungnya runcing lembek, matanya merah, dan ekornya kecil-kecil. Jenny sangat mencintai binatang peliharaannya. Dan sungguh aneh melihat gadis cilik ini dengan sekitar setengah lusin tikus berlarian naik turun di lengannya. "Jenny, cepat kembalikan semua ke dalam kandang," kata Elizabeth suatu hari. "Cepatlah! Bisa terlambat kita nanti. Dan Bu Ranger agaknya hari ini mudah sekali marah." "Ya ampun, aku tak bisa menemukan mereka semua!" seru Jenny, meraba-raba seluruh tubuhnya. "Ke mana saja mereka pergi? Elizabeth, ada yang di punggungku, tidak?" "Oh, Jenny, bagaimana kau tahan dirambati tikus-tikus itu?" kata Elizabeth. "Tidak. Di punggungmu tidak ada. Mungkin semua sudah masuk ke kandang. Ayolah. Akan kutinggal kau kalau tidak segera berangkat juga." Jenny menutup pintu kandang dengan teliti, dan memasang kancingnya. Kemudian ia berlari bersama Elizabeth. Hampir saja mereka terlambat. Mereka tiba di ruang kelas tepat pada saat Bu Ranger juga tiba. Mereka duduk di tempat masing-masing. Pelajaran ilmu bumi, dan mereka mempelajari Australia dengan peternakan biri-birinya. Jenny duduk di baris depan, tepat di hadapan Joan dan Elizabeth. Dan di pertengahan pelajaran, tiba-tiba Elizabeth melihat ujung hidung seekor bayi tikus putih muncul di leher baju Jenny. Jenny juga merasakan hal itu. Ia menggerakkan bahunya, mendorong tikus tersebut masuk kembali ke punggungnya. Elizabeth hampir tak bisa menahan tawanya, la tak berani melihat ke depan lagi. Tetapi pada saat ia melihat ke depan, tikus tadi muncul di tangan baju Jenny sebelah kiri, memandang Elizabeth dengan matanya yang merah jambu. Beberapa saat kemudian lenyap lagi. Jenny merasa tikus itu bagaikan menggelitiknya. Ia menggerak-gerakkan badan, mencoba memaksa si tikus untuk ke bahunya, tempat yang mungkin nyaman dan bisa membuatnya tertidur. Tetapi si tikus tidak mengantuk. Malah sedang lincah-lincahnya! Ia berlari mengelilingi tubuh Jenny, di bawah bajunya, cium sana-cium sini, keluar-masuk dari dalam baju dan naik ke bahu. Bolak-balik Jenny harus menggerakkan badan. Satu kali Bu Ranger melihatnya dan menegur, "Jenny! Kenapa sih kau pagi ini? Duduklah dengan tenang!" "Baik, Bu Ranger," kata Jenny. Tetapi sedetik kemudian si tikus masuk ke bawah ketiak kirinya. Jenny geli sekali. Ia terkikik sehingga kembali Bu Ranger berpaling. "Jennifer! Kau seperti anak taman kanak-kanak saja! Dan Elizabeth, kau ini kenapa sih?" Sesungguhnya Elizabeth tidak berbuat apa pun. Ia hanya tidak bisa menahan tawanya, sebab ia tahu benar mengapa Jenny bersikap seperti itu. Si tikus sementara itu ternyata telah muncul di balik punggung Jenny, dan memandang heran pada Elizabeth dan Joan. Kedua anak itu berusaha keras untuk tidak tertawa, tetapi semakin mereka berusaha, semakin buruk keadaan mereka. "Sungguh mengesalkan kelas ini," gerutu Bu Ranger, tak sabar. "Jennifer, maju kau ke papan tulis dan tunjukkan padaku beberapa tempat di peta itu. Kalau kau tak bisa duduk dengan tenang, mungkin kau bisa berdiri dengan tenang." Jenny bangkit, berjalan ke depan. Si tikus merasa senang diajak berjalan-jalan. Dengan gembira ia berlarian di punggung Jenny. Jenny susah payah mencoba meraihnya. "Jenny, ada apa sih?" tanya Bu Ranger. Saat itu seluruh kelas sudah tahu apa yang terjadi. Semuanya terpaksa membungkuk ke buku masing-masing menyembunyikan tawa mereka. Sampai merah padam muka anak-anak itu berusaha keras untuk tidak tertawa. Lolos juga suara tawa Kenneth. Bu Ranger meletakkan bukunya dengan putus asa. "Kalian pasti sedang menyembunyikan sebuah lelucon," kata Bu Ranger. "Coba ceritakan, biar aku juga ikut mendengar. Kalau memang lucu, marilah kita tertawa bersama-sama. Kalau tidak, belajarlah dengan baik. Nah, apa yang lucu?" Tak seorang pun menjawab. Pandang mata Jenny memohon pada teman-temannya agar mereka tidak membuka rahasianya. Tikusnya juga memandang pada seisi kelas dari balik lengan baju Jenny. Bu Ranger sangat heran. Dan saat itu si tikus memutuskan untuk meninjau dunia lebih luas. Ia lari keluar dari lengan baju Jenny, dan meloncat ke meja Bu Ranger, menggosok-gosok kumisnya dengan tenang, seolah-olah tempat itu memang khusus untuknya. Seisi kelas tak tahan lagi. Mereka tertawa terpingkal-pingkal. Bu Ranger terkejut dan memandang ke mejanya dengan sangat heran. Ia tak melihat bagaimana tikus itu bisa sampai ke situ. "Bagaimana tikus ini bisa sampai ke sini?" tanya Bu Ranger. "Maaf, Bu Ranger, tikus itu melompat keluar dari lengan bajuku," kata Jenny. "Tadi aku sedang bermain-main dengan tikus-tikusku waktu lonceng berbunyi. Mungkin yang ini tertinggal di bajuku, tidak ikut masuk ke dalam kandangnya, bersembunyi di lengan bajuku." "Jadi itu lelucon kalian!" kata Bu Ranger dan mulai tersenyum. "Baiklah. Aku setuju, memang lelucon itu lucu. Tak heran bila semua tertawa. Tetapi lelucon seperti ini tak boleh diulang lagi. Sekali ini memang lucu, Jenny, tetapi lain kali kalau terjadi lagi seperti ini aku tak akan menganggapnya lucu lagi. Kau mengerti itu, bukan? Tikus putih lebih baik berada di kandangnya, tidak cocok berlarian di punggung orang di dalam kelas." "Oh, ya, aku mengerti, Bu Ranger," kata Jenny bersungguh-sungguh. "Ini sama sekali tak kusengaja. Bolehkah aku memasukkannya kembali ke lengan bajuku?" "Lebih baik tidak," kata Bu Ranger. "Aku percaya pelajaran kita tak akan memperoleh banyak kemajuan selama tikus itu berada di dalam kelas ini. Bawalah ia kembali ke kandangnya. Pasti banyak yang akan diceritakannya pada saudara-saudaranya." Jenny segera lari keluar dengan tikusnya, sementara seisi kelas mulai belajar lagi. Tetapi tertawa lepas tadi telah membuat gembira semua anak. Terutama Elizabeth. Setelah tertawa itu, ia merasa bahwa dirinya seakan tak punya rasa dengki lagi. Tidak memikirkan keinginannya untuk membalas dendam. 7. Kathleen Terlibat Kesulitan Elizabeth sangat menyukai permainan-permainan di semester musim dingin itu. Ia sampai tak bisa memilih mana yang lebih disukainya, lacrosse atau hockey. "Kukira aku akan memilih lacrosse," kata Elizabeth pada Joan. "Kalau harus menentukan mana yang lebih kusukai. Sungguh senang main tangkap bolanya." "Kalau kau terus saja bermain dengan baik seperti sampai saat ini, mungkin kau akan dipasang di pertandingan bulan depan," kata Joan. "Aku sendiri mendengar Eileen berkata begitu." "Betulkah?" tanya Elizabeth kegirangan. "Oh, sungguh hebat! Tak seorang pun di kelas kita yang pernah dipasang di tim sekolah. Kalau saja aku bisa terpilih, alangkah senangnya!" Tetapi ada anak lain di kelasnya yang juga dapat bermain lacrosse dengan sangat baik. Robert! Sebetulnya Robert belum pernah bermain lacrosse, tetapi ia sangat gesit, pandai dan cepat larinya, serta sangat cekatan menangkap bola. Permainan lacrosse itu dimainkan dengan sebuah bola karet keras, yang dilemparkan dari seorang pemain kepada pemain lainnya dengan semacam tongkat yang di ujungnya dipasang jala untuk menangkap bola. Dengan saling melempar itu kemudian bola dilemparkan ke gawang lawan. Tentu saja lawan takkan tinggal diam dan mencoba selalu untuk merebut kembali bolanya, atau paling tidak memaksa pemain lawan yang sedang membawa bola terpaksa melemparkan bola tersebut sehingga bisa ditangkapnya. Begitu Robert mengetahui bahwa Elizabeth makin baik dalam bermain lacrosse, dan ada kemungkinan untuk dipilih untuk menjadi anggota tim sekolah, ia memutuskan untuk menjadikan dirinya jauh lebih baik dari Elizabeth, agar bisa mencuri kesempatan gadis kecil itu. Ia tahu, hanya satu orang saja yang akan diambil dari kelas mereka. Regu sekolah mereka hanya kurang satu orang. Sungguh menyenangkan bila bisa bermain lebih baik dari Elizabeth agar akhirnya dialah yang dipilih. Maka ia membuat suatu acara baru bagi dirinya: berlatih menangkap bola kapan saja ia bisa minta bantuan seseorang untuk melemparkan bola kepadanya! Tetapi ia berlatih dengan diam-diam, agar Elizabeth tak tahu. Bila Elizabeth tahu, anak itu pasti bisa menduga tujuannya, dan ia pun akan berlatih lebih tekun lagi. Sementara itu kehidupan sekolah berlangsung terus. Elizabeth mulai bekerja keras bersama John di kebun sekolah. Mereka memotong bunga-bunga tua sisa semester musim panas, menumpuknya di tempat mereka bermaksud akan mengadakan api unggun. Mereka menggali dan membalik tanah untuk tanaman berikutnya. Keduanya tentu saja sangat capek dan bermandi keringat, namun mereka senang. Berdua mereka membuat rencana penanaman musim semi, kemudian saling membandingkan rencana masing-masing. John-berpendapat bahwa rencana Elizabeth lebih baik. 'Tidak terlalu lebih baik," kata John, dengan teliti memeriksa kedua rencana itu. "Tetapi aku sangat menyukai satu-dua hal dari rencanamu ini. Misalnya saja usulmu untuk menanam bunga-bunga krokus di rumput di tebing itu, sungguh suatu usul yang baik sekali. "Rencanamu untuk menanam mawar sulur di atas gudang tua itu juga sangat bagus," kata Elizabeth. "Kalau sudah tumbuh dan mekar, alangkah indahnya, John." "Aku tidak tahu apakah Rapat Besar akan mengizinkan kita memperoleh uang tambahan untuk membeli umbi krokus," kata John. "Kita mungkin memerlukan paling sedikit lima ratus buah umbi krokus agar tanaman kita nanti cukup terlihat. Baiklah kita tanyakan nanti." "Kau saja yang minta, jangan aku," kata Elizabeth, mukanya langsung cemberut. "Kau tahu apa yang terjadi minggu lalu. Semuanya begitu kejam padaku saat itu." "Tidak, tidak begitu, Elizabeth," kata John, bersandar pada sekopnya, memandang pada Elizabeth di seberang parit yang baru digalinya. "Rapat Sekolah selalu adil, tak pernah berlaku kejam pada siapa pun. Jangan keras kepala begitu, Elizabeth. Biasanya kau cerdas, tetapi sering juga kau begitu tolol!" "Kalau kau memanggilku tolol, aku takkan mau lagi membantumu," kata Elizabeth. "Terserah," kata John. "Aku akan minta bantuan Jenny saja. Ia juga pandai berkebun." Tetapi Elizabeth tidak meninggalkan John dengan berang, seperti yang cenderung ingin ia lakukan. Diambilnya sekop dan ia mulai menggali tanah dengan sekuat tenaga, hingga tanah beterbangan ke mana-mana. Ia tak sudi memberi kesempatan pada Jennifer untuk mengambil alih tempatnya di kebun ini! John tertawa. "Elizabeth, kalau tidak hati-hati, bisa-bisa kau menggali terus sampai ke Australia. Kalau itu maumu sih, ya terserah, tapi kurasa aku toh tak usah kaukubur dengan buangan tanahmu itu." Elizabeth tertegun. Betul juga. Tanah galiannya ada yang terlempar sampai ke John. Ia pun tertawa. "Begitu lebih bagus," kata John. "Kalau kau sering cemberut, lama-lama mukamu bisa jadi seperti muka Kathleen Peters." "Mudah-mudahan jangan!" kata Elizabeth. "Dia salah seorang yang juga tak aku sukai. Dia amat senang bertengkar! Dan setiap saat selalu mengira bahwa kami membicarakannya, padahal memikirkannya juga tidak." "Jangan selalu cari musuh," kata John, mulai menggali lagi. "Sahabat lebih menyenangkan daripada musuh. Daripada cari musuh lebih baik cari sahabat, Elizabeth sobatku." "Tapi tak mungkin ada orang yang bisa bersahabat dengan Kathleen," kata Elizabeth. "Benar-benar tak mungkin! Kau tidak sekelas dengan kami sih, jadi tak bisa mengetahui betapa menjengkelkannya dia itu." Memang benar bahwa Kathleen menjengkelkan. Ia selalu menggerutu tentang sesuatu. Dan ia selalu menghabiskan uang sakunya yang dua shilling untuk membeli permen- yang tak pernah dibagikannya pada siapa pun. "Tak heran mukanya penuh bintik-bintik," bisik Belinda suatu hari, sambil menahan tawa. "Terlalu banyak makan permen sih! Ibunya juga mengiriminya banyak sekali permen, hanya ia tak pernah mengatakannya pada kita. Takut kalau kita minta! Padahal, bila dikasih pun aku takkan mau." Bukan saja selalu bertengkar dengan teman-temannya, menuduh mereka membicarakannya, tetapi Kathleen juga sering bertengkar dengan guru-gurunya. Bila ada guru yang menyalahkannya, Kathleen langsung membela diri, menyatakan bahwa dirinyalah yang benar, dan gurunya yang salah. Mam'zelle tidak sesabar guru yang lain. Suatu hari Kathleen berani mengatakan pada Mam'zelle bahwa guru Prancis itu tidak memberinya pekerjaan rumah, jadi ia tidak mengerjakannya sama sekali. Mam'zelle yang juga cepat marah ini langsung mendampratnya. "Kau lagi, Kathleen!" seru Mam'zelle, telunjuknya melambai ke langit-langit. "Dikiranya aku ini angsa, ya? Dikiranya aku ini tekukur, ya? Dikiranya aku ini keledai? Dikiranya aku tak bisa ingat apakah aku memberi pekerjaan rumah atau tidak? Pasti kau juga berpikir bahwa aku tak pantas mengajar bahasa Prancis, eh, Kathleen?" Jika Mam'zelle marah, maka bagi yang tidak dimarahi pastilah gerak-geriknya sangat menggelikan hati. Seisi kelas langsung dengan penuh perhatian memperhatikan setiap gerak-geriknya, menikmati tontonan gratis ini. "Tetapi, Mam'zelle," kata Kathleen yang tetap tak mau kalah walaupun dengan gurunya sendiri. "Waktu itu Anda mengatakan..." "Bagus! Jadi waktu itu aku mengatakan sesuatu, ya?" kata Mam'zelle hampir memekik. "Jadi aku mengatakan sesuatu? Bagus, Kathleen-ku, kau sungguh baik hati untuk bisa mengingat hal itu. Sungguh kau begitu baik hati. Mungkin bila kau mencoba mengingat-ingat lagi, aku memang pernah memberimu pekerjaan rumah. Bagaimana? Dan mestinya tak ada alasan sedikit pun bagimu untuk tidak mengerjakan pekerjaan rumah itu, bukan?" "Tetapi Anda sama sekali tak memberiku pekerjaan rumah!" kata Kathleen. Lalu Belinda menepuk bahu Kathleen dan berkata, "Sudahlah, Kathleen. Kau memang diberi pekerjaan rumah, tetapi kau lupa menuliskan apa yang harus kaukerjakan!" "Belinda! Kau tidak usah ikut campur," kata Mam'zelle. "Ah, kelas ini. Selalu bandel! Sebentar lagi seluruh rambutku pasti putih semua memikirkan kalian!" Rambut Mam'zelle hitam legam, berkilauan. Tak ada yang punya pikiran, bagaimana bisa membuat rambut itu jadi putih. Jadi lucu juga perkataan Mam'zelle tadi. Kini mereka bergantian memandang Kathleen dan Mam'zelle, memikirkan apa gerangan yang akan terjadi. Akhirnya Kathleen diperintahkan untuk pergi ke ruang bermain dan sendirian mengerjakan pekerjaan rumahnya. "Anak itu bisa membuatku gila," pikir Mam'zelle setelah Kathleen pergi. "Dengan mukanya yang pucat berbintik-bintik dan rambutnya yang selalu kotor! Juga suaranya yang selalu bagai merengek-rengek itu!" Guru-guru lain selalu bisa menahan diri menghadapi Kathleen. Bahkan Bu Ranger sesungguhnya mengkhawatirkan gadis itu. Kathleen selalu tampak murung yang memang sudah sewajarnya sebab ia selalu saja bertengkar dengan seseorang. Jennifer Harris sangat menyukai adegan Mam'zelle tadi. Dengan teliti diperhatikannya setiap gerak-gerik Mam'zelle, setiap patah kata dan cara bicaranya. Kemudian ia berlatih me-nirukannya secara diam-diam. Akhirnya ia bisa menguasai seluruh adegan tadi. Mula-mula ia menirukan suara Kathleen merengek, kemudian suara dan gerak-gerik Mam'zelle yang kehilangan kesabaran. Sungguh lucu kelihatannya. Jenny ingin sekali memainkan adegan yang baru dipelajarinya itu di hadapan anak banyak Maka pada malam hari berikutnya, pada waktu hampir semua teman sekelasnya berada di ruang bermain, memutar gramofon, membaca buku atau menulis, ia memulai menirukan Mam'zelle. Anak-anak menghentikan semua kegiatan mereka dan memperhatikan Jenny dengan penuh perhatian. Belinda mematikan gramofon. Kathleen tak ada. Beberapa saat saja semua sudah dibuat ter-gelak-gelak oleh Jenny. Jenny melambaikan jarinya tepat seperti gaya Mam'zelle. Dan pada waktu ia menirukan suara dan gerak Mam'zelle saat berkata, "Aku seekor angsa, seekor tekukur, seekor keledai," semua riuh-rendah tertawa terpingkal-pingkal. Jenny menirukan suara merengek Kathleen dengan sangat baik. Kalau tidak melihat, orang akan mengira bahwa yang sedang berbicara adalah Kathleen sendiri. Tetapi kemudian Jenny berbuat kelewatan, ia mengatakan dengan suara Mam'zelle sesuatu yang tak pernah diucapkan Mam'zelle, "Ah, betul, Kathleen, aku betul-betul tak suka bintik-bintik di mukamu, aku tak suka rambutmu yang kotor itu, aku tak suka tingkah lakumu...." Suaranya sangat mirip dengan suara Mam'zelle, dan lucu sekali terdengar. Tetapi tepat pada saat itu Elizabeth melihat sesuatu-Kathleen telah berada di ruangan itu! Tak ada yang melihat ia masuk. Kapan? Berapa lama ia telah ikut menonton Jenny? Elizabeth menepuk Jenny. Tetapi Jenny tak memedulikannya. Ia sedang terlalu gembira karena pertunjukannya sangat berhasil. Semua mendengarkannya. Semua kagum akan kepandaiannya. "Jenny, tutup mulut!" desis Elizabeth. "Ada Kathleen!" Jenny langsung berhenti. Semua berpaling dan jadi kikuk saat melihat Kathleen. Belinda menghidupkan gramofon. Seseorang bersiul mengikuti lagu dari piringan hitam. Tak ada yang berani memandang Kathleen. Elizabeth duduk terpukau di sudut. Mengapa Jenny tadi mengatakan apa yang sebenarnya tak dikatakan oleh Mam'zelle? Bisa-bisa Kathleen mengira bahwa Mam'zelle mengatakan hal itu setelah ia pergi dari kelas untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Suara Jenny begitu persis, sehingga Kathleen pasti tahu bahwa Jenny menirukan Mam'zelle. Elizabeth melirik Kathleen. Sesaat terlihat Kathleen seolah-olah hendak mematikan gramofon dan mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Ia duduk membanting diri di sebuah kursi, mengeluarkan kertas dan bersiap-siap menulis, menggigiti ujung tangkai penanya. Wajahnya tetap pucat putih. Hanya matanya tampak menyala membara karena marah. Wajahnya kelihatan mengerikan. "Pasti ia takkan bisa memaafkan Jenny," pikir Elizabeth. "Mestinya Jenny tadi ku hen tikan sebelum kelewatan. Tetapi ia begitu lucu. Mungkinkah Kathleen akan melaporkannya dalam Rapat mendatang. Wah, mungkin juga!" Kathleen tidak membicarakan kejadian itu pada siapa pun. Ia bahkan tak berbicara pada siapa pun malam itu. Di kamar tidur, tempat tidurnya bersebelahan dengan tempat tidur Elizabeth. Dan Kathleen tidak menjawab sewaktu semua saling mengucapkan selamat malam. Elizabeth mengintip di antara tirai pemisah tempat mereka, akan mengajaknya berbicara, sebab ia merasa menyesal juga hal seperti tadi itu terjadi. Kathleen tidak melihat Elizabeth. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang wajahnya dalam cermin yang dipegangnya. Ia tampak begitu sedih, dan Elizabeth tahu sebabnya. Kathleen agaknya sedang memikirkan betapa buruk wajahnya. Tentu saja sebelum itu ia sudah sadar bahwa wajahnya buruk, tetapi pastilah sangat menyakitkan hati untuk mengetahui bahwa anak lain juga menyadarinya, dan malah menertawakannya. Elizabeth cepat mundur, tak jadi mengajak Kathleen berbicara. Apakah Kathleen punya keberanian untuk mengulangi apa kata Jenny di Rapat Besar nanti? Kemungkinan tidak. Kathleen punya rencana sendiri. Ia akan membalas dendam pada Jenny dengan caranya sendiri. Ia berbaring, terus berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya. Pokoknya Jenny harus bersiap-siap menerima pembalasannya! 8. Rapat Sekolah Sekali Lagi Beberapa hari setelah kejadian itu, keadaan jadi tak begitu menyenangkan. Terasa banyak sekali permusuhan. Misalnya saja, Kathleen sama sekali tak mau berbicara dengan Jenny. Tetapi ini sesungguhnya tak mengherankan, mengingat apa yang dilakukan Jenny. Tetapi di samping tak mau berbicara pada Jenny, ternyata Kathleen mulai membicarakan Jenny juga! Selalu menjelek-jelekkannya. Umpamanya tentang Jenny yang sangat suka sekali makan. Jenny memang seakan merasa lapar terus dan bisa makan sangat banyak- dan Kathleen mengatakan bahwa Jenny rakus. "Sungguh membuat aku ingin muntah melihat si rakus Jenny makan," kata Kathleen pada Belinda saat mereka sedang minum teh. "Lihat saja. Ia sudah menghabiskan tujuh potong roti berlapis mentega, tiga kue kecil, dan sepotong besar kue ulang tahun pemberian Harriet." Belinda tidak menanggapi. Ia memang tak suka bertengkar. Tetapi Elizabeth yang ikut mendengar langsung meluap amarahnya, dan membela Jenny. "Itu sudah keterlaluan, Kathleen" katanya. "Jenny bukannya rakus! Ia memang selalu merasa sangat lapar, pada waktu makan. Aku juga begitu. Dan belum pernah Jenny kulihat makan banyak hanya karena ingin makan saja, dan bukannya untuk mengisi perutnya yang lapar. Ia juga tak mau makan lebih dari bagiannya, bila makanan yang ada tidak cukup untuk semua orang. Dan sungguh kau kurang kerjaan untuk menghitung apa saja yang dimakannya." "Mengapa tidak," sahut Kathleen. "Kau akan heran bahwa hitunganku ternyata benar. Jenny memang rakus. Sungguh menjijikkan." "Kau sendiri bagaimana? Berapa banyak permen yang kauhabiskan tiap hari?" sambut Elizabeth. "Kau juga rakus... tak pernah menawarkan satu pun pada temanmu!" "Sudahlah. Jangan teruskan!" tukas Belinda, yang merasa tak enak di antara pertengkaran itu. "Aku tak tahu apa yang terjadi dengan kelas kita. Selalu saja ada pertengkaran!" Kathleen meninggalkan tempat itu. Elizabeth mengambil kotak catnya dan membantingnya keras-keras ke meja, bersiap-siap akan menggambar peta. Wajahnya sesuram mendung. "Elizabeth! Bisa-bisa kau memecahkan kotak cat itu!" seru Belinda. "Ya ampun, coba lihat mukamu di kaca! Seram!" "Paling sedikit kau harusnya ikut membela Jenny," Elizabeth mengaduk catnya keras-keras sehingga sebagian tertumpah di meja. "Aku takkan mengizinkan siapa pun mengucapkan kata-kata yang menjelekkan temanku. Aku akan ikut campur membelanya." "Kurasa kau makin membuat keadaan buruk dengan membela Jenny, lebih buruk daripada bila kau diam saja seperti aku," kata Belinda. "Aku tak tahu kenapa kau akhir-akhir ini... kau begitu pemarah!" 'Tidak!" kata Elizabeth. "Bukan aku pemarah, tetapi keadaan di sekelilingku yang tak keruan. Pokoknya aku takkan membiarkan si muka bintik-bintik itu mengatakan hal-hal buruk tentang Jenny. Jenny anak baik. Oh, betapa aku tertawa waktu tikus putihnya muncul di kelas dulu itu. Bahkan Bu Ranger juga menganggapnya lucu." Sekitar seperempat jam kemudian Jenny masuk ke ruang bermain tersebut dengan wajah marah. Ia duduk mengempaskan diri di kursi. Belinda berpaling dari jahitannya. "Astaga! Ini ada lagi yang wajahnya bagaikan mendung!" kata Belinda. "Kau kenapa, Jenny? Mukamu begitu masam, sekali pandang kau bisa membuat susu masam juga." "Jangan melucu," tukas Jenny. "Si jahat Kathleen itu! Ia berkata pada Kenneth bahwa kemarin aku meminjam sepedanya, tanpa minta izin lebih dahulu. Padahal aku tidak memakai sepeda Kenneth. Aku memakai sepeda Harry. Dan aku telah minta izin pada Harry! Ban sepedaku bocor." "Ya ampun, kalau begitu si Kathleen jelas kelewatan!" geram Elizabeth. "Sudah dua kali ini ia mengatakan hal yang jelek tentang dirimu. Aku akan menghadapinya, ada di mana dia?" "Ia ada di gang, di luar, masih juga membicarakan aku dengan Kenneth," kata Jenny. "Katakan apa yang ingin kaukatakan padanya. Biar kapok dia." "Jangan, Elizabeth," kata Belinda. "Kau tak usah ikut campur! Bisa lebih gawat nanti!" Tetapi Elizabeth telah bergegas keluar Dilihatnya Kathleen dan langsung didekatinya. "Dengar, Kathleen," kata Elizabeth. "Kalau kau tidak berhenti menyebarkan kata-kata keji dan tak benar tentang Jenny, akan kulaporkan kau dalam Rapat Besar mendatang." "Bagaimana tentang kata-kata keji dan tak benar yang diucapkan oleh Jenny tentang aku di depan semua anak itu?" sambut Kathleen dengan suara rendah dan gemetar. "Berani benar ia mengejekku seperti itu." "Mungkin kata-kata itu memang keji, tetapi bukannya tidak benar!" tukas Elizabeth. Tetapi ia segera menyesal telah mengatakan kalimat tadi. Namun terlambat sudah. Kata-kata itu tak bisa ditariknya kembali. Kathleen berpaling dan langsung pergi tanpa berbicara lagi. Kathleen benar-benar takut kalau dilaporkan dalam Rapat Besar. Ia memutuskan untuk tidak membicarakan Jenny lagi. Tetapi ia akan berbuat berbagai hal untuk membalas Jenny. Apa saja yang bisa membuat Jenny dihukum. Juga si Elizabeth yang suka ikut campur urusan orang lain itu. "Aku akan sangat berhati-hati, agar tak ada yang mencurigaiku," pikir Kathleen. "Akan kusembunyikan buku mereka... atau kutumpahi tinta pekerjaan rumah mereka... atau hal-hal kecil lain yang bisa menyebabkan mereka mendapat kesulitan. Pokoknya aku akan membalas perlakuan mereka padaku!" Rapat Besar sekolah tiba. Anak-anak mengambil tempat masing-masing, dan rapat pun dimulai. Pada pengumpulan uang, banyak sekali uang masuk, sebab ada tiga anak yang berulang tahun dan mendapat kiriman uang dari rumah. Sungguh beruntung! "Hari ini kita kaya/ kata William, sambil mengguncangkan kotak uangnya. "Bagikan uang saku seperti biasa, Eileen, dan uang tambahan empat setengah pence untuk Mary. Nah. Ada yang meminta uang tambahan?" Leonard, salah seorang murid kelas atas, berdiri. "Bolehkah aku mendapatkan setengah crown untuk biaya mengganti kaca jendela?" tanyanya. "Kemarin kupecahkan satu, di ruang bermain." "Tak sengaja atau karena lalai?" tanya William. "Aku sedang bermain bola kriket," kata Leonard. "Mestinya kau tahu, pada semester yang lalu kita telah membuat peraturan untuk tidak membawa bola apa pun ke dalam ruang bermain," kata William. "Bawa bola berarti ada kaca pecah." "Aku lupa pada peraturan itu," kata Leonard. "Tetapi kalau bisa aku minta uang tambahan itu. Setengah crown terlalu banyak bagiku. Maaf, William." Dewan Juri membicarakan permintaan itu. Mereka tahu bahwa setengah crown memang terlalu banyak bagi seorang anak yang setiap minggunya hanya mendapat dua shilling. Tetapi Leonard memang telah melanggar peraturan yang ia sendiri ikut membuatnya semester lalu. Mengapa uang milik sekolah harus membiayai kerusakan karena kelalaiannya. Akhirnya mereka mencapai kesepakatan. William mengetuk meja agar semua diam. "Adakah anak lain yang bermain-main denganmu waktu itu?" tanya William. Leonard berdiri. "Memang ada," katanya. "Tetapi waktu aku melemparkan bola itulah kaca pecah." "Dewan Juri berpendapat bahwa uang yang setengah crown itu tak layak keluar dari kotak uang sekolah," kata William. "Tetapi mereka juga berpendapat tak sepantasnya kau sendiri yang membayarnya. Rundingkanlah dengan anak-anak yang bermain denganmu. Ajak mereka iuran untuk membayar kaca itu. Kukira itu cukup adil." Seorang anak lelaki berdiri, "Aku ikut bermain waktu itu. Aku akan membayar bagianku. Aku rasa keputusan itu memang adil." Dua anak lagi berdiri, seorang anak laki-laki dan perempuan. "Kami juga mau membayar," kata mereka. "Bagus," kata William. "Dua setengah shilling dibagi empat, masing-masing membayar tujuh setengah pence. Itu takkan terlalu merugikan kalian masing-masing, bukan? Dan harap ingat bahwa kalian ikut membuat segala peraturan di sini, jadi janganlah peraturan itu kalian langgar sendiri." John menepuk Elizabeth. "Mintalah uang untuk membeli umbi krokus itu," bisiknya. "Ayolah! Aku tak akan memintanya. Itu kan usulmu." "Aku yakin Rapat tak akan memberiku apa-apa setelah kejadian minggu lalu," bisik Elizabeth dengan nada gusar. "Pengecut!" kata John sambil menyeringai. Ia tahu bahwa sepatah kata itu saja sudah cukup untuk mendorong Elizabeth langsung berdiri. Ia tak pernah bisa menahan diri bila dikatakan pengecut. Dari jauh Kathleen memandangnya, agak khawatir. Ia takut kalau-kalau Elizabeth melaporkannya. "Apa yang kauinginkan, Elizabeth?" tanya Rita. "Uang tambahan?" "Benar," kata Elizabeth. "Aku dan John punya rencana yang bagus sekali untuk taman sekolah kita. Kami berpendapat bahwa akan sangat indah bila di tebing penuh rumput dekat gapura di sana itu, tumbuh bunga-bunga krokus berwarna kuning dan ungu. Kata John paling sedikit kita memerlukan lima ratus umbi krokus. Bolehkah kami memperoleh uang tambahan untuk membelinya, Rita?" William dan Rita berunding beberapa saat, sementara anggota Dewan Juri saling menganggukkan kepala. Semua berpendapat uang untuk membeli benih bunga itu bisa diberikan. "Ya, kau boleh menerima uang itu," kata William. "Seluruh sekolah akan gembira bisa menikmati keindahan krokus itu nanti di awal musim semi, dan sudah sewajarnya bila uang untuk keperluan itu keluar dari kotak uang sekolah. Tanyakan berapa biaya yang harus kaukeluarkan untuk krokus itu, Elizabeth. Dan dengan gembira kami akan memberikan uang untuk itu. Juga aku ingin mengatakan bahwa seluruh sekolah sangat menghargai hasil karya kau dan John di kebun kita." Elizabeth memerah pipinya karena kegirangan. Ini benar-benar di luar dugaan. Ia kembali duduk setelah mengucapkan terima kasih. John menyeringai senang padanya. "Apa kataku," bisiknya. "Kau boleh selalu yakin bahwa William dan Rita selalu bersikap adil." "Ada laporan atau keluhan?" tanya Rita. Seorang anak kecil langsung berdiri. Agaknya ia telah bersiap-siap dengan keluhannya. "Aku ingin melaporkan tentang Fred White," katanya. "Ia selalu meminjam barang-barangku dan tak pernah mengembalikannya." "Itu pengaduan biasa, dan bukannya laporan," kata William segera. "Untuk perkara kecil macam itu, pergilah ke pengawasmu. Siapa pengawasmu?" "Aku," seorang anak bernama Thomas berdiri. "Terangkan padanya beda laporan atau keluhan, dengan pengaduan biasa," kata William. "Kami hanya menyelesaikan perkara yang serius di sini." "Ada keluhan lain?" tanya Rita. Seorang anak bernama William Peace berdiri. Ia satu kelas di bawah Elizabeth, dan berwajah sangat serius. "Aku ingin menyampaikan sebuah keluhan kecil," katanya. "Aku ikut pelajaran biola. Dan ternyata waktu berlatihku diubah sehingga bersamaan dengan kegiatan pencinta alam. Aku anggota kelompok pencinta alam, dan keberatan bila kehilangan salah satu acaranya. Dapatkah diusahakan agar kedua waktu itu dipertimbangkan lagi?" "Itu soal mudah," kata William. "Bicarakan dengan Pak Lewis, guru musik, mungkin ada anak lain yang mau bertukar waktu denganmu." "Terima kasih," dan anak itu pun duduk. Tak ada lagi keluhan lain. Kathleen sama sekali tidak berdiri, padahal teman-teman sekelasnya harap-harap cemas menunggu dia melaporkan tentang perbuatan Jenny. Tentu saja mereka tak tahu bahwa Kathleen telah memutuskan untuk turun tangan sendiri menghukum Jenny. "Rapat Besar dinyatakan berakhir," kata William. Anak-anak pun berduyun-duyun keluar menuju ruang bermain masing-masing. Elizabeth mendekati John. "Bagus sekali, kita akan memperoleh uang untuk membeli bibit krokus itu," kata Elizabeth dengan mata bersinar-sinar. "Mari kita besok ke desa dan kita tanyakan berapa harganya. Aku sudah tak sabar untuk segera menanamnya. Kau juga, bukan, John? Oktober adalah waktu yang tepat. Krokus-krokus itu akan tumbuh indah di musim semi." "Elizabeth, kalau saja kau bisa melihat sendiri wajahmu pada saat bahagia dan tersenyum seperti ini, sungguh manis sekali!" goda John. "Sebaliknya waktu kau cemberut dan merengut, tak ada yang mengalahkan seramnya." "Kau selalu memberiku kuliah, John!" kata Elizabeth. Tapi dalam hati ia merasa senang sekali bahwa John senang berteman dan bekerja dengannya. Sayang sekali ia tak tahu bahwa tak berapa lama kemudian John akan sangat marah padanya! 9. Kathleen Mulai Bertindak Kathleen tak mengubah keputusannya. Ia harus membalas dendam pada Jenny dan Elizabeth. Ia mulai bertindak. Berbagai akal licik dilakukannya. Begitu cerdik, sehingga tak ada yang mencurigainya. Ia menyelinap masuk ke dalam kelas, sesaat setelah selesai acara minum teh. Ruang kelas kosong. Ia pergi ke meja Jenny. Ia tahu Jenny baru saja membuat pekerjaan rumah bahasa Prancis dengan rapi dan hati-hati sekali. Dan Jenny telah menyimpan kembali bukunya di dalam laci meja. Kathleen mengambil buku tersebut. Membukanya pada bagian pekerjaan rumah yang baru dikerjakan. Dicelupkannya pen ke dalam tinta. Dan diguncangkannya tepat di atas pekerjaan rumah itu. Tiga tetes besar tinta jatuh. Dengan puas Kathleen memandangi hasil kerjaannya. Jenny pasti mendapat teguran! Ditunggunya sampai titik tinta itu kering, kemudian ditutupnya buku tersebut dan dimasukkan kembali ke dalam laci. Ia pun bergegas kembali ke ruang bermain. Dilihatnya Jenny di sana. Dalam hati Kathleen tersenyum puas. Biar tahu rasa Jenny besok, pikirnya. Elizabeth juga berada di ruang itu, sedang memasang piringan hitam kesayangannya. Kathleen berpikir-pikir apa yang bisa dilakukannya terhadap Elizabeth. Beberapa saat kemudian ia menyelinap ke luar. Naik ke kamarnya. Mengambil mantel dan ke luar. Di luar gelap. Kathleen berjalan menuju pintu kebun. Ia pergi ke gudang tempat Elizabeth biasa menyimpan sekop, garpu tanah, dan cangkul. John punya peraturan bahwa siapa pun yang bekerja dengannya, harus selalu membersihkan alat berkebun sampai bersih mengilat setelah habis dipakai. Elizabeth tahu benar hal ini dan selalu mematuhinya. Alat-alat yang digunakan Elizabeth selalu dirawat dengan sangat baik. Kathleen mengambil alat-alat berkebun itu. Dibawanya keluar, ke tempat ia tahu ada tanah yang sangat becek dan berlumpur. Ditancapkannya alat-alat tadi sehingga semuanya benar-benar sangat kotor. Kemudian dibawanya kembali alat-alat itu masuk, ditaruhnya di sudut gudang. Dalam cahaya lampu senternya terlihat betapa kotornya alat-alat tadi. John pasti marah besar nanti. Dan karena alat-alat itu biasa digunakan oleh Elizabeth, maka pasti John akan menuduh Elizabeth ceroboh. "Jenny dan Elizabeth akan segera mendapatkan upah mereka, karena bersikap buruk padaku," pikir Kathleen. Ia kembali ke kamarnya, untuk menanggalkan mantel. "Mereka harus dihukum! Mereka begitu keji padaku. Aku membalasnya kini, dengan berlipat ganda! Biar puas!" Ia kembali ke ruang bermain. Ia benar-benar lega, merasa menang. Tak sabar ia menunggu hari esok, saat hasil perbuatannya akan bisa terlihat. Yang pertama menderita akibat perbuatan Kathleen adalah Jenny. Mam'zelle meminta agar Kenneth mengumpulkan semua buku pekerjaan rumah bahasa Prancis. Jenny memberikan bukunya tanpa memeriksanya lagi. Sementara seluruh kelas mengerjakan pekerjaan terjemahan, Mam'zelle memeriksa buku-buku pekerjaan rumah. Waktu ia sampai pada buku Jenny, ia tertegun. Tiga buah noda tinta yang besar-besar hampir menutupi semua pekerjaan rumah Jenny! Dengan putus asa Mam'zelle melempar tangannya ke atas. "Apa ini?" serunya. "Buku siapa ini?" Cepat ia melihat nama yang tertulis pada buku tersebut dan dengan penuh heran melihat pada Jenny. "Jennifer Harris! Bagaimana kau berani menyerahkan pekerjaan seperti ini? Sungguh memalukan!" Jenny mengangkat kepala terkejut. Ada apa dengan pekerjaan rumahnya? Ia telah membuatnya dengan sangat hati-hati. "Ada apa, Mam'zelle?" tanyanya. "Apakah ada yang salah?" "Jenny anak manisku sayang, kau bukan lagi di taman kanak-kanak!" sela Mam'zelle, membuka buku Jenny dan menunjukkannya pada Jenny. "Lihat halaman ini! Apakah tidak memalukan? Kau tahu kau harus mengerjakannya sekali lagi. Dari kelas ini aku sudah memberi peraturan, tak boleh ada satu titik kotor pun dalam pekerjaan rumah! Aku benar-benar malu punya murid seperti kau!" Jenny ternganga melihat bukunya. Ia yakin tak pernah membuat tetesan tinta sedikit pun. Mungkin itu bukan bukunya! "Itu bukan buku saya, Mam'zelle," kata Jenny. "Tak mungkin! Pekerjaanku bersih. Aku tak pernah mengerjakannya sekotor itu!" "Jenny, aku tidak buta, aku bisa membaca!" seru Mam'zelle mulai naik pitam. "Kubaca namamu di sini. Lihat, Jennifer Harris! Tak salah lagi, ini pasti bukumu! Dan kau bilang tidak meneteskan tinta? Lalu bagaimana tetesan tinta sebesar ini bisa muncul? Muncul dengan sendirinya?" "Aku sama sekali tidak mengerti mengapa ada noda tinta di situ," kata Jenny makin kebingungan. "Benar-benar tak mengerti! Aku sangat menyesal, Mam'zelle. Biarlah kukerjakan sekali lagi pekerjaan itu." "Dan di waktu-waktu mendatang kau harus hati-hati!" kata Mam'zelle mulai agak tenang kembali. Jenny tak habis-habisnya berpikir. Mungkin tanpa diketahuinya ia telah meneteskan tinta. Mungkin waktu ia menutup buku. Ia begitu bingung sehingga tak melihat betapa gembiranya Kathleen karena salah satu ulahnya mencapai hasil yang sangat diharapkannya. Dalam hati ia tertawa puas. Ia harus segera memikirkan, apa lagi yang akan dilakukannya terhadap Jenny. Sore itu ada setengah jam bebas. Anak-anak boleh berjalan-jalan, berlatih lacrosse, atau berkebun. Elizabeth memilih berkebun karena ia ingat ada sepetak tanah yang belum digalinya. Kemarin waktunya telah habis sebelum ia bisa mengerjakan tempat itu. Ia berlari-lari kecil menuju kebun. Dilihatnya John telah mulai menggali tanah dengan rajin. Elizabeth memanggilnya, tetapi kelihatan sekali bahwa John sedang marah. "Elizabeth, kau kemarin menggali dan membalik tanah, bukan?" tanya John. "Benar," kata Elizabeth. "Kenapa? Aku malah menggunakan hampir semua alatku. Aku begitu sibuk. Kenapa, John? Kau kelihatannya marah." "Aku memang marah!" kata John. "Ambil alat-alatmu dan kau akan tahu mengapa!" Elizabeth tak bisa mengerti apa yang dimaksud John. Ia cepat-cepat masuk ke dalam gudang, dan tertegun keheranan. Alat-alat ber-kebunnya penuh dengan lumpur! Satu pun tak ada yang bersih mengilat. Aneh sekali! Dibawanya semua keluar. "John!" katanya. "Aku yakin kemarin aku sudah membersihkannya seperti biasa. Sudah sangat bersih sebelum kusimpan!" "Tak mungkin," kata John dengan nada tajam. "Mana bisa alat-alat itu jadi kotor dengan sendirinya. Gunakan otakmu, Elizabeth!" "Sudah kugunakan!" seru Elizabeth. "Dan otakku bilang bahwa kemarin aku telah membersihkan semua ini. Bukanlah kesalahanku bahwa sekarang alat-alat ini kotor. " "Baiklah, tak usah ngotot," kata John dengan geram. "Kalau saja kau mengaku lupa, Elizabeth, mungkin aku bisa mengerti. Sungguh tak masuk akal kau berani menyangkal, padahal bukti ada di depan mata! Sungguh munafik!" "John!" tukas Elizabeth. "Bagaimana kau bisa mengatakan seperti itu padaku? Aku tak pernah takut mengakui kesalahanku, kalau aku memang bersalah. Kau tahu itu. Dan aku yakin aku telah membersihkan semua alat-alat ini!" "Baiklah, baiklah!" kata John, kembali menggali lagi. "Mungkin alat-alat itu tadi malam iseng keluar jalan-jalan, dan menggali sendiri, dan lupa mencuci diri mereka sendiri. Baiklah. Biarlah ceritanya begitu saja." Kedua anak itu bekerja tanpa bicara. Elizabeth bingung bercampur heran bercampur marah. Sungguh tak enak untuk berpikir bahwa John tidak percaya padanya. Kalau dilihat buktinya sih, mungkin juga ia lupa membersihkan alat-alat itu. Sungguh menjengkelkan dimarahi John. Ia tak tahu harus berbuat apa. "John," akhirnya ia berkata. "Aku yakin bahwa aku telah membersihkan alat-alat ini. Tetapi kalau ternyata aku memang telah kelupaan, yah, maafkanlah. Aku tak pernah lupa sebelum ini. Dan aku takkan melupakannya lagi." "Baiklah, Elizabeth," kata John, mengangkat muka. Matanya yang cokelat jujur itu bertemu dengan mata Elizabeth. John tersenyum. Elizabeth membalas senyum itu. Tetapi dalam hati ia masih penasaran. Sementara itu Kathleen telah menyaksikan adegan tadi dari kejauhan. Ia puas sekali melihat Elizabeth dimarahi John. Ia segera pergi, merancangkan sesuatu lagi untuk membuat Elizabeth kena marah. Apa yang akan dilakukannya? Mungkin dua-tiga hari lagi ia akan membuat kotor alat-alat Elizabeth. Tetapi tak usah terlalu dekat waktunya, bisa-bisa Elizabeth curiga bahwa ada orang lain yang berusaha untuk menjelekkannya. Akhirnya Kathleen memutuskan untuk menyembunyikan buku-buku Elizabeth. Bu Ranger akan sangat marah bila buku-buku itu tak bisa ditemukan. Sekali lagi Kathleen menyelinap ke dalam kelas. Kali ini ia langsung pergi ke meja Elizabeth. Diambilnya buku geografi, aritmatika, dan sejarah, lalu dibawanya keluar. Di luar ruangan terdapat sebuah lemari, di atasnya tertumpuk peta-peta tua. Kathleen mengambil kursi. Buku-buku Elizabeth dilemparkannya ke atas lemari, di antara peta-peta tua. Tak ada yang menyaksikan perbuatannya. Cepat-cepat ia turun, mengembalikan kursinya, dan pergi. Kini, apa yang akan dilakukannya terhadap Jenny? Anak nakal itu mengernyitkan kening. Berpikir keras. Dan akhirnya ia tersenyum. Ada akal! Ia akan mengambil dua ekor anak tikus Jenny dan menaruhnya di dalam laci meja Bu Ranger. Hebat sekali. Bu Ranger pasti berpendapat bahwa Jenny yang meletakkannya di tempat itu. Tak akan ada yang tahu siapa yang telah berbuat. Untuk melaksanakan rencana itu, Kathleen harus menunggu sampai besok pagi. Ia harus mengambil tikus-tikus itu sebelum waktu makan pagi. Saat itu tak akan ada murid yang berkeliaran di luar gedung. Semalaman Kathleen memikirkan apa yang mungkin dikatakan Bu Ranger setelah mengetahui di dalam lacinya ada tikus. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kathleen telah bangun. Nora heran juga melihat ini. Biasanya Kathleen selalu bangun terakhir. "Halo, kebiasaan baru nih?" sapa Nora. Kathleen tidak menjawab. Ia menyelinap turun lima menit sebelum bel sarapan berbunyi, langsung lari ke luar, ke gudang tempat kandang-kandang binatang peliharaan. Ia pergi ke kandang tikus putih Jenny. Ia sudah membawa sebuah kotak kecil. Tak sampai dua detik ia telah berhasil menangkap dua ekor bayi tikus yang kecil-mungil dan putih. Dimasukkannya kedua binatang itu ke dalam kotak dan ia bergegas menuju ruangan kelas. Diangkatnya tutup laci meja bu Ranger. Dibukanya kotak kecil yang tadi dibawanya. Dan keluarlah dua ekor bayi tikus putih tadi. Kathleen menutup laci. Betapa terkejutnya Bu Ranger nanti. Betapa terkejutnya Jenny nanti. 10. Keributan di Dalam Kelas Pelajaran pertama pagi itu adalah aritmatika. Bu Ranger menerangkan satu hitungan baru. Semua mendengarkan dengan teliti. "Kini keluarkan buku kalian, kita akan mencoba mengerjakan beberapa soal seperti ini," kata Bu Ranger kemudian sambil mulai menulis beberapa soal di papan tulis. "Aku yakin kalian sudah dapat mengerjakannya dengan baik. Tetapi bila ada yang belum jelas, harap segera bertanya, sebelum mengerjakan soal-soal ini." Elizabeth membuka tutup laci mejanya, untuk mengambil buku aritmatika. Tetapi ternyata tidak ada. Padahal kemarin telah disiapkannya dengan meletakkannya di paling atas tumpukan. Dicarinya dengan teliti. Tetapi hasilnya nihil! Di mana buku itu? "Elizabeth! Kapan kau akan mengeluarkan kepalamu dari laci meja itu?" tegur Bu Ranger. "Bukuku hilang!" kata Elizabeth. "Kemarin kan ada," kata Bu Ranger. "Apakah kaubawa keluar ruang kelas?" "Tidak, Bu Ranger," kata Elizabeth. "Tak ada PR aritmatika. Aku kemarin memasukkannya lagi ke dalam laci ini sesudah pelajaran. Tetapi sekarang tidak ada!" "Ambil saja selembar kertas dari lemari," kata Bu Ranger akhirnya. "Dan kerjakan soal ini di situ. Kita tak bisa menunggu sepanjang hari sampai kau menemukan bukumu, Elizabeth." Elizabeth mengambil kertas, dan mengerjakan soal di kertas tersebut. Masih untung ia tak dihukum apa-apa. Ia tak habis pikir, di mana buku itu. Itu terus yang dipikirkannya saat ia mengerjakan soal-soal hitungannya. Kathleen bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi nanti, bila ketahuan Elizabeth juga tidak bisa menemukan buku-bukunya yang lain! Ia juga menunggu dengan penuh harap saat Bu Ranger membuka tutup laci mejanya. Tetapi tak ada alasan bagi Bu Ranger untuk membuka tutup laci itu selama pelajaran berhitung. Maka sampai saat itu tikus-tikus tadi tak terganggu, bergelung di sudut laci dan tertidur. Mata pelajaran berikutnya bahasa Prancis. Kemudian geografi. Bu Ranger memerintahkan agar semua membuat peta. Maka semua mengeluarkan buku latihannya. Kecuali Elizabeth, tentu. Sekali lagi ia tak bisa menemukan buku geografinya! "Astaga, Elizabeth, masa buku geografimu juga hilang?" tanya Bu Ranger, makin hilang kesabarannya. "Bu Ranger, aku sama sekali tak mengerti bagaimana hal ini terjadi, tetapi buku geografiku betul-betul tidak ada!" kata Elizabeth, dengan cemas memunculkan kepalanya dari balik tutup meja untuk memandang Bu Ranger. "Sungguh keterlaluan kau sampai kehilangan dua buah buku, kata Bu Ranger "Ini tidak bisa kuterima, Elizabeth. Mungkin harus kulihat sendiri di mejamu agar aku yakin bahwa buku-buku itu memang tak ada. Aku tak bisa membayangkan bagaimana seorang murid bisa kehilangan dua buku latihan sekaligus, sedangkan seperti kaukatakan, kau tidak pernah membawanya ke luar kelas." Tetapi bahkan mata tajam Bu Ranger tak bisa menemukan buku-buku yang hilang itu. Robert tampak girang sekali melihat Elizabeth mendapat kesulitan. Sedangkan Kathleen juga sangat gembira akan hasil ulahnya, namun ia tak berani memandang Elizabeth maupun Jenny, takut kalau-kalau kegirangannya menimbulkan kecurigaan. "Akan kuberi kau selembar kertas peta. Dan nanti kalau bukumu sudah ketemu, kau harus menempelkan peta yang kaugambar pada buku tersebut," kata Bu Ranger Dibukanya tutup laci mejanya, untuk mengambil kertas peta. Tetapi gerakannya itu membuat dua ekor anak tikus terbangun! Dengan cicitan dan jeritan, keduanya melompat ketakutan dan berlarian di dalam laci itu, berloncatan di antara buku-buku dan berbagai alat tulis. Bu Ranger sampai tak bisa mengeluarkan suara karena kagetnya. Ia sudah akan menutup tutup laci itu, namun dengan gesit tikus-tikus tadi meloncat ke luar, lari ke rok Bu Ranger dan turun ke lantai. Semua murid juga ternganga terpesona. Bu Ranger dengan wajah marah menatap Jenny yang juga terheran-heran. "Jenny," kata Bu Ranger. "Aku yakin hanya kau saja di sekolah ini yang punya binatang peliharaan tikus. Apakah kau merasa lucu menaruh tikus-tikus malang itu di dalam laci mejaku yang tidak ada saluran udaranya sama sekali, hanya untuk menjebak aku?" Mula-mula Jenny sama sekali tak bisa berbicara. Ia begitu terpukau sehingga lidahnya serasa kelu. Apakah itu tadi tikusnya? Bagaimana keduanya bisa masuk ke laci meja Bu Ranger? "Bu Ranger, tentu saja bukan aku yang menaruh tikus-tikus itu di meja Anda," akhirnya Jenny berkata. "Harap percaya padaku, aku tak mungkin berbuat sekeji itu terhadap tikus-tikusku Dan lagi pula, aku selalu ingat, dulu Anda begitu baik tidak menegurku waktu aku masuk ke dalam kelas dengan seekor tikusku di dalam bajuku. Tak mungkin aku begitu tak berperasaan untuk sekali lagi mempermainkan Anda." Sementara itu, tikus-tikus Jenny berlarian di dalam kelas. Dengan rasa khawatir Jenny terus memperhatikannya, takut kalau-kalau mereka menyelinap ke bawah pintu dan lari ke luar, hilang, atau bisa-bisa dimakan kucing! "Kau harus segera menangkapnya," kata Bu Ranger. "Tak boleh kita membiarkan pelajaran kacau seperti ini. Aku tak bisa berpikir lain bagaimana tikus-tikus ini masuk ke laciku, kalau bukan kau yang memasukkannya. Aku harus mempertimbangkan hal itu. Aku benar-benar kecewa terhadapmu!" Jenny melompat dari tempat duduknya, mencoba menangkap tikus-tikus itu. Tetapi ternyata sangat sulit. Kedua hewan yang sangat ketakutan itu gesit sekali lari ke sana kemari, bersembunyi di sana, bersembunyi di sini. Beberapa orang anak perempuan pura-pura ketakutan bila tikus-tikus itu mendekat, mereka menjerit-jerit menambah ramai suasana. Elizabeth dan Belinda turun tangan membantu Jenny, tetapi kedua tikus itu benar-benar gesit. Kemudian dengan sangat cemas Jenny melihat tikus-tikus tersebut benar-benar menyelinap di bawah pintu kelas dan ke luar! Jenny cepat lari ke pintu, membukanya dan melihat ke luar. Hilang sudah! Entah ke mana! Kebingungan gadis kecil itu berlarian di gang, melihat ke segala arah. Tikus-tikusnya tak terlihat lagi. Jenny sangat mencintai tikus-tikusnya. Tak terasa air matanya mengalir. Kemudian dihapusnya. Tetapi air matanya mengalir terus. Jenny tak mau kembali ke kelas dengan menangis. Susah-payah Jenny mencoba menahan tangisnya, bersandar di dinding dan mencoba bepikir. Siapa gerangan yang telah berbuat sekeji itu padanya. Seseorang telah mencoba membuatnya dimarahi guru! Seseorang telah membuatnya kehilangan dua ekor tikus kesayangannya! Sungguh jahat! Jahat! Jahat! Jahat! Terdengar langkah kaki mendekatinya dari arah tikungan. Ternyata yang muncul Rita, salah seorang Ketua Murid! Rita tercengang melihat Jenny berdiri sendirian, menangis. "Ada apa?" tanya Rita. "Kau dikeluarkan dari kelas?" "Tidak," kata si malang Jenny. "Tikus-tikus putihku! Hilang. Aku takut kalau-kalau kucing kita memakannya." Diceritakannya semua yang telah terjadi pada Rita. Rita mendengarkannya dengan penuh perhatian. "Aku sama sekali tak suka pada kenyataan ini, bahwa seseorang telah berusaha memburukkan namamu," kata Rita kemudian. "Tapi apakah kau yakin bahwa ini bukan perbuatanmu sendiri, Jenny?" "Oh, Rita, tak mungkin aku berbuat sekejam itu pada tikus-tikus kesayanganku," kata Jenny. "Percayalah!" "Kalau begitu persoalan ini harus kita bawa nanti ke Rapat Besar," kata Rita. Harus kita selidiki sampai tuntas. Kembalilah ke kelasmu, Jenny. Tak usah menangis, mungkin tikus-tikusmu akan muncul lagi." Jenny kembali ke kelasnya. Bu Ranger melihat mata Jenny merah, bekas menangis, dan ia tak mau menghardik anak itu lagi. Lonceng berbunyi. Waktu istirahat tiba. Syukurlah. Saat anak-anak keluar dari kelas, Robert menubruk Elizabeth. Elizabeth marah dan melotot padanya. Robert hanya menyeringai dan berkata, "Berapa buku lagi yang akan kauhilangkan?" Dengan geram Elizabeth meninggalkan tempat itu bersama Joan. Tetapi suatu pikiran muncul di kepalanya. Mungkinkah Robert yang menyembunyikan buku-bukunya? Sungguh suatu keajaiban bahwa dua bukunya hilang sekaligus, dua buku yang mestinya dipakai hari itu! Ia menemui Jenny dan mengajaknya berbicara di sebuah sudut. "Bagaimana pendapatmu! Mungkinkah Robert yang menyembunyikan bukuku dan menaruh tikus di meja Bu Ranger?" tanya Elizabeth. "Dia kan memang selalu ingin membuatku mendapat kesulitan." 'Ya, memang, tetapi kenapa ia juga mempermainkan aku? Aku toh tidak bermusuhan dengan dia," kata Jenny. "Oh, itu mungkin sekali. Kalau ia hanya mempermainkan aku, maka orang bisa lantas curiga padanya," kata Elizabeth. "Tapi kalau ia mempermainkan beberapa orang sekaligus, di antaranya yang jelas-jelas tidak bermusuhan dengannya, maka kecurigaan tidak terarah padanya, bukan?" "Benar juga, dan kalau itu memang benar, maka sungguh kejam dia," kata Jenny geram. "Oh, Elizabeth, aku ingin segera mengetahui, siapa yang begitu kejam mempermainkan tikus-tikusku." Lebih buruk lagi bagi Elizabeth, saat pelajaran sejarah tiba. Ia harus memberitahu sekali lagi pada Bu Ranger bahwa bukunya hilang! "Elizabeth! Ini sungguh ajaib!" kata Bu Ranger dengan marah. "Satu buku sudah lebih dari cukup untuk hilang tanpa alasan. Tetapi tiga! Pasti kau telah membawanya ke luar kelas dan meninggalkannya entah di mana. Carilah lagi. Kalau tidak ketemu kau harus membeli yang baru lagi!" "Sialan!" keluh Elizabeth. "Harga buku-buku itu masing-masing tiga pence. Jadi semua sembilan pence. Sedang uang sakuku hanya dua shilling. Sialan! Kalau terbukti Robert yang mengambil buku-bukuku, akan kucabuti semua rambutnya!" Ia mengatakan hal itu pada Joan, yang langsung menukasnya, "Oh, jangan, jangan bertindak seperti itu. Kalau memang Robert yang berbuat, kau harus melaporkannya pada Rapat Besar. Sebab memang untuk hal-hal .seperti inilah kita mengadakan Rapat Besar itu, Elizabeth. Untuk membantu kita semua menjernihkan persoalan yang rumit, memberi jalan keluar dari keruwetan. Memberi pertolongan pada kita untuk soal-soal yang mungkin tak bisa kita selesaikan sendiri. Akan lebih baik kalau para Hakim dan Juri memutuskan jalan keluar persoalan kita. Bukankah mereka kita pilih karena kebijaksanaan mereka? Kau begitu tidak sabaran, nanti kau malah terlibat persoalan yang lebih ruwet lagi." "Mestinya kau membantu aku, dan bukannya menasihati seperti itu," Elizabeth marah dan menarik tangannya dari pegangan tangan Joan. "Aku justru membantumu!" sangkal Joan. "Karena aku sahabatmu, maka aku menganjur-kanmu untuk tidak gegabah. Dan bukan seorang sahabat yang baik kalau aku malah menganjurkanmu untuk mencabuti rambut Robert, bahkan sebelum kita tahu pasti bahwa dia betul-betul bersalah." "Tapi kau lihat, betapa girangnya ia melihat aku dimarahi Bu Ranger," kata Elizabeth ketus. "Pasti dia yang menjadi dalang semua ini! Tunggu saja nanti. Aku akan berhasil menangkap basah saat ia menyakiti anak kecil. Oh, alangkah senangnya bisa melaporkannya di Rapat Besar nanti!" Ternyata harapan Elizabeth segera terkabul. Keesokan harinya ia berhasil menangkap basah Robert! 11. Persoalan Semakin Gawat Untuk sekian lama Robert telah menahan diri. Tidak menakut-nakuti seseorang ataupun berbuat keji. Ia benar-benar takut kalau perbuatannya itu akan diketahui oleh Elizabeth. Robert tahu Elizabeth selalu mengawasinya dan ia tak mau memberi kesempatan pada gadis itu untuk melaporkannya lagi. Tapi dua atau tiga minggu setelah itu Robert berpikir bahwa Elizabeth telah bosan mengawasinya. Robert tidak tahu bahwa Elizabeth menduga bahwa Robert yang melakukan semua kenakalan. Ia bahkan melakukan pengawasan lebih sungguh-sungguh lagi. Hari itu Robert harus keluar mengambil air untuk melukis. Elizabeth melihatnya keluar dari ruang bermain dan ia berkata pada Joan. "Joan, mungkin Robert akan menyembunyikan bukuku lagi. Atau melakukan sesuatu yang akan merugikanku," bisiknya pada Joan. "Ayo kita mengikutinya diam-diam." Kedua gadis itu mengikuti Robert. Ia memasuki gang dan berlari menuruni tangga menuju ruang penyimpanan jas di bawah. Dan dari balik tikungan muncul Leslie, si cilik lancang yang pernah melaporkan temannya karena meminjam barang-barangnya tanpa dikembalikan. Leslie juga berlari dengan kecepatan tinggi, dan tanpa dapat dicegah langsung menubruk perut Robert. Begitu keras sehingga Robert terpaksa membungkuk-bungkuk kesakitan. Leslie tertawa terkekeh-kekeh. Sungguh lucu melihat Robert yang besar itu kesakitan! Tetapi bagi Robert tentunya ini tidak lucu. Tangannya langsung melesat terulur dan mencengkeram Leslie. Begitu keras sehingga anak itu menyeringai kesakitan. "Lepaskan!" pinta Leslie. Robert melihat berkeliling. Tak seorang pun terlihat. Ditariknya Leslie ke toilet, diguncangnya anak itu keras-keras. "Berani betul kau menubrukku seperti itu," geram Robert. "Berani betul kau menertawakan aku! Akan kuhajar, bajingan cilik!" "Robert, lepaskan aku," pinta Leslie. Ia tahu Robert suka menyakiti anak kecil dan ia mulai takut padanya. "Kau harus bilang 'Aku mohon sudilah kiranya Tuan memaafkan hambamu ini'," kata Robert. Tetapi Leslie walaupun takut bukanlah seorang pengecut. Ia menggelengkan kepala. "Tak sudi! Toh bukan seluruhnya kesalahanku! Lepaskan aku, anak jahat!" Robert sangat marah. Diguncangkannya Leslie sekali lagi. "Kaukatakan apa yang kusuruh, kalau tidak kududukkan kau di pipa air panas!" ancamnya. Pipa air panas memang banyak terdapat di ruang itu untuk menghangatkan ruangan. Leslie takut melihat pipa-pipa tersebut. Tetapi tetap saja ia menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak mau memohon maaf padamu," katanya keras kepala. Kalau kau baik seperti anak-anak besar lainnya, tanpa kau-suruh aku pasti minta maaf. Lepaskan aku!" "Kau duduk di pipa panas dulu!" geram Robert. Dengan sangat marah ia menyeret si Leslie malang itu ke pipa yang terdekat. Dipaksanya anak itu duduk. Memang tidak terlalu panas, tetapi cukup panas untuk membuat Leslie menjerit-jerit. Lalu, di mana Elizabeth dan Joan? Mereka berdua bersembunyi di tikungan, melihat semua yang terjadi. Dan saat mereka mendengar Leslie menjerit, keduanya segera berlari memasuki ruang membersihkan badan. Robert cepat menarik Leslie dari pipa air panas, setelah melihat Elizabeth dan Joan masuk. Tetapi terlambat. Keduanya melihatnya. Merah muka Robert. Tak terkira marahnya. Tertangkap basah oleh dua orang anak perempuan-dan salah satu di antaranya Elizabeth! "Kau tertangkap basah, anak kejam!" geram Elizabeth. "Leslie, kami akan melaporkan Robert dalam Rapat yang akan datang. Kami harap kau tidak berdusta dan membantu dia." "Pasti," kata Leslie. "Aku bukan pengecut seperti anak-anak lain yang tak berani mengajukan keluhan tentang Robert pada saat mereka memperoleh kesempatan. Seperti si Peter itu. Tahukah kau mengapa ia tidak mengakui bahwa Robert mengayunkannya terlalu tinggi? Robert mengancamnya dengan berbagai siksaan bila ia menceritakannya." "Tidak!" bantah Robert marah, walaupun ia tahu bahwa apa yang dikatakan Leslie benar. "Tunggu sampai kutemui kau seorang diri, tahu rasa kau nanti." "Nah kau lihat itu," kata Leslie. "Terang-terangan kau mengancam aku. Tetapi kau takkan memperoleh kesempatan itu. Aku akan melaporkanmu dalam Rapat Besar, walau Elizabeth dan Joan tidak melaporkannya." Anak kecil itu beranjak. Elizabeth berpaling pada Robert, berkata tajam, "Aku tahu betul bahwa kaulah yang melakukan berbagai muslihat jahat kepada aku dan Jenny...." "Bukan aku yang melakukannya!" tukas Robert, dan kali ini ia memang berkata sebenarnya. "Bohong!" tukas Elizabeth. "Kau cukup kejam untuk berbuat apa saja. Kau betul-betul terlalu jahat untuk sekolah ini, kau patut diusir dari sekolah ini!" "Seperti kau seharusnya diusir semester yang lalu!" kata Robert mengejek. Ia telah mendengar tentang berbagai kenakalan Elizabeth semester musim panas yang lalu. Muka Elizabeth jadi merah karenanya. "Diam kau!" kata Joan. "Elizabeth bukannya nakal, itu dilakukannya karena kebaikan hatinya terhadapku! Aku tak mau kau mengejeknya seperti itu." "Akan kukatakan apa yang ingin kukatakan," kata Robert, sambil meninggalkan tempat itu dengan tangan di saku dan bersiul-siul seolah-olah tak peduli apa pun. "Kini ia tahu bahwa kita tahu dialah yang membuat berbagai muslihat jahat itu, dan ini berarti ia takkan berani berbuat lagi," kata Elizabeth senang. "Lumayan juga, kita bisa hidup lebih tenang." Tetapi tentu saja ia tak tahu bahwa yang berbuat itu semua bukan Robert-melainkan Kathleen. Dan Kathleen tak punya alasan untuk menghentikan perbuatan jahatnya. Kathleen sangat benci pada Elizabeth dan Jenny. Keduanya cantik, pandai, dan disukai banyak orang. Kathleen iri pada mereka. Iri melihat rambut mereka yang indah kemilau. Iri melihat mata mereka yang bersinar-sinar. Iri pada otak mereka yang cerdas serta gurauan mereka yang sungguh lucu. Ia ingin melukai hati kedua anak itu karena mereka memiliki segala hal yang diinginkannya dan tidak dimilikinya. Elizabeth berkata pada Jenny bahwa ia merasa pasti Robert-lah yang telah mengambil tikus-tikusnya serta menaruhnya di laci Bu Ranger. Tikus-tikus itu tak pernah bisa ditemukan lagi.. Mata Jenny bersinar marah mendengar cerita Elizabeth. "Dan pasti dia pula yang membuat noda tinta di buku bahasa Prancis," kata Jenny. "Dan aku takkan heran bila ternyata dialah yang telah membuat kotor alat-alat berkebun-mu, Elizabeth. Tadinya aku tak pernah bisa mengerti mengapa hal itu bisa terjadi." "Ya, kini mungkin kita takkan menjadi korban tipu muslihat jahatnya lagi, sebab Robert pasti takut bila kita melaporkannya dalam Rapat Besar," kata Elizabeth. "Padahal dia berbuat lagi atau tidak, kita pasti akan melaporkannya." Tetapi keesokan harinya ternyata mereka dipermainkan lagi. Tiap hari Rabu, setiap Pengawas memeriksa laci-laci serta lemari anak-anak yang berada di bawah pengawasannya, untuk menjaga agar segalanya selalu rapi. Nora sangat keras dalam hal kerapian, dan anak-anak yang berada sekamar dengannya tahu benar akan hal itu. Mereka selalu berusaha untuk rapi, bahkan Ruth juga, yang biasanya mempunyai kebiasaan tidak rapi. "Sulit sekali," kata Ruth selalu. "Setiap kali kurapikan laci-laciku... kemudian ada saja, selalu ada yang kubutuhkan dengan tergesa-gesa sehingga akhirnya laciku yang sudah rapi berantakan lagi...." Elizabeth dan Jenny selalu rapi. Apalagi setiap hari Selasa, sebab mereka tahu hari Rabu Nora akan memeriksa. Tiap Selasa malam barang-barang mereka sudah teratur rapi dan indah dilihat. Mereka tak pernah lupa mengerjakannya. Sehingga hari Rabu itu ketika Nora melihat laci mereka berantakan, keduanya begitu heran hingga tak bisa berbicara sepatah pun. "Jenny! Elizabeth! Apa maksud kalian membuat barang-barang kalian begini tak keruan?" seru Nora dengan marah. "Lihatlah! semuanya campur-aduk. Lusuh. Kotor. Terus terang saja, belum pernah kulihat tempat begini campur-aduk! Kalian biasanya rapi. Apakah kalian lupa hari ini hari Rabu? Apakah kalian lupa aku selalu memeriksa di hari ini?" "Tentu saja tidak," kata Jenny. "Dan kami telah merapikannya tadi malam sebelum tidur. Kau sendiri kan melihatnya, Nora." "Aku tidak melihat kalian melakukannya," kata Nora. "Tempatku kan jauh dari sini." Ketiga anak itu memandang laci Elizabeth dan Jenny. Segalanya terbalik-balik. Elizabeth dan Jenny tahu benar tak mungkin mereka mengatur barang mereka seperti itu. Seseorang pastilah telah mengaduk-aduk. Seseorang telah sengaja mempermainkan mereka, agar mereka kena marah. "Pasti Robert," kata Elizabeth. "Ia selalu berusaha mencelakakan kami, Nora. Ia membuat kotor alat-alat kebunku, menyembunyikan bukuku, menaruh tikus Jenny di dalam laci meja Bu Ranger ..." "Anak manis, tak mungkin Robert yang melakukan ini," kata Nora. "Kau tahu, anak laki-laki tak pernah masuk ke daerah asrama anak perempuan. Bila dia ke sini, pasti segera ada yang mengetahui, sebab di luar selalu ada anak..." "Tetapi ini pasti perbuatan Robert, Nora" kata Elizabeth bersikeras. "Kalau kau ingin menyalahkan seseorang karena laci yang be-rantakan ini, kau harus memarahi Robert." "Aku takkan memarahi siapa pun," kata Nora. "Pokoknya kalian kali ini tidak begitu rapi. Mungkin juga seseorang telah mempermainkan kalian, tetapi pokoknya sekarang kalian harus merapikan semua ini!" Elizabeth dan Jenny terpaksa bekerja lagi. Keduanya marah, dan tak memperhatikan bahwa Kathleen tersenyum puas. "Ah," pikir Kathleen. "Jadi Elizabeth dan Jenny mengira bahwa yang berbuat Robert. Bagus sekali!" Tak akan ada seorang pun yang mengira bahwa dialah yang melakukan semua itu. Ia kini merasa lebih aman. Rapat Besar yang akan datang jatuh pada hari Jumat malam. Di hari Kamis terjadi sesuatu yang sangat mengecewakan Elizabeth. Pertandingan lacrosse akan diadakan pada hari Sabtu. Elizabeth telah berlatih keras agar bisa terpilih untuk menjadi anggota tim sekolah. Hanya satu orang yang akan mewakili kelasnya, dan Elizabeth merasa yakin bahwa dialah yang terpilih. Tetapi pada waktu ia melihat ke papan pengumuman, dilihatnya nama Robert ditulis sebagai anggota tim sekolah-dan bukan namanya! Di papan tersebut tertulis: "Robert Jones dari kelas tiga telah terpilih untuk bermain dalam tim sekolah menghadapi pertandingan melawan Sekolah Kinellan pada hari Sabtu ini." Kerongkongan Elizabeth serasa tercekat. Ia telah berlatih keras. Berusaha keras. Begitu ingin terpilih. Tetapi ternyata yang terpilih adalah Robert, yang begitu dibencinya! Ia hampir tak bisa mempercayai matanya. "Tak apalah," hibur Joan. "Lain kali kau pasti akan mendapat kesempatan!" "Sungguh tidak adil," geram Elizabeth. "Dan dia pasti akan habis-habisan mengejekku kini. Oh, mudah-mudahan Rapat Besar akan menghukumnya sehingga ia tak bisa main dalam pertandingan itu." Robert sangat girang melihat namanya terpampang di papan pengumuman. Tetapi di balik kegirangan itu, ia merasa sangat khawatir juga. Ia tahu Elizabeth dan Joan pasti melaporkannya di Rapat Besar. Dalam hatinya ia merasa takut juga. Hari Jumat tiba. Robert gelisah. Kalau saja Rapat itu diadakan sesudah hari Sabtu, ia takkan terlalu peduli. Toh ia bisa main dalam pertandingan itu, walaupun kemudian ia menerima hukuman. Sungguh bangga bisa terpilih mengalahkan Elizabeth yang suka ikut campur urusan orang itu! Waktu untuk Rapat Besar tiba. Anak-anak memasuki ruangan dengan perasaan sedikit tegang. Mereka tahu Rapat Besar kali ini tidak akan seperti biasanya. 12. Rapat yang Menegangkan Bahkan anak-anak kecil pun merasakan keluar-biasaan Rapat Besar kali ini. Mereka masuk tanpa banyak ribut seperti biasanya. Leslie telah mengatakan pada semua temannya bahwa ia akan melaporkan Robert, anak besar yang sering mengganggu anak-anak kecil. Beberapa orang anak kecil serta-merta menyatakan akan menggunakan kesempatan tersebut untuk ikut melaporkan Robert. "Mestinya aku mengatakan yang benar tentang kelakuannya," kata Peter. "Waktu aku ditanyai di Rapat Besar dulu, bahwa ia mengayunku terlalu tinggi dan membuatku mual. Tetapi kemudian ia mendatangiku, mengancam akan membuka pintu kandang marmutku dan melepaskan semua binatang peliharaanku itu. Waktu itu aku tak berani berbuat apa-apa. Tetapi kali ini aku akan berani." William dan Rita tampak agak muram waktu mereka mulai duduk. Rita telah bercerita tentang berbagai tipuan licik yang digunakan seseorang untuk menjatuhkan Jenny. Kedua Hakim itu sependapat bahwa akan sangat sulit sekali untuk memecahkan persoalan kali ini. Tetapi masih ada Bu Best dan Bu Belle serta Pak Johns yang duduk di belakang. Para pimpinan sekolah tersebut akan siap membantu bila persoalan tak bisa mereka tangani. Robert tampak pucat. Sebaliknya Elizabeth tampak merah karena tegang hatinya. Begitu juga Jenny. Joan juga merasa tegang, namun tak tampak di wajahnya. Rapat dimulai dengan pengumpulan uang dan pembagian uang. Dua shilling dibagikan, kemudian dua orang anak diperkenankan mendapat uang tambahan. Dan sampailah Rapat Besar itu pada acara yang sangat dinantikan semua anak. "Ada yang akan melapor atau menyampaikan keluhan?" tanya William, mengetuk meja dengan palu kayunya. Elizabeth langsung berdiri. Disusul oleh Leslie. Hampir bersamaan. "Elizabeth dahulu," kata Rita. "Duduklah, Leslie. Giliranmu akan datang nanti." Leslie duduk. Elizabeth mulai bicara, kata-katanya meluncur cepat, tergesa-gesa. "William dan Rita, aku akan melaporkan sesuatu yang sangat serius," katanya. "Mungkin sama dengan apa yang akan dilaporkan Leslie. Tentang Robert." "Teruskan," kata William, wajahnya tidak berubah. "Kalian ingat, aku pernah melaporkan bahwa Robert menyakiti Peter." Elizabeth melanjutkan laporannya. "Karena waktu itu tak ada bukti, dan juga karena aku begitu marah hingga menampar Robert, maka Rapat tidak menghukum Robert dan menyuruh aku minta maaf padanya. Sekarang coba dengarkan laporanku kali ini." "Tenanglah, Elizabeth, jangan terlalu tegang." kata Rita. Elizabeth mencoba untuk berbicara tenang. Tetapi ia sangat membenci Robert, sehingga nada suaranya lalu berubah menjadi nada suara orang marah. "Begini, William dan Rita. Aku dan Joan benar-benar melihat Robert menyiksa Leslie," katanya. "Robert telah memaksa Leslie duduk di pipa air panas! Dan satu hal lagi, kami kini mengetahui mengapa dulu Peter tidak mengeluh tentang perlakuannya. Ternyata Robert mengancam akan melepaskan semua marmut Peter kalau ia sampai mengatakan hal yang merugikan Robert di Rapat Besar. Jadi ternyata aku benar. Robert memang penindas yang jahat!" "Jangan memberi sebutan pada seseorang," kata Rita, "sebelum Rapat Besar memberi ke-putusan yang menentukan. Ada lagi yang ingin kaukatakan?" "Ya. Robert bukan saja keji terhadap anak-anak yang lebih kecil, tetapi ia juga membuat aku dan Jenny berulang-ulang kena marah karena akal liciknya," kata Elizabeth lagi. "Akal licik bagaimana?" tanya William, mulai tampak khawatir. "Ia mengambil tiga bukuku dan menyembunyikannya entah di mana," sahut Elizabeth. "Kemudian dikotorinya alat-alat berkebunku, sehingga John memarahi aku. Ia juga menaruh dua ekor tikus milik Jenny di laci Bu Ranger. Tikus-tikus itu lepas dan tak bisa ditemukan lagi." "Apakah itu betul, Jenny?" tanya William. "Memang betul," kata Jenny, berdiri. "Aku tak bisa menemukan kembali tikus-tikusku yang malang itu. Aku tak berkeberatan menjadi sasaran lelucon, tetapi sungguh kejam kalau tikusku yang harus menderita." "Duduklah, Jenny," kata William. Ia kemudian berbicara dengan Rita, kemudian kembali menghadap hadirin. "Leslie, berdirilah dan katakan apa yang ingin kaukatakan," perintah William. Leslie yang sedikit urakan itu berdiri, dengan tangan di dalam saku dan penuh gaya. Tetapi William langsung memotongnya, sebelum ia sempat bicara, "Keluarkan tanganmu dari dalam saku, Leslie, berdirilah dengan baik. Ingat, ini adalah peristiwa yang amat penting, jadi jangan main-main." Hilang sedikit keangkuhan Leslie. Ia mengeluarkan tangannya dan wajahnya jadi merah. Dengan nada sopan ia mulai bercerita. Dengan teliti diceritakannya semuanya kepada kedua Hakim dan Dewan Juri. "Dan kini kami minta Peter berbicara," kata Rita setelah Leslie selesai. Si kecil Peter berdiri dengan kaki menggeletar ketakutan. Ia memang sangat segan pada kedua Ketua Murid. Dengan suara terbata-bata ia mulai bercerita. "Bbbegggini... William dan Rita... Robbbert memmang meng meng mengayunkan aku terlalu tinggi saat itttu," katanya. "Dan akku jadi mual karenanya." "Lalu mengapa kau tak mengatakan sebenarnya waktu dulu kami tanyakan padamu?" tanya William. "Sebab aku takut," kata Peter. "Aku takut kepada Robert." "Kau tak boleh jadi pengecut," kata William dengan lemah-lembut. "Jauh lebih baik bila kau berhati berani, Peter. Kalau saja saat itu kau bisa memberanikan hatimu untuk mengatakan sebenarnya, kita akan bisa mencegah Robert melakukan perbuatan kejinya terhadap anak-anak lain. Karena kau takut, maka kau menjadi penyebab anak-anak lain menderita di tangan Robert. Kau juga membuat kami tak percaya pada Elizabeth, sehingga tentu saia Elizabeth jadi sedih. Kau harus ingat untuk selalu mengatakan yang sebenarnya. Tak peduli betapa beratnya bebanmu karena itu. Kalau kau berani berkata benar, maka kami akan lebih menghargaimu." "Baiklah, William," kata Peter dan bertekad untuk takkan pernah berbuat pengecut lagi. "Walaupun misalnya kau takut untuk mengatakannya di Rapat Besar, mestinya kau bisa mengatakannya kepada Pengawasmu," kata William lagi. "Untuk itulah kita semua membentuk para Pengawas, yaitu agar akal sehat mereka bisa membantu kita. Duduklah, Peter." Peter duduk. Gembira karena tak harus berbicara lebih banyak lagi. William berpaling pada Robert yang tampak sangat murung dan gusar. "Dan kini bagaimana, Robert?" tanya William. "Apa yang akan kaukatakan? Tuduhan yang cukup berat telah diajukan padamu. Apakah kau merasa bersalah atau tidak?" "Hanya satu tuduhan yang benar," kata Robert dengan berdiri. Suaranya begitu lemah sehingga anggota Dewan Juri tak bisa mendengarnya. "Berbicaralah lebih keras," kata William. "Apa maksudmu, hanya satu tuduhan yang benar? Yang mana?" "Memang benar aku memaksa Leslie duduk di pipa panas," kata Robert. "Walaupun pipa tersebut sesungguhnya tidak begitu panas. Tetapi bukan aku yang mempermainkan Elizabeth dan Jenny. Sama sekali bukan aku. Sekali pun tak pernah," "Oooh!" kata Elizabeth. "Pasti kau yang melakukannya, Robert. Kau selalu tampak gembira sekali bila aku mendapat kesulitan atau kena marah." "Diamlah, Elizabeth," kata William. "Robert, kau berkata bukan kau yang mempermainkan Elizabeth seperti yang dikatakan oleh Elizabeth. Kau ingat bukan, kau pernah tidak berkata benar, waktu mengatakan bahwa kau tidak mengayunkan Peter sehingga Peter ketakutan. Kini akan sangat sulit bagi kami untuk mempercayaimu. Sebab kami bisa saja berpikir bahwa kali ini pun kau tidak berkata benar, untuk meloloskan diri dari kesulitan yang mungkin akan kauterima." "Pokoknya aku berkata benar kali ini," kata Robert gusar. "Bukan aku yang mempermainkannya. Aku tak tahu siapa-betul-betul tidak tahu! Aku tidak menyukai Elizabeth. Aku berpendapat dia itu sungguh menyebalkan, suka ikut campur urusan orang. Tetapi aku tidaklah begitu keji, sehingga melakukan perbuatan yang dikatakannya tadi hanya agar ia memperoleh amarah guru! Dan mengapa pula aku mempermainkan Jenny? Aku toh tidak membencinya. Percayalah. Ada orang lain yang mempermainkan Elizabeth dan Jenny." Sungguh malang Robert. Tak seorang pun- kecuali Kathleen, tentunya-yang mau mempercayainya lagi. Mereka semua ingat bahwa Robert pernah berdusta dulu. Kemungkinan besar kali ini ia berdusta lagi. William mengetuk meja agar anak-anak yang mulai berbicara sendiri-sendiri tenang kembali. "Harap tenang," kata William. "Kini kita menghadapi sebuah persoalan yang sangat rumit. Tiga buah tuduhan diajukan pada seorang anak. Pertama, dia dituduh menindas anak-anak yang lebih kecil. Kedua, dia dituduh mempermainkan dua orang anak perempuan di kelasnya sehingga keduanya mendapat berbagai macam kesulitan. Ketiga, dia dituduh berdusta. Dewan Juri, Rita dan aku akan membicarakan apa yang akan kita lakukan untuk persoalan ini. Kalian semua juga dipersilakan berunding sendiri, dan barang siapa yang berpendapat menemukan suatu jalan keluar diharap segera mengutarakannya pada waktu yang ditentukan nanti." Hadirin mulai agak ramai berbicara. Para Juri dan Hakim berunding dengan berbisik-bisik. Mereka tampak sekali bersungguh-sungguh. Robert duduk sendirian. Anak-anak di kiri kanan dan di dekatnya semua berpaling dari dia untuk berbicara dengan kawan-kawan mereka yang lain. Ia merasa kesal. Mengapa ia mengganggu anak-anak yang lebih kecil darinya itu? Mengapa ia selalu berbuat kejam pada mereka? Mungkin sekali ia diusir karena ulahnya ini, dan apa kata ayah ibunya nanti? Nona Belle dan Nona Best juga tampak serius. Pak Johns berbicara dengan mereka beberapa saat, kemudian ketiganya menunggu apa yang akan dikatakan oleh para Hakim. Mereka tak pernah ikut campur dalam suatu Rapat Besar, kecuali bila diminta. Setelah beberapa lama, Rita dan William mengetuk meja, minta agar hadirin tenang. Seketika itu juga semua hening. Heran juga bagaimana Hakim dan Dewan Juri dapat menemukan penyelesaiannya dengan begitu cepat. Apa yang akan mereka katakan? "Nona Belle dan Nona Best, serta Pak Johns," kata William dengan tenang. "Kami berpendapat kami harus meminta bantuan Anda semua kali ini. Silakan maju ke depan untuk memberi petunjuk." "Baiklah," kata Nona Best. Ketiga pimpinan sekolah itu pun maju ke panggung di depan. Dan mulailah suatu pembicaraan yang akan mengubah seluruh kehidupan Robert! Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net 13. Robert Diberi Kesempatan Seluruh pengunjung rapat tampak bersungguh-sungguh. Tak terlihat secercah senyum pun. Tak terdengar sedikit pun suara saat guru-guru kepala itu duduk di kursi-kursi yang cepat disiapkan oleh anggota Dewan Juri. "Persoalan ini kurasa lebih baik bila dibicarakan secara terbuka di antara kita semua," kata Bu Belle. "Marilah kita bicarakan satu per satu tuduhan yang ditujukan pada Robert. Pertama, tuduhan bahwa dia menindas anak-anak yang lebih kecil darinya. Nah, apakah ada persoalan seperti ini, William dan Rita, sejak kalian berdua menjadi Hakim?" "Tidak," jawab William. "Tetapi kalau tidak salah pernah terjadi perkara yang hampir serupa, tentang seorang murid yang menindas murid yang lebih kecil, sewaktu aku masih berada di kelas rendah. Mungkinkah perkara itu dicatat di Buku Besar?" Buku Besar adalah buku tempat segala perkara yang terjadi di Rapat Besar dicatat. Berbagai tuduhan dan keluhan ada di situ, dengan catatan tentang bagaimana perkara-perkara itu akhirnya ditanggulangi. Buku Besar tersebut selalu terletak di meja Hakim. Buku itu memang besar, dan separo isinya penuh dengan berbagai tulisan kecil-kecil. Setiap Hakim diharuskan mencatat apa saja yang terjadi di setiap Rapat Besar, sebab kata Bu Belle dan Bu Best, kadang-kadang Buku Besar tersebut bisa dijadikan sumber bantuan untuk memutuskan sesuatu. Kini William membolak-balik buku tersebut. Akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. "Ini dia," katanya. "Seorang anak perempuan bernama Lucy Ronald dituduh menindas anak-anak yang lebih kecil darinya." "Ya, aku ingat," kata Bu Belle. "Ternyata kemudian rapat waktu itu menemukan sebab kelakuannya. Bacalah, William, mungkin bisa membantu kita untuk memecahkan persoalan Robert." William membaca dalam hati cepat-cepat. Kemudian ia berkata pada hadirin, "Di sini tertulis demikian. Setelah diadakan penyelidikan, ternyata Lucy selama tujuh tahun hidup sebagai anak tunggal. Kemudian ia memperoleh adik kembar, yang ditempatkan bersamanya dalam satu kamar. Selanjutnya setiap hari ia melihat bahwa semua perhatian dicurahkan pada bayi kembar itu. Ayahnya, ibunya, bahkan perawatnya. Lucy merasa bahwa dirinya dikucilkan. Karenanya ia sangat membenci bayi-bayi tersebut, yang dikiranya telah mencuri kasih sayang kedua orangtuanya darinya." "Teruskan," kata Bu Belle. "Tentu saja Lucy tidak bisa menyakiti adik-adiknya itu untuk melampiaskan kemarahannya, sebab kedua bayi itu selalu dijaga," William melanjutkan. "Karenanya ia melampiaskan perasaan marah, benci, dan iri hati itu pada anak lain. Ia selalu memilih anak-anak yang lebih kecil, sebab mereka tak bisa membalas, dan karena mereka mengingatkannya pada kedua adiknya." "Dan kukira kebiasaan itu makin lama makin berkembang dan tertanam pada diri Lucy," kata Rita, penuh perhatian. "Apakah begitu itu biasanya yang menjadikan seseorang suka menindas mereka yang lebih kecil?" "Itu salah satu dari sekian banyak sebab seseorang menjadi sok jago terhadap anak yang lebih lemah," kata Bu Belle. "Tetapi kini harus kita selidiki apakah kebiasaan Robert juga disebabkan oleh sebab yang sama." Semua mendengarkan dengan teliti dan penuh perhatian. Setiap orang tahu apa dan bagaimana kelakuan seorang anak yang suka menindas anak yang lebih kecil. Mereka tak suka pada anak seperti itu. Diam-diam anak-anak itu melirik pada Robert, ingin tahu apakah Robert juga memperhatikan. Memang, Robert dengan cermat memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh William. "Kalau begitu," kata Pak Johns, "kita akan bertanya pada Robert, kalau-kalau ia bisa bercerita tentang dirinya. Robert, apakah kau punya adik?" "Ya. Aku punya dua orang adik laki-laki. Masing-masing lima tahun dan empat tahun lebih muda dariku," kata Robert. "Apakah waktu kau masih kecil kau menyukai mereka?" tanya William. "Tidak," kata Robert. "Keduanya merampas perhatian semua orang. Tak ada lagi yang memperhatikan aku. Suatu saat aku sakit. Tetapi tak ada yang ribut memikirkan aku seperti sebelum adik-adikku itu lahir. Aku tahu itu semua karena James dan John. Begitulah. Waktu aku sembuh, aku membenci anak-anak yang lebih kecil dariku. Aku mulai senang memukuli mereka. Menyiksa mereka. Kuanggap saja anak-anak tersebut si James dan si John. Jelas aku tak bisa memukuli kedua adikku tersebut, sebab semua orang pasti akan menghalangiku dan pasti akan memarahiku." "Dan begitulah akhirnya sifat itu selalu dibawa Robert," kata Pak Johns. "Kau selalu menyakiti anak-anak yang lebih kecil darimu sebab kau tak bisa menyingkirkan kedua adikmu yang menurut pendapatmu telah mencuri kasih sayang kedua orangtuamu. Robert, kasihan betul kau. Sesungguhnya kau membuat sedih dirimu jauh lebih besar dari kesedihan yang kautimbulkan pada orang lain." "Yah, orang-orang sudah menuduhku suka menindas anak-anak kecil sejak aku berumur lima tahun," kata Robert murung. "Jadi kuanggap saja mereka benar. Kuanggap saja memang begitulah sifatku, tak bisa diubah lagi, tak bisa kuhentikan." "Sesungguhnya masih bisa diubah, dan kau sendiri bisa menghentikan kebiasaan buruk itu," kata Bu Best. "Begini, Robert, bila kau tahu bagaimana suatu kebiasaan timbul dan tumbuh, kau akan bisa mengetahui cara melawannya. Kini, setelah kami tahu penyebab mengapa kau menjadi anak yang keji terhadap anak-anak kecil, aku yakin tak seorang pun di antara kami yang akan membencimu. Kau hanya tidak begitu beruntung. Kau sebetulnya tidak jahat-kau adalah seorang anak yang punya kebiasaan mengganggu anak kecil karena iri pada kedua adikmu. Kau bisa menghentikan sikap itu kapan saja, dan menjadi dirimu yang sebenarnya." "Aku ingat, aku pernah sangat membenci adik perempuanku," kata Belinda. "Kukira aku bisa mengerti perasaan Robert." "Aku juga," kata Kenneth. "Perasaan seperti itu memang perasaan yang sangat tidak menyenangkan." "Tetapi sesungguhnya itu suatu perasaan yang wajar terjadi," kata Bu Belle. "Hampir semua di antara kita mengalaminya, dan sebagian besar bisa mengalahkannya. Tetapi memang ada yang tak bisa mengalahkan perasaan itu. Misalnya saja Robert. Tetapi sekarang ia sudah sadar apa sesungguhnya yang telah terjadi, karenanya ia juga akan bisa mengalahkan perasaan buruk itu. Bukankah sungguh memalukan, Robert, anak sebesar engkau menggoda dan menyakiti anak-anak seperti Peter dan Leslie, hanya karena beberapa tahun yang lalu kau merasa iri pada kedua adikmu? Sudah tiba saatnya kau membuang perasaan itu dari hatimu." "Ya, memang," kata Robert merasa seakan-akan sebuah cahaya terang mulai bersinar di kegelapan hatinya. "Aku sesungguhnya tidak berbakat jadi anak jahat. Aku sesungguhnya ingin berbaik hati pada manusia dan binatang. Entah kenapa aku malah bertindak sebaliknya. Tetapi kini aku sudah sadar akan sebabnya, dan kukira akan sangat mudah bagiku untuk mengubah pribadiku. Bahkan sekarang pun aku sudah merasa berubah. Aku menyesal telah berbuat keji pada anak-anak kecil selama ini. Tetapi kurasa sekarang ini takkan ada seorang pun yang mau menolongku." "Oh, kita semua akan membantumu, Robert," seru Rita. "Itulah salah satu kelebihan Sekolah Whyteleaf-bahwa kami selalu saling membantu satu sama lain. Tak seorang pun di sekolah kita ini yang menolak untuk menolongmu, atau tidak memberimu kesempatan untuk mengubah sikapmu." "Bagaimana dengan Elizabeth?" tanya Robert segera. "Akan kita tanyakan padanya," kata Rita. "Elizabeth, bagaimana pendapatmu?" "Mmm... " Elizabeth ragu-ragu sejenak, "mmm... tentu saja aku mau membantu Robert, bila ia benar-benar ingin mencoba mengubah kebiasaan buruknya. Tetapi rasanya aku tak bisa memaafkan ulahnya yang menyebabkan aku dan Jenny mendapat banyak kesulitan. Kukira untuk itu ia harus mendapat hukuman." "Sudah kukatakan, bukan aku yang melakukan itu semua!" kata Robert. "Pasti ada yang melakukan akal licik," kata Rita. "Kalau Robert tidak melakukannya, lalu siapa? Apakah anak yang melakukannya cukup berani untuk mengaku?" Tak seorang pun bersuara. Muka Kathleen jadi merah, tetapi ia menundukkan kepala memperhatikan lantai. Ia mulai merasa tak enak kini melihat Robert yang dituduh melakukan segala perbuatannya. "William dan Rita," kata Elizabeth. "Kalian tidak mempercayaiku waktu aku melaporkan tentang Robert dulu itu. Dan ternyata aku benar. Kukira kalian tidak adil kalau sekarang masih juga tidak mempercayaiku. Aku yakin benar bahwa apa yang kukatakan benar." Dewan Juri dan kedua Hakim berunding. Sungguh sulit untuk mencari suatu keputusan. Akhirnya William bicara lagi. "Elizabeth, mungkin kau benar. Kami dahulu tidak percaya padamu. Dan kini kami tidak akan mempercayai Robert. Kami akan bertindak seadil-adilnya pada kalian berdua. Kami putuskan bahwa kau boleh bermain di pertandingan lacrosse besok, menggantikan Robert, sebab kata Nora kau sungguh sangat kecewa karena tidak terpilih menjadi anggota tim." "Oh, terima kasih!" kata Elizabeth gembira. Robert berdiri, ia tampak sangat kecewa. "Baiklah," katanya. "Kukira cukup adil bahwa kali ini aku harus mengalah pada Elizabeth. Dulu ia telah diharuskan minta maaf padaku, padahal aku tidak berkata sebenarnya. Tetapi sekali lagi kukatakan di sini bahwa bukan aku yang mempermainkan Elizabeth dan Jenny." "Kita tak akan membicarakan hal itu lagi," kata William. "Sekarang kita akan membicarakan bagaimana kita semua bisa membantumu, Robert. Pak Johns berkata bahwa yang terbaik adalah memberikan suatu tugas padamu, yaitu kau harus merawat sesuatu atau seseorang, agar perasaan menyayangi timbul padamu, menggantikan perasaan membenci. Kau sangat menyukai kuda, bukan?" "Oh, ya!" kata Robert segera. "Nah. Walaupun sesungguhnya anak dari kelasmu belum boleh merawat kuda, dan hanya boleh menaikinya, kami akan membuat suatu peraturan baru khusus untukmu," kata William. "Kau harus memilih dua ekor kuda yang paling kausukai. Dan kau bertugas khusus untuk merawat keduanya. Kau harus memberinya makan, memberinya minum, memandikan dan membersihkan tubuhnya. Kemudian bila kelasmu sedang mendapat pelajaran menunggang kuda, kau harus membawa salah seorang anak yang lebih kecil darimu untuk naik kuda yang kedua, sementara kau mengiringinya dengan naik kuda yang pertama. Kau harus mengajarinya sebaik kau bisa." Robert mendengarkan penuh perhatian, hampir tak bisa mempercayai telinganya! Diserahi tugas merawat dua ekor kuda yang dipilihnya sendiri! Merawatnya setiap hari! Ini bukan hukuman baginya, sebab memang itulah yang selalu diimpi-impikannya. Ia mencintai kuda lebih daripada binatang apa pun. Hampir saja ia menangis karena terlalu gembira. Ia tak peduli kini bahwa ia tak jadi main dalam pertandingan lacrosse besok. Ia tak peduli apa pun. Ia merasa dirinya telah berubah. "Terima kasih banyak, William," kata Robert dengan suara agak bergetar. "Kau boleh yakin bahwa aku akan merawat kuda-kuda itu sebaik-baiknya. Dan aku akan memilih anak-anak yang dulu sering kuganggu untuk kuajari menunggang kuda." "Kami sudah mengira kau akan melakukan itu," kata Rita dengan perasaan senang. "Baiklah. Laporkanlah perkembangan dirimu dalam Rapat yang akan datang. Kami sangat ingin mengetahuinya." "Aku akan berkuda denganmu, Robert," sebuah suara anak kecil terdengar. Ternyata Peter. Ia juga telah mengikuti dengan saksama apa yang sedang dibicarakan. Dan hatinya ikut mencair, penuh perasaan ingin ikut membantu Robert. Dalam hati, sesungguhnya ia ikut merasa berdosa, sebab ia pun pernah merasa sangat iri pada adiknya, bahkan sering memukul si adik bila kebetulan tak ada yang melihat. Ia takut kalau kelak akan menjadi nakal seperti Robert. "Kukira sudah waktunya Rapat bubar," kata Bu Belle. "Sudah lewat waktu yang ditentukan, bahkan sudah lewat jam tidur bagi anak-anak yang kecil. Tetapi kukira malam ini kita mendapat sebuah pelajaran yang sangat berharga. Dan sekali lagi kalian memperoleh kesempatan untuk membantu salah seorang kawan kalian. Sungguh senang untuk ditolong. Tetapi lebih senang lagi untuk menolong." "Rapat dibubarkan," seru William dan mengetuk meja keras-keras dengan palunya. Semua keluar. Mereka tampak berwajah bersungguh-sungguh, tetapi dalam hati merasa gembira. Sebuah persoalan yang sulit telah dipecahkan dengan sangat baik. Mereka puas. Hanya seorang anak yang tidak merasa senang ataupun puas. Kathleen! Robert telah kehilangan kesempatan untuk bermain dalam pertandingan lacrosse hanya karena perbuatannya! Semua anak di sekolah itu berjanji akan membantu Robert, tetapi dia, Kathleen, malah merugikannya! Ia merasa gelisah, sedih. Tetapi apa yang bisa dilakukannya? 14. Hari Pertandingan Keesokan harinya, hari Sabtu adalah hari pertandingan lacrossel Elizabeth bangun lebih pagi dari biasanya. Penuh harap ia melihat ke luar jendela. Apakah cuaca cukup baik? Tidak terlalu baik. Agak mendung. Yang penting tidak hujan, sudah bagus. Sungguh menyenangkan untuk mengikuti pertandingan pertamanya nanti. "Jenny," bisik Elizabeth ke sebelahnya, saat ia mendengar sahabatnya itu mulai bergerak di tempat tidur. "Jenny! Hari ini hari pertandingan! Dan aku yang main, bukan Robert!" Jenny mendengus. Ia tak begitu senang pada Elizabeth, karena ia bergembira atas kemalangan Robert. Memang Robert harus dihukum, tetapi bergembira karena orang lain dihukum sungguh tidak begitu baik menurut pendapatnya. Kathleen juga sudah bangun. Ia mendengar kata-kata Elizabeth. Dan ia merasa berdosa. Tadinya ia merasa senang bahwa ada anak lain yang dihukum karena perbuatannya. Tapi sekarang tidak. Bahkan ia marah karena Elizabeth ternyata kegirangan karena ulahnya itu. Ia amat membenci Elizabeth! Jadi kacau semuanya! Dan bagaimana dengan Robert? Robert juga bangun lebih pagi dari biasanya. Ia langsung teringat pada apa yang terjadi malam sebelumnya. Ia duduk di tempat tidur. Matanya berseri-seri saat memikirkan kuda yang dipilihnya untuk dirawat. Ia merasa dirinya sudah berbeda. Rasanya tak apalah kalau seluruh sekolah mengetahui ia anak jahat-sebab ia tahu bahwa mereka mengetahui sebab kenakalannya itu. Dalam minggu-minggu ini akan ia tunjukkan pada seluruh sekolah bahwa pada dasarnya ia memang anak baik. Alangkah herannya mereka nanti. Ia teringat akan pertandingan lacrosse yang semestinya diikutinya. Hatinya sedikit kecewa mengingat bahwa Elizabeth-lah yang akan menggantikannya. "Aku sesungguhnya sangat ingin untuk bisa ikut main dalam pertandingan itu," pikir Robert. "Sayang sekali Rapat telah memberikan hukuman seperti itu. Padahal bukan aku sesungguhnya yang berbuat. Tetapi memang kukira sudah sewajarnya bila mereka kali ini lebih mempercayai Elizabeth. Aku harus menerima hukuman ini, dan kuharap saja siapa pun yang mempermainkan Elizabeth segera ditemukan. Kemudian semua orang akan menyesal karena telah menjatuhkan hukuman padaku." Ia berpikir-pikir lagi, sementara terus duduk di tempat tidurnya, bertopang dagu. "Elizabeth itu lucu. Ia sangat pemarah tetapi sangat ingin berlaku adil-tetapi ia telah berbuat sangat tak adil padaku. Seharusnya ia tahu bahwa tak mungkin aku yang melakukan semua perbuatan yang menyudutkannya itu. Aku tak menyukai anak itu." Elizabeth! Hampir saja Robert memutuskan untuk tidak mau berbicara dengan Elizabeth seterusnya. Tidak mau bergaul dengannya. Tetapi kemudian terpikir olehnya kegembiraan hatinya nanti bila ia merawat kuda-kuda kesayangannya. Ah, betapa senangnya. Dan hatinya pun melembut. Ia bahkan tak bisa memaksa dirinya berpikir membenci Elizabeth! Betapapun, ia toh telah berjanji untuk menunjukkan bahwa dirinya sebetulnya berhati baik, dan sama sekali tidak jahat. "Aku tahu apa yang akan kulakukan," katanya kemudian pada dirinya sendiri. "Aku akan menonton pertandingan. Dan bila Elizabeth mencetak gol, aku akan bersorak-sorai seperti kawan-kawan lainnya. Sesungguhnya akan sangat berat bagiku untuk bergembira atas hasil yang dicapai Elizabeth, tetapi itu akan menunjukkan pada semua orang bahwa aku mampu mengalahkan rasa iriku padanya." Robert meninggalkan kamar tidurnya jauh sebelum semua teman sekamarnya terbangun. Ia menyelinap ke luar dan pergi ke kandang kuda. Ia akan berbicara pada kedua kuda yang telah dipilihnya. Dan ia akan berkuda menjelajahi bukit-bukit dengan kuda kesayangannya. Ia merasa dirinya sangat penting dan bangga sewaktu membuka pintu kandang dan berbicara pada pengurus kandang. "Bolehkah aku berbicara pada Bessie dan Kapten?" tanyanya. Aku sudah mendapat izin untuk merawat keduanya. "Ya, aku sudah diberitahu," kata pengurus kandang itu. "Baiklah. Tetapi aku harus ikut mengawasi pekerjaanmu pada minggu pertama ini. Anak muda. Sesudah itu, bila pekerjaanmu baik, kau boleh mengurusnya seorang diri." Robert mendengar suara langkah kaki berlari di halaman. Dilihatnya Leonard dan Fanny bergegas menuju kandang sapi. Mereka hendak memerah susu. Leonard dan Fanny melihat Robert, dan berteriak menyapa, "Halo, Robert! Kau sudah memilih kudamu?" "Sudah," kata Robert. "Kemarilah. Dan lihatlah kuda-kuda yang kupilih. Lihat. Ini si Bess, dia sangat manis dan penurut. Dan ini Kapten. Usaplah hidungnya." Leonard dan Fanny melihat-lihat kedua ekor kuda itu dan memperhatikan Robert. Mereka tampak begitu heran sehingga Robert merasa gelisah. "Ada apa?" tanyanya. "Ada noda di mukaku? Atau apa?" "Tidak," kata Fanny. "Hanya... kau tampak berbeda, Robert. Biasanya kau selalu tampak keji, selalu cemberut dan gusar, tetapi kali ini kau penuh senyum dan matamu bersinar-sinar. Sungguh aneh melihat seseorang bisa berubah dalam semalam! Marilah lihat sapi-sapi kami. Nanti kami beri kau segelas susu yang masih hangat." Leonard dan Fanny menggandeng Robert di kanan-kiri. Mereka menariknya ke kandang sapi, tempat sapi-sapi sudah menunggu dengan sabar untuk diperah susunya. Bertiga mereka bergurau dan tertawa sambil bekerja. Hati Robert merasa hangat oleh persahabatan itu. Ia pun mulai ikut bercanda dan bergurau. Kemudian ia menikmati susu hangat yang baru saja diperah dari sapi pertama. "Sungguh menyenangkan," pikirnya. "Setiap pagi aku akan menemui Leonard dan Fanny bila aku akan merawat kuda-kudaku. Aku akan segera mempunyai sahabat!" Lima menit kemudian ia telah berpacu di perbukitan, merasakan belaian angin di rambutnya, dan guncangan punggung kuda di bawahnya. Setiap ia berbicara pada Bess, kuda itu menggerak-gerakkan telinga seakan-akan mendengarkannya. Semua kuda menyukai Robert, tetapi baru sekarang ia menyadari hal itu. Sungguh hampir tak bisa dipercaya bahwa kini ia bisa berbuat apa saja dengan binatang-binatang yang sangat dicintainya itu. "Sesudah minum teh nanti akan kuajak Peter naik Kapten," pikirnya. "Aku akan membuat anak itu segera melupakan kekejianku padanya." Setiap anak yang bertemu dengan Robert pagi itu tersenyum melihat perubahan pada dirinya. Semua menyapanya dengan riang, menepuk punggungnya, membuatnya benar-benar merasa bahwa seluruh sekolah bersedia membantunya. Hanya Kathleen dan Elizabeth yang belum bertemu dengan Robert hari itu. Elizabeth sibuk menggali dengan John di kebun sekolah, sedang Kathleen mengikuti kegiatan pengamatan alam dengan beberapa orang temannya. Elizabeth tak henti-hentinya berbicara dengan John tentang pertandingan nanti. "Sungguh untung bukan, bahwa akhirnya aku ikut bermain," kata Elizabeth. "Tadinya aku sungguh kecewa karena melihat nama Robert yang tertulis di papan pengumuman." "Kukira kini Robert juga akan merasa sangat kecewa sekali," kata John sambil menggali kuat-kuat. "Salahnya sendiri," kata Elizabeth. "Ia begitu keji mempermainkan aku dan Jenny. Pikirkan betapa dulu itu ia mengotorkan alat-alat ber-kebunku sehingga kau marah padaku." "Aku minta maaf karena dulu aku memarahimu, Elizabeth," kata John. "Kuharap saja apa yang kauperkirakan tentang dia benar. Sungguh kasihan dia kalau harus menderita karena kesalahan yang tidak dilakukannya." "Salah atau tidak, ia memang anak yang jahat," kata Elizabeth. "Aku gembira karena ia tidak jadi ikut bertanding. Aku yakin ia takkan berani datang menonton pertandingan itu. Ia akan malu sekali karena akhirnya ia tak bisa ikut bertanding." Tetapi Elizabeth salah terka! Anak-anak yang akan ikut bertanding harus segera berganti pakaian di ruang senam, segera setelah mereka makan siang. Pertandingan biasanya dimulai pukul setengah tiga, maka sesungguhnya mereka memang tak punya banyak waktu. Anak-anak Sekolah Kinellan menurut rencana akan tiba pukul dua lebih dua puluh, dan regu Whyteleafe harus berada di pintu gerbang untuk menyambut kedatangan mereka. Elizabeth hampir tak bisa makan. Ia begitu tegang. Ia mencuri pandang melirik Robert, dan melihat Robert kelihatan ceria dan bahagia. Ia lalu menjauhkan piring makannya. "Bu Ranger! Rasanya aku tak bisa makan lagi. Aku begitu tidak sabar menunggu pertandingan nanti," katanya pada Bu Ranger. "Baiklah, sekali ini kau boleh meninggalkan piringmu dengan makanan masih bersisa," kata Bu Ranger tersenyum. "Aku tahu bagaimana rasanya pertama kali ikut bertanding dalam tim sekolah." Elizabeth bergegas dengan anggota tim lainnya ke ruang senam. Kemudian bersama-sama mereka menyambut kedatangan tim Kinellan, mengantarkan mereka ke lapangan tempat akan bertanding. Tim tamu menaruh pakaian mereka di paviliun yang ada di tepi lapangan. "Lihat, hampir seluruh murid sekolah kita datang untuk menonton," kata Elizabeth pada Nora, saat ia melihat anak-anak berduyun-duyun keluar dari sekolah menuju lapangan pertandingan. "Ya, bahkan Robert juga," kata Nora yang sekilas melihat Robert di antara anak banyak tadi. "Mana?" tanya Elizabeth heran. Kemudian ia bisa melihat Robert. Heran. Robert datang untuk menonton pertandingan yang seharusnya diikutinya! Pertandingan yang tempatnya telah diberikan pada anak lain sebagai hukuman untuknya! Elizabeth hampir tak mempercayai matanya. Tiba-tiba ia merasa malu. Ia tahu bahwa ia takkan bisa berlapang dada seperti itu seandainya dialah yang dicopot dari tim sebagai hukuman. "Sungguh dewasa pikiran Robert, mau datang dan menonton kau bermain," kata Nora. "Betul-betul ia seorang yang berpikiran matang dan berdada lapang. Aneh juga melihat anak yang mampu berbuat berbagai tipuan keji ternyata bisa cepat berubah pribadinya. Aku jadi bertanya-tanya apakah betul ia yang melakukan perbuatan-perbuatan itu." Elizabeth mengambil tongkat lacrosse-nya. Tadinya ia merasa yakin bahwa Robert takkan berani datang menonton. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Bagaimana kalau seperti kata Nora ternyata sesungguhnya Robert tidak bersalah? Bagaimana kalau ternyata Robert dihukum secara terburu-buru? Dan itu semua karena tuduhannya! Sungguh suatu pikiran yang tak menyenangkan. "Oh, biarlah!" kata Elizabeth akhirnya dalam hati. "Tak akan kupikirkan hal itu. Lebih baik aku menikmati pertandingan pertamaku ini." Ia pun berlari keluar paviliun dan memasuki lapangan. Tetapi ia segera merasa kecewa-hujan mulai turun! Kedua tim dengan gelisah memandang ke langit. Mudah-mudahan hujan tak berlangsung lama. Mudah-mudahan hujan takkan begitu besar. Sungguh sayang bila pertandingan itu terpaksa dibatalkan. Anak-anak berdesak-desakan di paviliun, menunggu. Tetapi makin lama hujan makin deras, makin lebat. Awan-awan hitam malahan berdatangan, makin banyak, makin rendah, makin hitam. Tak ada harapan lagi! "Kukira pertandingan terpaksa dibatalkan," kata Pak Warlow "Semua harap pergi ke ruang senam, dan kita akan mengadakan beberapa permainan untuk menghibur tim tamu." Berhamburan anak-anak lari tunggang-langgang kembali ke sekolah. Elizabeth ikut lari juga, sedih dan kecewa. Sungguh sial! Pertandingan pertamanya-dan hujan telah menghancurkan harapannya! Sebuah suara terdengar dekat sekali di telinganya. "Elizabeth! Sayang sekali! Aku juga ikut kecewa kau tak jadi bertanding!" Elizabeth berpaling. Robert! Anak itu terus berlari mengikuti teman-temannya yang lain, sehingga Elizabeth tak bisa menjawab. Tapi perkataannya tadi membuat Elizabeth tertegun, terpaku heran di tempatnya, berdiri diam. Robert! Robert mengatakan itu semua? Robert ikut menyesal karena ia tidak jadi bertanding? Elizabeth sama sekali tak mengerti. "Elizabeth! Kau ingin basah kuyup?" terdengar Bu Ranger berseru padanya. "Mengapa berdiri mematung begitu di bawah hujan selebat ini? Ayo cepat lari, anak tolol!" Dan Elizabeth berlari lagi bersama yang lain, memasuki sekolah. Masih sangat heran. Tak tahu harus berbuat apa atas kejadian yang baru dialaminya tadi. 15. Kathleen Mengaku Semua merasa kecewa karena pertandingan dibatalkan. Terutama para pemain. Sepanjang sore itu hujan turun terus. Pak Johns dan Bu Ranger mengatur berbagai permainan di ruang senam, antara tim tamu dan tim sekolah mereka. Dan ternyata tim tamu senang sekali dengan permainan-permainan itu. Joan ikut menyesal karena Elizabeth kecewa. Digandengnya tangan sahabatnya itu. "Sudahlah, Elizabeth, tak usah terlalu dipikirkan. Minggu depan kan ada pertandingan lagi. Aku yakin kau bisa bermain dalam pertandingan itu." "Mungkin juga," kata Elizabeth. "Tetapi sungguh sial tak jadi bermain hari ini. Aku sudah begitu keras berlatih. Dan aku sudah begitu tangkas dalam menangkap bola serta menyarangkan bola ke gawang!" "Aku yakin Robert sangat girang bahwa hari hujan dan kau tak jadi main," kata Joan. "Nah, itulah yang aneh, Joan," kata Elizabeth. "Pertama, ia datang ke lapangan untuk menonton pertandingan itu. Dan kedua, sewaktu kita semua lari meninggalkan lapangan, ia datang padaku dan berkata bahwa ia ikut menyesal pertandingan terpaksa dibatalkan. Sungguh mengherankan, bukan? Aku jadi merasa malu pada diriku." "Tunggu saja sampai ia menjalankan muslihat jahatnya lagi padamu," kata Joan." Kau takkan merasa malu lagi pasti." Tetapi ternyata sejak saat itu mereka tak pernah diganggu oleh kejadian aneh lagi. Kathleen tak bernafsu untuk mempermainkan Elizabeth dan Jenny lagi. Ia telah melihat betapa seorang anak lain dihukum di depan umum karena perbuatannya. Ia mulai membenci dirinya sendiri. Ia memang membenci Elizabeth dan Jenny, tetapi kebenciannya pada dirinya sendiri bukannya benci karena marah, melainkan benci bercampur jijik. ¦ "Sungguh aku anak yang patut dibenci semua orang," pikir Kathleen putus asa. "Mukaku buruk. Berbintik-bintik. Pucat. Aku membosankan dan tak begitu cerdas. Dan kini ternyata aku juga keji, suka berdusta dan pengecut! Ini semua sungguh merupakan permulaan terburuk untuk menjadi anak yang sangat jahat. Kalau seseorang mulai membenci dirinya sendiri, maka ia takkan pernah bisa merasa bahagia lagi. Aku tidak cocok untuk bersekolah di Whyteleafe ini. Semua anak lain selalu bahagia dan gembira-dan bahkan seorang anak jahat seperti Robert ternyata bisa beralih menjadi baik dan diberi kesempatan untuk memulai lagi." Kasihan Kathleen. Semula ia mengira segala muslihatnya merupakan sesuatu yang menyenangkan, apalagi melihat hasilnya yang bisa membuat Elizabeth dan Jenny merasa sangat jengkel. Tetapi kini ia tahu bahwa kebiasaan jahat membuat seseorang menjadi jahat. Dan ia membenci dirinya sendiri. "Dan sungguh buruk membenci diri kita sendiri, lebih buruk daripada membenci orang lain," pikir Kathleen selanjutnya. "Sebab kita toh tak bisa lari dari diri kita sendiri. Oh, mengapa aku tak bisa bersikap seperti Nora atau John, yang selalu jujur dan bahagia." Kathleen benar-benar tidak merasa bahagia. Ia mulai terbiasa berjalan dengan kepala menunduk bagaikan seekor anjing yang terlalu sedih. "Ada apa, Kathleen? Ya ampun, senyum sedikit dong," seru Belinda. "Kau kelihatan begitu sedih! Apakah kau menerima kabar buruk dari rumah?" "Tidak," jawab Kathleen. "Aku hanya sedang tak suka tersenyum. Jangan ganggu aku." Anak-anak lain juga melihat betapa sedihnya Kathleen. Mereka kasihan juga padanya. Bahkan Elizabeth juga bertanya, "Kathleen, kau sakit?" Namun Kathleen hanya menjawab singkat, "Tidak," dan pergi meninggalkan Elizabeth. Pekerjaannya begitu buruk sehingga Bu Ranger jadi sangat khawatir. Ada apa dengan anak ini? Tampaknya ia sedang mengkhawatirkan sesuatu. Akhirnya Bu Ranger mengajak Kathleen berbicara berdua. "Kathleen, ada sesuatu yang kaupikirkan?" tanya Bu Ranger lembut. "Minggu ini semua pekerjaanmu berantakan. Dan kau tampak begitu sedih. Ceritakan padaku kesulitanmu, mungkin aku bisa membantu." Kathleen merasa air matanya mulai mendesak ke luar saat didengarnya Bu Ranger berkata sedemikian lembut padanya. Ia memalingkan muka. "Tak seorang pun bisa menolongku," katanya dengan suara serak. "Segalanya salah. Tak ada sesuatu atau seseorang pun yang bisa menolongku." "Sayangku, hanya sedikit sekali perkara yang sama sekali tak bisa ditolong orang lain," kata Bu Ranger, "kalau saja kau memberi kesempatan pada orang lain untuk menolongmu. Ayolah, Kathleen, ada apa sebenarnya?" Tetapi Kathleen tidak mau mengatakan kesulitannya. Ia hanya menggelengkan kepala. Bu Ranger menyerah. Ia bukannya tidak suka pada Kathleen, hanya sangat kasihan! Kemudian Kathleen memutuskan untuk melakukan suatu tindakan tolol. Ia akan melarikan diri dari sekolah. Melarikan diri dan pulang! Tapi sebelum itu ia akan bercerita pada Elizabeth dan Jenny tentang semua perbuatannya. Ia akan mengaku pada mereka agar Robert bisa bersih dari segala tuduhan. Paling tidak itulah yang bisa dilakukannya, paling tidak ia takkan begitu jijik pada dirinya sendiri kalau ia berani mengakui perbuatannya. "Tapi pasti sangat sulit bagiku," pikir Kathleen. "Mereka pasti marah padaku, pasti jijik padaku, dan semua anak di sekolah ini akan tahu betapa jahatnya aku. Tetapi tak apa. Toh pada saat itu aku sudah tak berada di sini lagi." Sore itu, selesai minum teh, Kathleen mendekati Jenny. "Jenny," katanya. "Aku ingin berbicara padamu dan Elizabeth. Bertiga saja. Di mana Elizabeth?" "Di ruang senam," kata Jenny heran. "Mari kita jemput dia. Tapi apa yang ingin kaubicara-kan, Kathleen?" "Akan kukatakan nanti bila Elizabeth sudah bersama kita," kata Kathleen. "Kita ke salah satu ruang latihan musik saja, di sana tidak ada orang." Dengan bingung Jenny mengiringi Kathleen mencari Elizabeth. Elizabeth bersedia ikut bersama keduanya walaupun ia sedang asyik bermain bersama Belinda dan Richard. Kathleen menutup pintu dan berpaling menghadapi Elizabeth dan Jenny. "Aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian berdua," katanya. "Akhir-akhir ini aku begitu sedih, dan tak tahan lagi menanggung kesedihan itu. Aku bermaksud untuk pulang saja. Tetapi sebelum pergi, aku ingin mengakui sesuatu. Jangan menyalahkan Robert untuk apa yang kautuduhkan selama ini. Bukan dia yang berbuat, tapi aku." Elizabeth dan Jenny ternganga, memandang heran pada Kathleen. Kathleen telah melakukan segala perbuatan keji itu? Menyembunyikan buku, mengambil tikus Jenny, mengotori alat-alat berkebun, mengacau-balaukan laci mereka? Oh, sungguh kejam! "Aku tahu kalian akan memandang begitu padaku," kata Kathleen, air matanya mulai mengalir. "Memang sudah sepantasnya. Tetapi sebelum aku pergi aku ingin mengatakan suatu hal lagi. Kalian berdua cantik, pandai melucu dan cerdas. Semua orang menyukai kalian. Aku begitu buruk, pucat, berbintik-bintik, dan tak bisa bergaul. Tetapi memang aku dilahirkan begitu. Kalian tidak tahu betapa aku sangat iri pada kalian berdua. Betapa aku ingin seperti kalian. Karenanya aku membenci kalian, kalian memiliki segalanya yang kuinginkan. Dan suatu ketika kau sungguh kejam padaku, Jenny, saat kau menirukan pertengkaranku dengan Mam'zelle..." "Oh, aku menyesal telah berbuat seperti itu," kata Jenny segera. "Aku tak tahu bahwa kau berada di kamar itu. Aku tak heran kau ingin membalas dendam padaku, Kathleen, tetapi mengapa kau juga menyakiti hati Elizabeth...." "Tetapi aku sudah membayar mahal untuk itu semua," kata Kathleen. "Bukan saja aku membenci kalian, aku juga membenci diriku sendiri! Jadi jelas aku anak yang paling buruk di sekolah ini, lahir batin. Karena itulah aku bermaksud pulang saja. Ibuku mencintaiku, walaupun aku tidak secantik dan semanis anak-anak lain. Dan ibuku pasti bisa mengerti mengapa aku melarikan diri dari sini." Beberapa saat mereka terdiam. Elizabeth dan Jenny sama sekali tak tahu harus berkata apa. Mereka sangat terkejut atas pengakuan Kathleen. Terutama Elizabeth. Ia jadi sangat marah karena telah menuduh Robert melakukan hal-hal yang sesungguhnya dilakukan oleh Kathleen. Ia jadi merasa berdosa besar. "Kathleen, aku cuma bisa bilang bahwa sungguh bagus kau akhirnya punya keberanian untuk mengaku," kata Jenny akhirnya. "Aku sangat menghargai keberanianmu itu. Tetapi harus kukatakan kalau kau benar-benar seorang yang sangat keji! Ya, kan Elizabeth?" "Ya, benar," kata Elizabeth. "Kau membuatku memaksa Robert dihukum. Tidak itu saja, terpaksa aku nanti harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi! Alangkah senangnya kalau kau tidak bersekolah di Whyteleafe ini!" "Kurasa kau benar," kata Kathleen lemah. "Tetapi aku toh tak akan lama lagi di sini." Kathleen membuka pintu, menyelinap ke dalam gang dan berlari menaiki tangga. Air matanya bercucuran. Ia telah mengaku. Dan akibatnya lebih buruk dari yang diduganya! Ia akan membereskan barang-barangnya, kemudian berangkat. Elizabeth dan Jenny saling pandang, tak tahu apa yang akan mereka katakan. Saat itulah Joan muncul, heran melihat keduanya berhadapan dengan muka marah. "Halo," kata Joan. "Sedang apa kalian, saling memelototkan mata? Apa yang terjadi?" Elizabeth mencurahkan segalanya pada Joan. "Nah, bagaimana pikiranmu? Bukankah Kathleen seorang anak yang benar-benar jahat? Belum pernah kupikirkan ada anak bisa sejahat itu," katanya kemudian. Joan termenung. Ia teringat dirinya sendiri dulu, dalam semester musim panas. Begitu sunyi sendiri bila sedang menemui kesulitan. Ia bisa merasakan apa yang dirasakan Kathleen. Sungguh hebat kesedihannya kalau sampai ia memutuskan untuk melarikan diri. "Dengar," kata Joan. "Jangan memikirkan betapa kejamnya atau betapa jahatnya Kathleen. Pikirkanlah bagaimana perasaan kalian kalau kalian berwajah seperti dia, tak punya teman dan merasa sangat iri pada seseorang. Kalian pasti merasa sangat sedih dan juga malu. Elizabeth, semester yang lalu kau telah ditolong oleh seluruh sekolah, dan aku juga. Kini kurasa sudah pada tempatnya bila aku menolong Kathleen. Dia belum pernah berbuat jahat padaku, jadi aku tidak merasa marah padanya seperti kalian. Aku hanya merasa kasihan." Joan berlari keluar menyusul Kathleen. Jenny dan Elizabeth saling pandang. Mereka tahu bahwa Joan benar. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri, tidak memikirkan anak malang itu, yang memerlukan pertolongan dan hiburan. "Kita harus membantu Joan," kata Jenny. "Tetapi tunggulah sampai Joan selesai berbicara agak lama dengan Kathleen," kata Elizabeth. "Ia sangat pandai meneduhkan hati orang. Kadang-kadang aku berpendapat dia sudah pantas menjadi Pengawas." "Yang jelas kita berdua sama sekali tak pantas," sungut Jenny. "Aku tak tahu bagaimana persoalan ini bisa diselesaikan, Elizabeth, aku tak tahu!" Sementara itu Joan telah masuk ke kamar tidurnya dan mendapatkan Kathleen sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam sebuah tas kecil, sementara ia telah memakai topi dan mantelnya. Joan langsung berbicara padanya. "Kathleen, semuanya telah kudengar. Kau benar-benar berani untuk mengakui perbuatanmu. Tunggulah sampai Jenny dan Elizabeth bisa berpikir iebih jernih, mereka pasti mau memaafkanmu, dan mengajakmu bersahabat. Sesungguhnya mereka baik hati dan suka memaafkan-mereka hanya memerlukan waktu untuk mendinginkan hati mereka." "Kurasa Whyteleafe bukan tempat yang tepat bagiku," kata Kathleen sambil memakai syalnya. "Bukan karena di sini aku telah membuat banyak sekali musuh, tetapi aku memang tidak cocok di sini. Semua menganggapku jelek. Lihat rambutmu, begitu indah dan berkilau-sedang rambutku seperti buntut tikus! Lihat matamu yang indah. Pipimu yang merah. Dan lihatlah aku. Aku bagaikan Upik Abu saja." "Tapi ingatlah bahwa Upik Abu dalam semalam saja bisa berubah menjadi Cinderela yang begitu cantik," kata Joan, memegang tangan Kathleen. "Upik Abu memang tiap hari duduk di dapur dan menyapu abu. Mungkin ia tampak buruk dan murung. Tetapi bukankah bukan hanya pakaian yang bagus-bagus serta kereta kencana yang membuatnya jadi cantik? Tidak. Kurasa untuk menjadi cantik ia juga harus menyikat rambutnya, merapikannya. Dan terutama: dia harus tersenyum. Kau sungguh kelewatan, Kathleen. Tahukah kau bahwa kau tampak sangat manis bila tersenyum?" "Tak mungkin," kata Kathleen keras kepala. "Siapa bilang, kau betul-betul manis!" bantah Joan. "Bila kau tersenyum, matamu bersinar. sudut bibirmu terangkat, dan di pipi kirimu muncul lesung pipi! Siapa pun menjadi lebih manis bila tersenyum. Kalau kau sering tersenyum, maka kau tak lagi harus malu pada wajahmu. Kau akan tampak manis juga. Cobalah itu, Kathleen." "Mungkin kau benar," kata Kathleen, teringat betapa manisnya ibunya bila sedang tersenyum dan merasa bahagia. "Tetapi aku tak punya alasan untuk tersenyum." Terdengar langkah kaki di luar. Elizabeth dan Jenny masuk, langsung mendekati Kathleen. "Kami tadi bersikap tak ramah terhadapmu, Kathleen," kata Jenny. "Kami minta maaf untuk itu. Jangan pergi, Kathleen. Kami juga memaafkanmu dan melupakan apa yang pernah kaulakukan." "Tetapi Robert harus dibersihkan dari segala tuduhan," kata Kathleen. "Dan itu berarti aku harus menghadapi Rapat Besar. Maafkan, aku tidak cukup berani untuk itu." Ketiga anak itu saling pandang. Benar juga. Persoalan itu harus dibicarakan dalam Rapat Besar. "Nah, karena itu aku harus pergi," kata Kathleen. "Aku seorang pengecut. Itu tak bisa kuubah lagi. Mana tasku? Selamat tinggal semuanya. Jangan berpikir yang buruk-buruk tentang diriku, ya...." 16. Kathleen Melarikan Diri Kathleen mengambil tasnya dan keluar. Joan mengejarnya, memegang lengannya. "Kathleen, jangan tolol! Kau tak bisa melarikan diri dari sekolah. Tak mungkin!" "Mungkin saja," kata Kathleen. "Aku akan melakukannya sekarang. Jangan coba meng-hentikanku, Joan, aku akan jalan kaki ke stasiun." Dikibaskannya tangan Joan dan ia lari menuruni tangga. Tak akan ada gunanya mengejar dia. Ia telah bertekad bahwa tak akan ada yang bisa menghentikannya. Elizabeth, Joan, dan Jenny hanya bisa memandanginya. "Aku tak tahu apa yang harus kulakukan," kata Jenny tiba-tiba dengan suara gemetar. "Kalau saja aku tidak menirukan Mam'zelle, mungkin keadaannya tidak seperti ini." "Apa yang akan kita lakukan?" bisik Joan khawatir. "Kita harus melaporkan bahwa Kathleen melarikan diri. Tetapi kurasa memang tak ada gunanya mencegahnya lari. Sebab kalau aku jadi dia, aku pun takkan berani menghadapi Rapat Besar. Kalaupun tidak sekarang, sesudah menghadapi Rapat Besar ia pun takkan tahan dan pasti juga melarikan diri. Ia sama sekali tak punya keberanian." Saat itu Nora muncul. Ia heran melihat ketiga anak itu berdiri termenung di pintu kamar mereka dan tampak khawatir. "Mengapa kalian di sini?" tanya Nora. "Apakah kalian tak tahu bahwa pertunjukan musik akan segera dimulai? Cepatlah. Mengapa sih kalian ini? Apa yang terjadi?" "Banyak sekali yang terjadi," kata Elizabeth. "Kami sampai tak tahu harus berbuat apa. Sungguh gawat, Nora." "Ya ampun! Kalau begitu kalian harus segera mengatakannya padaku, sebab aku adalah Pengawas kalian." "Kukira memang itulah yang mestinya kami lakukan," kata Jenny. "Izinkan kami tidak menghadiri pertunjukan musik itu, Nora, dan ayo kita pergi ke ruang bermain. Saat ini mestinya ruang itu kosong, bisa kita ceritakan apa yang terjadi." Sekali seminggu, sebuah pertunjukan musik diadakan oleh anak-anak yang belajar main piano, biola, menyanyi, atau berdeklamasi. Biasanya seluruh sekolah menghadirinya, sebab mereka ingin melihat bagaimana teman-teman sekelas mereka beraksi. Benar kata Jenny, ruang bermain kosong. Jenny segera bercerita. Diceritakannya dari permulaan, walaupun wajahnya jadi merah saat menceritakan betapa ia menirukan Mam'zelle dan Kathleen. Tak ada yang tertinggal. Ia memang anak yang jujur, adil, dan bersedia menerima hukuman bila memang bersalah. Nora mendengarkan dengan tenang. "Kasihan Kathleen!" akhirnya Nora berkata. "Ia benar-benar mengacaukan segalanya! Kita harus segera bertindak, tetapi aku tak tahu bagaimana. Lebih baik kita menemui Rita dahulu, dan kita minta ia mengantarkan kita ke Bu Belle dan Bu Best." "Astaga. Apakah mereka juga harus tahu?" tanya Elizabeth kecewa. "Tentu saja. Masa seorang anak melarikan diri dari sekolah dan Kepala Sekolah tak mengetahuinya? Ayolah. Kita tak boleh membuang-buang waktu!" Mereka menemui Rita di kamarnya. "Rita, maukah kau ikut bersama kami ke tempat Bu Best dan Bu Belle?" tanya Nora. "Seorang anak di kelas Elizabeth telah melarikan diri, dan kami kira kami harus menceritakan segalanya pada Kepala Sekolah." "Tentu," kata Rita terkejut. "Kita harus mengajak William juga. Ia harus tahu perkara ini, dan akan menghemat waktu bila ia mengetahuinya sekarang." Beberapa menit kemudian enam orang anak berkumpul di depan ruang tamu tempat kedua pimpinan sekolah itu. Bu Belle dan Bu Best sedang menulis surat waktu Rita mengetuk pintu. "Masuklah," terdengar suara tenang dari dalam. Dan mereka pun masuk. Ternyata Pak Johns juga ada di situ. Dan ketiga guru kepala itu sangat heran melihat begitu banyak anak datang. "Ada apa?" tanya Bu Belle segera. "Ada suatu kejadian yang memerlukan perhatian Anda," kata Rita. "Elizabeth, tolong ceritakan yang terjadi. " Elizabeth menceritakan semuanya. Pada waktu ceritanya sampai pada saat Kathleen berangkat ke stasiun. Pak Johns segera bangkit berdiri. "Aku harus mengejarnya," katanya. "Mudah-mudahan tidak terlambat." "Tetapi kereta pasti sudah berangkat," kata Nora. "Jadwal perjalanan kereta api sudah diubah, bulan ini," kata Pak John. "Kereta yang semestinya berangkat jam ini sudah dihapus, digantikan kereta yang berangkat satu jam lagi. Kalau aku berangkat cepat-cepat, mungkin anak itu bisa kususul. Ikutlah aku, Rita!" Keduanya berangkat. Beberapa saat kemudian terdengar pintu depan berdebam. Elizabeth tak henti-hentinya berharap semoga Kathleen tersusul sebelum naik kereta. Kini setelah para pimpinan sekolah mengetahui, Elizabeth merasa bebannya sedikit ringan. Orang dewasa tampaknya selalu bisa membereskan persoalan apa pun. "Dua hal harus segera diselesaikan, menurut pendapatku," kata Bu Best. "Pertama, untuk menyadarkan Kathleen bahwa melarikan diri sama sekali takkan pernah bisa menyelesaikan suatu kesulitan, malah hanya akan memperburuk keadaan. Ia harus bisa mengembalikan kepercayaan dirinya. Ia mengira dirinya gagal, ia harus sadar bahwa seseorang tak perlu sampai menganggap dirinya gagal. Kalau dia bisa kita sadarkan bahwa ia masih bisa berusaha lagi, maka segalanya akan beres." "Aku tahu yang kedua," kata Elizabeth. "Yaitu untuk membersihkan nama Robert dari berbagai tuduhan. Sungguh tak enak hatiku bila berpikir bahwa aku telah menuduhnya sembarangan, tak terbukti. Dan yang lebih tidak enak bagiku, sebab ternyata ia menerima saja hukumannya. Aku benar-benar malu." "Aku gembira kau merasa malu, Elizabeth," kata Bu Best. "Kita semua tahu bahwa kau sesungguhnya adil dan jujur. Tetapi kau takkan bisa mencapai apa-apa bila selalu terburu-buru memutuskan sesuatu, tak bisa mengendalikan kemarahanmu." "Memang. Aku sudah banyak belajar tentang itu," kata Elizabeth. "Tetapi Anda tak tahu betapa sulitnya mengendalikan diri. Bu Best." "Oh, tentu saja aku tahu," Bu Best tersenyum. "Sebab aku dulu juga tak bisa mengendalikan diriku, aku dulu juga sangat cepat naik darah." Bu Best tersenyum manis sekali. Kelima anak itu ternganga heran. Bu Best yang selalu tampak berwajah manis itu penaik darah? Sungguh tak bisa dipercaya! "Kini, apa yang akan kita lakukan bila Pak Johns telah membawa Kathleen kemari?" tanya Bu Belle. "Aku berpikir bahwa William dan Rita merupakan orang yang paling tepat untuk menghadapinya. Mereka takkan membuatnya canggung, seperti bila ia harus menghadapi kami, atau Pak Johns." "Ia mengatakan bahwa ia tak sanggup menghadapi Rapat Besar, bila mereka membicarakan tentang perbuatannya yang licik itu," kata Elizabeth. "Ia tak terlalu pemberani-walaupun kadang-kadang ia menentang guru di kelas, yang takkan pernah berani kulakukan." "Itu namanya bukan pemberani," kata Bu Belle. "Itu sesuatu yang sering dilakukan oleh orang-orang yang lemah namun keras kepala. Mereka selalu takut kalau dianggap bodoh sehingga mereka selalu mencoba untuk menarik perhatian dengan cara apa pun-bertengkar, atau membual, atau membantah-apa saja yang bisa membuat orang lain memperhatikan mereka! Kita takkan pernah melihat orang-orang yang berkepribadian kuat, orang-orang bijaksana bertengkar, atau membual, atau menarik perhatian orang-itu dilakukan hanya oleh orang-orang yang berkepribadian lemah! Dan dalam kasus Kathleen, ini berarti bahwa ia merasa dirinya telah gagal. Dia mencoba menyembunyikan kenyataan itu dari dirinya sendiri dan dari orang lain. Kini ia tidak bisa menyembunyikannya lagi. Dan ia melarikan diri. Tepat seperti yang biasa dilakukan orang-orang lemah." "Bila sudah diterangkan dengan jelas, segalanya tampak berbeda, bukan?" kata Jenny. "Aku takkan pernah menirukan Kathleen kalau saja aku tahu apa yang menyebabkan ia berbuat begitu. Kini aku merasa kasihan padanya dan berjanji akan membantu apa saja untuk kebaikannya." "Ia bahkan malu akan bintik-bintik di mukanya," kata Elizabeth. "Padahal bintik-bintik itu keluar karena ia suka sekali makan permen. Ia makan permen lebih banyak dari yang dimakan oleh seisi kelas kita dijadikan satu!" "Ia tampak manis bila tersenyum," kata Joan. "Sudah kukatakan hal itu padanya." "Bagus!" kata Bu Best. "Tampaknya kalau saja Kathleen mau merapikan diri dan merawat dirinya, serta menghilangkan bintik-bintik di mukanya, maka anak itu akan mengawali perbaikan dirinya dengan baik. William, kaupikir bisakah kau dan Rita memberi pengertian padanya? Tampaknya semester ini kau banyak sekali menghadapi persoalan berat. Tetapi aku yakin kau akan bisa menanggulangi semuanya dengan baik " "Dan bagaimana dengan kemungkinannya untuk menghadapi Rapat Besar?" tanya William. "Kau dan Rita yang harus menentukan hal itu," kata Bu Belle. "Kami menyerahkannya padamu. Kalau kalian berpikir tak baik untuk memaksanya menjadi berani sebelum waktunya, maka lebih baik kalian hanya membersihkan Robert dari tuduhan terhadapnya, kemudian kita tunggu saja sampai Kathleen cukup berani untuk mengakui perbuatannya sendiri. Mungkin sebelum akhir semester ini ia sudah berani berbuat itu, kalau kita menanganinya secara baik." Sungguh mengherankan betapa mudahnya kini persoalan yang mereka hadapi, setelah segalanya dibicarakan dan diteliti. Kebiasaan jahat Kathleen ternyata bersumber dari sesuatu yang sangat sederhana-perasaan bahwa dia gagal dalam hidup ini. Kalau perasaan itu bisa dihilangkan, maka sebagian besar kesulitan yang dihadapi Kathleen akan lenyap. Dan itu akan menyenangkan banyak orang. Terdengar suara mobil memasuki halaman, lalu suara pintu mobil dibanting. Pasti suara taksi. Semuanya berdebar-debar menunggu munculnya Pak Johns dan Rita-dengan Kathleen. Apakah mereka berhasil menyusul anak itu?" Terdengar langkah kaki mendatangi. Pintu terbuka. Hanya Pak Johns yang ada di ambang pintu. Rita tak ada. Kathleen juga tak ada. "Apakah Anda tak bisa menemukannya?" tanya Bu Best harap-harap cemas. "Oh, bisa," kata Pak Johns. "Ia tadi kami temukan di ruang tunggu stasiun. Kasihan sekali. Begitu sedih dan tampaknya sangat menyesal telah melarikan diri. Waktu Rita mendekatinya, ia langsung menangis, dan menurut saja kami ajak pulang. Untunglah jadwal perjalanan kereta api diubah, sehingga ada waktu baginya untuk berpikir lagi. Kalau saja kereta api datang sebelum kami tiba, maka sudah pasti ia akan berangkat, dan takkan terkejar lagi." "Di mana dia?" tanya William. "Di kamar belajar Rita," kata Pak Johns. "Lebih baik kau juga ke sana, William. Aku yakin kau bisa membantunya. Biarkan dia berbicara apa saja, biarkan ia mengeluarkan segala perasaan hatinya." "Baiklah," kata William. Dan ia pun pergi. Keempat anak lainnya juga minta diri dan meninggalkan tempat itu. "Aku akan mencari Robert," kata Elizabeth. "Ini tugasku, dan harus kulakukan segera. Walaupun aku tahu pasti akan sangat berat bagiku." 17. Menjernihkan Suasana Elizabeth merasa marah pada dirinya sendiri saat ia mencari Robert. "Sungguh buruk kelakuanku," pikirnya. "Aku telah menuduh seseorang melakukan banyak sekali perbuatan jahat, dan ternyata satu pun tak dilakukannya. Aku telah meminta dan berhasil membuat dia dihukum, pada saat ia memutuskan untuk mengubah kelakuannya. Semua orang telah menolongnya. Aku satu-satunya yang telah membuatnya marah dan kecewa. Aku benci pada diriku sendiri!" la tak bisa menemukan Robert di mana pun. Kemudian ia bertemu dengan Leonard yang berkata bahwa Robert berada di kandang kuda. "Hari ini Bess sedikit pincang," kata Leonard. "Dan Robert kini berada di kandang, merawatnya bersama pengurus kuda. Aku baru saja melihatnya, waktu pulang dari kandang sapi. Aku dan Fanny setiap pagi bertemu dengannya, saat kami berdua harus memerah sapi. Dan kau tahu, Elizabeth, kami merasa dia anak yang sangat menyenangkan. Ia berusaha keras untuk menyenangkan semua anak yang dulu pernah diganggunya. Mau tak mau aku harus mengaguminya," "Aku juga mengaguminya," kata Elizabeth. "Tetapi jelas ia tak akan mengagumiku kalau ia mendengar apa yang akan kuceritakan nanti." "Apakah itu?" tanya Leonard. Tetapi Elizabeth tak mau mengatakan padanya. Di luar hari telah gelap. Elizabeth mengambil mantelnya, dan memakainya. Ia menyeberangi kebun menuju kandang. Didengarnya Robert bercakap-cakap dengan pengurus kuda di dalam kandang. Ia pun menjengukkan kepala ke dalam. "Robert," katanya. "Bisakah aku bicara sebentar denganmu?" "Siapa itu?" tanya Robert heran. "Oh, kau, Elizabeth. Ada apa?" Robert keluar kandang, mendekatinya. Tubuhnya bau kuda-bau yang disukai Elizabeth-dan rambutnya berantakan. Mukanya kemerah-merahan sebab baru saja menggosok keras-keras kaki kuda yang pincang itu. "Robert," kata Elizabeth. "Aku telah melakukan suatu kesalahan besar padamu. Ternyata yang mempermainkan aku dan Jenny memang benar bukan kau." "Aku sudah mengatakan hal itu padamu," kata Robert, "jadi aku tidak heran lagi." "Ya, Robert, padahal aku telah mengatakan pada seluruh sekolah bahwa kaulah yang melakukannya," kata Elizabeth, suaranya mulai sedikit bergetar. "Dan kau kena hukum karenanya. Tak bisa kuterangkan betapa menyesalnya aku. Kau memang pernah berbuat keji terhadapku, dan aku tak menyukaimu, tapi perbuatanku padamu jauh lebih keji lagi. Dan kau ternyata benar-benar memiliki pribadi yang kuat, karena mau datang pada pertandinganku, dan ikut menyesal sewaktu pertandingan itu tak jadi diadakan karena datangnya hujan. Menurutku kau jauh lebih matang berpikir dariku. Sungguh picik pikiranku...." "Aku pun bepikir begitu," kata Robet dengan menggandeng tangan Elizabeth. "Tetapi aku sesungguhnya tidak sebagus apa yang kaupikirkan, Elizabeth. Aku bisa melupakan kebencianku padamu karena aku merasa sangat bahagia, begitu bahagia hingga aku yakin aku mampu mengubah pribadiku. Sesungguhnyalah karena perasaan bahagiaku itu aku tak peduli lagi pada kekecewaanku karena tak jadi main. Jadi tak sulit bagiku untuk ikut nonton dan mengatakan padamu aku ikut menyesal karena pertandingan itu dibatalkan. Namun aku gembira akhirnya kau tahu siapa yang berbuat. Siapa?" "Saat ini aku belum bisa mengatakannya padamu, Robert," kata Elizabeth. "Tetapi segera setelah aku mengetahui hal ini aku datang padamu, untuk menyatakan betapa aku menyesal atas tuduhanku padamu. Aku harap kau bisa memaafkan aku." "Tak usah khawatir tentang itu," sahut Robert sambil tertawa. "Orang-orang akan harus memberiku maaf jauh lebih banyak daripada maaf yang harus kuberikan padamu. Ayolah, mari kita bersahabat saja. Bermusuhan mula-mula memang menyenangkan, tetapi lama-kelamaan jadi gawat juga. Datanglah besok pagi sebelum sarapan, dan mari berkuda bersama. Kau naik Kapten, dan aku naik Bess, kalau kakinya sudah sembuh. Dan gembiralah, kau tampak aneh." "Aku memang merasa aneh," kata Elizabeth dengan kerongkongan serasa tersekat. "Tak kuduga bahwa kau begitu baik terhadapku. Kukira memang aku sering salah menilai orang. Ya, Robert, aku gembira akhirnya kita bersahabat. Aku akan bangun pagi-pagi sekali besok." Robert tersenyum pada Elizabeth dan kembali ke dalam kandang. Elizabeth menyelinap masuk ke dalam kegelapan. Sejenak ia berdiri di luar pintu, diterpa angin dingin. Betapa anehnya orang-orang di sekelilingnya. Kadang kita mengira seseorang jahat, tetapi ternyata ia seorang yang baik yang bahkan ingin ber- 1 sahabat dengan kita. "Lain kali aku akan memberi kesempatan pada siapa pun sebelum aku menentukan bahwa mereka jahat," pikir Elizabeth. "Aku harus berpikir sekali, dua kali, tiga kali, empat kali sebelum aku kehilangan kesabaranku. Sungguh lucu, dulu aku sangat membenci Robert, sekarang aku sangat menyukainya. Padahal dulu dan sekarang orangnya sama saja." Tetapi Robert dulu dan Robert sekarang memang berbeda. Ia juga sedang memikirkan Elizabeth. Ia kagum akan keberanian Elizabeth untuk mengakui kesalahannya seperti itu tadi. Seorang yang sangat penaik darah, tetapi ia toh menyukainya. Rasanya akan menyenangkan berkuda bersamanya, berpacu dalam embusan angin pagi di perbukitan. Dan sementara itu, apa yang terjadi dengan Kathleen? Keadaannya pun tak begitu buruk, sebab William dan Rita bisa bersikap bijaksana dan lembut, walaupun cukup tegas dan mantap. Mereka membiarkan anak malang itu menceritakan segalanya. "Aku merasa gusar sekali waktu kereta yang kutunggu tidak juga datang," kata Kathleen menangis tersedu-sedu. Saputangannya sudah basah kuyup kena air matanya. "Kurasakan itu sebagai suatu hal lagi yang memusuhi diriku. Ternyata bahkan melarikan diri aku juga tak bisa, sebab tak ada kereta api." "Sungguh untung kau tak jadi pergi," kata William. "Itu bukan perbuatan yang terpuji. bukan? Kita tak bisa melenyapkan kesulitan kita dengan cara melarikan diri. Kesulitan itu akan terus mengikuti kita." "Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Kathleen sambil mengusap air matanya. "Harus kita hadapi, dan kita carikan cara terbaik untuk mengalahkannya," kata Rita. "Kau aneh, Kathleen, bisa dibilang kau melarikan diri dari dirimu sendiri. Tak seorang pun dapat melakukan hal itu." "Kalau saja engkau seperti aku, pastilah kau juga akan begitu putus asa sehingga melarikan diri juga," kata Kathleen. "Aku begitu sial. Tak satu pun kejadian menyenangkan terjadi pada diriku, seperti biasa terjadi pada anak-anak lain." "Dan itu akan berlaku terus bila kau tidak mengubah caramu berpikir," kata William. "Bukan nasib yang menentukan hidup kita, tapi kita sendiri! Kau kan suka bilang bahwa Jenny punya banyak teman karena nasibnya baik, sebetulnya bukan nasib baiknya yang menyebabkan ia punya banyak teman, tetapi karena sikapnya. Ia baik hati, pemurah, dan selalu ceria. Dirinya sendirilah yang menarik banyak teman. Bukan nasibnya." "Ya, mungkin juga," Kathleen berpikir-pikir. "Belum pernah terpikirkan olehku kemungkinan itu. Tetapi aku tidak secantik, seceria, dan semurah hati Jenny." "Tapi mengapa kau tak berusaha keras ke arah itu?" tanya Rita. "Senyummu manis. Kau punya lesung pipit yang bisa muncul dan menghilang, walaupun lebih sering menghilangnya daripada munculnya. Kalau kausikat rambutmu seratus kali setiap pagi dan malam seperti biasa dilakukan Jenny, rambutmu juga akan lembut kemilau seperti rambut Jenny. Kalau kau tidak lagi makan terlalu banyak permen, maka bintik-bintik di mukamu akan lenyap. Kalau kau sering berada di udara terbuka, sering berolahraga, maka wajahmu akan kemerahan dan matamu bersinar-sinar." "Apa betul?" tanya Kathleen, mulai tampak lebih riang. Rita mengambil sebuah cermin dan menghadapkannya di muka Kathleen yang sedih dan penuh bekas air mata. "Tersenyumlah," kata Rita. "Ayo, senyumlah! Cepat! Aku ingin lihat lesung pipitmu!" Kathleen terpaksa tersenyum. Dan sesaat dilihatnya wajahnya yang sedih terlihat cukup menyenangkan dan lesung pipitnya memang sekilas muncul. "Ya, aku memang tampak lebih manis," katanya. "Tetapi aku begitu membosankan, tidak secerdas anak lain. Dan pikirkan juga betapa kejinya perbuatanku selama ini." "Kau lamban dan tidak cerdas hanya karena kau tidak sesehat semestinya, dan karena kau tidak merasa bahagia," kata William. "Berilah dirimu kesempatan. Dan tentang kenakalan yang kauperbuat, yah... kau selalu punya waktu untuk memperbaiki kebiasaan tersebut. Dan lagi semua orang pernah nakal sekali-sekali." "Aku yakin kau dan Rita tak pernah nakal," kata Kathleen. "Lagi pula, William, Rita, janganlah kalian menahanku untuk tinggal terus di Whyteleafe ini. Aku takkan berani berdiri di hadapan Rapat Besar yang akan datang, untuk mengatakan perbuatanku, walaupun untuk membersihkan nama Robert. Aku seorang penakut, memang, dan tak ada gunanya untuk berpura-pura jadi pemberani. Kalau kalian akan memaksaku berbuat begitu, aku akan pergi besok pagi." "Kami tak ingin memaksa siapa pun berbuat apa pun," kata William. "Tak ada gunanya memaksa orang. Segala hal harus dilakukan atas kehendak mereka sendiri, kalau tidak hasilnya akan sangat buruk. Dengarlah, Kathleen. Kami akan minta agar Elizabeth membersihkan Robert dari tuduhannya, tanpa mengatakan siapa sesungguhnya yang telah berbuat. Mungkin suatu waktu kelak kau punya pikiran lain tentang hal ini, dan bisa merundingkannya lagi dengan kami." "Kapan pun juga aku takkan berani menghadapi begitu banyak anak," kata Kathleen. "Tetapi aku bersedia tinggal terus di sini asalkan aku tak harus mengaku di hadapan Rapat Besar. Bagiku mengaku pada Jenny dan Elizabeth saja sudah cukup berat." "Sungguh hebat kau berhasil melakukannya," kata William. "Kami akan meminta kepada siapa pun yang telah mendengar tentang dirimu agar merahasiakan hal itu. Kau tak usah takut bahwa kau akan diejek oleh teman-temanmu. Kerjakan seperti yang pernah dilakukan Robert-mengubah pribadinya menjadi pribadi yang menyenangkan, dan tersenyumlah sesering mungkin." "Akan kucoba," Kathleen menyimpan saputangannya yang basah. "Walaupun sesungguhnya sulit bagiku untuk tersenyum. Dan kurasa aku takkan sanggup mengubah pribadiku. Tetapi akan kucoba itu semua, karena kalian begitu baik padaku." "Bagus," kata Rita dan William. Rita melihat arlojinya. "Hampir waktu tidurmu," katanya. "Kau sudah makan malam? Atau belum?" "Belum," kata Kathleen. "Tetapi aku tak lapar." "William dan aku akan membuat susu cokelat," kata Rita. "Sebagai ketua murid kami boleh memiliki kompor sendiri. Jangan pergi dulu. Marilah minum cokelat dengan kami. Dan di sini ada juga biskuit cokelat. Walaupun tidak lapar, kau pasti menyukainya." Sekitar sepuluh menit kemudian, ketiganya sudah minum cokelat hangat dan makan biskuit. William banyak sekali bercerita lucu, sehingga Kathleen sering tersenyum, lesung pipitnya muncul di pipi kiri. Waktu lonceng tidurnya berbunyi, ia bangkit. "Kalian baik hati sekali," kata Kathleen, air matanya mulai keluar lagi. "Aku takkan melupakan malam ini. Aku gembira kalian yang menjadi Ketua Murid di sini. Kalian sungguh bijaksana." "Lupakan kesedihanmu," kata William. "Kau akan segera mendapatkan bahwa keadaanmu tidak seburuk yang kauduga. Selamat malam." 18. Suasana Membaik Elizabeth bangun pagi-pagi sekali, dan langsung pergi ke kandang. Robert sudah ada di sana, memasang pelana pada kuda-kuda peliharaannya, bersiul-siul bahagia. Ia melakukan suatu tugas yang disenanginya, merawat kuda-kuda yang tampak langsung membalas cintanya juga. "Suatu perasaan yang menghangatkan hati," katanya pada Elizabeth. "Dulu aku tak pernah merasakan seperti ini, sebab dulu aku tak pernah punya binatang peliharaan. Lagi pula waktu itu aku sama sekali tak senang pada hewan. Kecuali kuda. Kurasa Rita dan William takkan bisa memikirkan yang lebih baik lagi untukku. Aneh bukan? Bukannya dihukum aku malah memperoleh sesuatu yang kugemari. Tetapi dengan begini aku bisa menghilangkan sifat burukku lebih cepat daripada bila aku dihukum. Sekarang aku sama sekali tak ingin berbuat keji lagi." "Kita takkan bisa berbuat keji pada siapa pun pada saat kita merasa bahagia," kata Elizabeth bijaksana. "Paling tidak begitulah yang terjadi pada diriku. Bila aku bahagia, aku hanya ingin bersikap hangat dan murah hati. Ayolah. Mari berangkat. Oh, Robert, aneh bukan bahwa kita bisa bersahabat setelah bermusuhan begitu sengit." Robert tertawa, melompat ke punggung Bess. Kuda itu meringkik, menengadahkan kepala. Ia sangat senang mengetahui bahwa Robert-lah yang menungganginya. Kedua kuda mereka berjalan pelan sepanjang jalan berumput, kemudian berpacu ke arah perbukitan. Elizabeth sudah pandai menunggang kuda sejak beberapa tahun, jadi ia bisa berkuda dengan baik. Begitu juga Robert. Kedua anak itu sangat menikmati perjalanan pagi tersebut. Mereka saling berteriak, berbicara. Kemudian Elizabeth mengemukakan sebuah usul. "Hei, bagaimana kalau suatu hari kauajak Kathleen Peters berkuda bersama? Biar pipinya merah sehat!" "Kathleen? Aku tak suka padanya!" teriak Robert. "Dia anak nakal! Apakah kau akan berteman dengannya?" "Memang!" sahut Elizabeth. "Dulu aku tak suka padanya, seperti aku juga tak suka padamu. Tetapi kukira aku telah begitu sering salah menaksir orang. Mungkin juga aku bisa ber-baik padanya. Paling tidak ia akan kuberi kesempatan. Maukah kau membantuku?" "Baiklah," kata Robert. "Ia cukup pandai berkuda. Tetapi kau harus ikut juga. Aku takkan tahan berdua saja dengan dia. Bisa kaku karena bosan! Satu hal tentang dirimu, Elizabeth, kau tak pernah membosankan. Kalau kau sedang baik hati, kau bisa baik sekali, begitu juga sebaliknya, kalau sedang jahat kau bisa jahat sekali!" "Jangan ingatkan aku tentang itu," kata Elizabeth memperlambat kudanya. "Aku sedang berusaha memperbaiki diriku. Aku ingin agar selamanya aku jadi anak yang baik. Malah sesungguhnya waktu aku kembali ke Whyteleafe ini aku telah bertekad untuk berusaha keras menjadi anak terbaik di sekolah ini. Tetapi ternyata aku membuat begitu banyak kesalahan dan kekeliruan! Rasanya aku takkan mungkin jadi Pengawas." "Kau tahu tidak, sesungguhnya aku ingin juga jadi Pengawas," kata Robert. "Mestinya senang sekali merasa bahwa kita dipercaya dan disegani oleh seisi sekolah, segala pendapat kita didengar dan dipatuhi. Dan alangkah bangganya duduk sebagai anggota Dewan Juri. Tapi... yah, tak mungkin seorang di antara kita berdua bisa sampai terpilih. Aku membuat awal yang buruk semester ini. Dan kau adalah anak paling badung semester yang lalu. Tak bisa kubayangkan betapa nakalnya kau dulu sampai memperoleh julukan seperti itu." Waktu keduanya memasuki ruang makan untuk sarapan, Robert dan Elizabeth sama-sama tampak sangat berbahagia. Pipi mereka merah oleh angin dingin, mata mereka bersinar-sinar. Elizabeth tersenyum pada Kathleen yang duduk di tempat biasanya, tampak sedikit ceria tetapi agak gugup. "Halo, Kathleen, halo semuanya," sapa Elizabeth. "Wuah, laparnya aku! Rasanya bisa kuhabiskan dua puluh sosis dan dua belas telur." "Baru berkuda, ya?" tanya Kathleen sambil mendorong piring tempat roti panggang ke arah Elizabeth. "Wah, kau benar-benar merah! Agaknya angin membuatmu merah seperti orang Indian." Elizabeth tertawa. "Tetapi sungguh menyenangkan! Mestinya kau juga bangun pagi, dan berkuda bersama kami," katanya. "Ya, ayolah," ajak Robert. "Kau kan cukup pandai berkuda, Kathleen. Datang saja, dan mari berkuda bersama aku dan Elizabeth. Kita bisa berkuda sampai bermil-mil!" Kathleen berseri-seri kegirangan. Ia tersenyum lebar dan semua orang melihat betapa lesung pipitnya muncul sesaat dan lenyap lagi. "Oh, aku akan senang sekali," katanya. "Terima kasih banyak. Aku sangat suka pada kuda bernama Bess itu." "Benar?" tanya Robert heran. "Aneh, aku juga menyukai kuda itu! Ia memang kuda yang sangat manis, benar-benar manis! Kemarin kakinya pincang dan aku sungguh khawatir...." Dan Robert segera saja tenggelam dalam percakapan yang hangat dengan Kathleen, membicarakan Bess dan Kapten. Percakapan mereka cukup seru, karena Kathleen cukup banyak tahu tentang kuda. Kali ini ia sama sekali tidak membual. Ia menahan diri untuk bisa mendengarkan dengan sopan, sementara hatinya begitu gembira karena ada seseorang yang berbicara dengan begitu hangat dan bersahabat. Ia berusaha keras untuk tidak membuat bibirnya melengkung turun di ujung-ujungnya, sesuatu yang menjadikan wajahnya tampak tolol. Dengan berseri-seri ia mengikuti pembicaraan Robert, dan sekali-sekali tertawa ceria karena lelucon Robert. Tadinya ia sangat takut untuk ikut sarapan. Pastilah akan berat baginya untuk duduk berhadapan dengan Elizabeth, Jenny, Joan, dan Nora. Keempat anak itu tahu rahasianya. Tetapi setelah duduk bersama ternyata dugaannya salah. Keempatnya menyambutnya secara wajar saja, walaupun jelas lebih hangat dan ramah daripada biasanya. Sikap mereka membuat Kathleen merasa sangat bersyukur dan berbahagia, bukannya kikuk dan malu. Sungguh menyenangkan suasana sarapan itu. Tapi beberapa anak ada juga yang heran melihat Robert dan Elizabeth tiba-tiba saja tampak begitu akrab. "Kau sungguh aneh, Elizabeth," kata Kenneth. "Suatu hari kau bermusuhan setengah mati, dan hari berikutnya kau sudah bersahabat begitu akrab!" "Semester yang lalu Elizabeth pernah menjadi musuhku yang paling kubenci," kata Harry sambil tertawa. "Sampai di punggungnya kutempelkan kertas dengan tulisan Aku anak badung bandel bengal! Aku menyalak! Aku menggigit! Awas!' Wah. Waktu itu kau marah sekali, Elizabeth." "Ya memang," kata Elizabeth, teringat saat ia diusili Harry. "Tetapi sekarang peristiwa itu terasa lucu bagiku. Eh, yuk kita lihat papan pengumuman, kayaknya ada pengumuman baru." Mereka menyeberangi ruangan. Memang ada pengumuman baru. "Elizabeth Allen terpilih untuk ikut main dalam pertandingan lacrosse melawan Sekolah Uphill," demikian bunyi pengumuman tersebut. Elizabeth ternganga membacanya. Pipinya serasa terbakar. "Ya Tuhan!" ia berseru. "Kini aku benar-benar terpilih! Dulu Robert yang terpilih, tetapi karena ia dihukum aku yang ditunjuk untuk menggantikannya. Tapi sekarang aku benar-benar terpilih! Oh, betapa senangnya!" "Ya, tentu saja, apalagi kali ini adalah pertandingan perlawatan, bertanding di kandang lawan!" kata Harry. "Alangkah senangnya kau, bisa pergi naik bus ke Sekolah Uphill. Kau sungguh beruntung!" "Memang menyenangkan!" seru Elizabeth. Bagaikan menari ia langsung mendekati Jenny dan Joan untuk memberitahu tentang pengumuman tersebut. Kathleen masih bersama mereka berdua, dan berempat mereka membicarakan hal itu dengan gembira. "Kalau saja kami bisa ikut pergi untuk menyaksikan kau menembakkan bola ke gawang lawan, oh, alangkah senangnya!" Joan kegirangan menggandeng lengan sahabatnya. "Mudah-mudahan kali ini tidak hujan lagi, Elizabeth." "Oh, jangan sampai hujan lagi!" seru Elizabeth. "Joan, Kathleen, nanti bantu aku berlatih, ya, sebelum makan siang!" Kathleen semakin berseri. Jarang sekali ada anak yang meminta bantuannya. Sungguh menyenangkan untuk merasa bahwa dirinya dianggap teman sekelompok kini. "Hei, senyummu betul-betul manis," kata Joan memperhatikan Kathleen. "Ayolah. Itu lonceng telah berbunyi. Jangan sampai terlambat. Kemarin aku terlambat hanya setengah detik, tetapi Bu Ranger sudah ngamuk-ngamuk! Ayo!" Tak terasa Kathleen bernyanyi kecil sewaktu pergi ke kamarnya untuk mengambil buku. Betapa baik hati teman-temannya! Ternyata memang sangat mudah untuk tersenyum bila kita merasa bahagia. Pagi ini Kathleen sudah bisa tersenyum di kacanya. Diperhatikannya wajahnya. Kini sudah berbeda, tidak sederhana lagi, tapi berseri-seri dan manis! Dengan tegas Kathleen berbicara pada bayangan wajahnya di cermin. "Sekarang kau tak boleh lagi makan permen. Kau tak boleh rakus! Tak boleh berbuat tolol sedikit pun! Senyumlah dan jadilah anak manis selalu!" demikian katanya. Dan wajah di cermin itu tersenyum membalasnya. Lesung pipitnya tampak jelas. Siapa yang berpikir bahwa senyum sedikit saja sudah bisa membuat perubahan sedemikian besar? Ketika pelajaran pagi selesai, Elizabeth, Kathleen, dan Joan bergegas mengambil tongkat-tongkat lacrosse, untuk berlatih menangkap dan memukul bola. Mereka bertubrukan dengan Robert di gang. "Ya ampun! Kalian ini seperti topan saja!" seru Robert. "Mau ke mana tergesa-gesa?" "Kami akan membantu Elizabeth menangkap bola," kata Joan. "Tidak tahukah kau? Elizabeth terpilih untuk ikut main dalam pertandingan di Sekolah Uphill Sabtu depan." "Benar?" sesaat wajah Robert terlihat sangat kecewa. Ia telah begitu berharap dirinya akan terpilih kembali. Sebab dulu dia yang dipilih, dan akhirnya Elizabeth menggantikannya, walaupun akhirnya pertandingan tak jadi diadakan karena turun hujan lebat. Yah, tak apalah. "Aku tak boleh merasa iri," katanya dalam hari. "Toh masih banyak kesempatan untuk bisa dipilih." Dan ia berseru pada Elizabeth, "Selamat, Elizabeth! Alangkah senangnya bila aku bisa melihatmu memasukkan bola ke gawang lawan!" Ia berlari meninggalkan anak-anak perempuan itu. Elizabeth berpaling pada Joan, "Sungguh baik bukan Robert?" Joan menatap wajah Elizabeth. "Kauperhati-kan wajahnya waktu ia kuberitahu bahwa kau yang terpilih?" "Tidak, kenapa?" tanya Elizabeth heran. "Ia terlihat sangat kecewa," kata Joan mengeluarkan tongkat lacrosse-nya. "Mungkin sekali ia berharap akan terpilih kali ini, sebab dulu ia dihalangi oleh keputusan Rapat." "Oh," hanya itu yang keluar dari mulut Elizabeth. Ia juga mengeluarkan tongkat lacrosse-nya, dan ketiga anak itu pergi ke lapangan. Tak lama mereka telah sibuk, saling melempar, saling menangkap bola. Kemudian Kathleen menjadi penjaga gawang, sementara kedua rekannya berusaha memasukkan bola. Tetapi kini Elizabeth tak begitu menikmati latihannya. Ia berpikir tentang Robert. Sabtu lalu, dengan tuduhannya ia berhasil mencegah Robert bermain di pertandingan. Makin dipikirkannya terasa makin tak adil bahwa kini dialah yang bermain dan bukannya Robert. "Walaupun akhirnya aku tak jadi main karena hujan," demikian pikirnya sambil menangkap bola dan melontarkannya pada Joan. "Tapi kalau tidak hujan, maka mestinya aku akan sudah main satu kali. Jadinya kalau Sabtu ini aku main lagi, itu berarti aku main dua Sabtu berturut-turut, sementara Robert sama sekali belum main sekali pun. Padahal sesungguhnya dialah yang terpilih minggu lalu. Rasanya tak enak hatiku. Biarlah kutanyakan hal ini pada Nora." Sehabis makan, Elizabeth menemui Nora. Sebagai Pengawas, maka Nora selalu siap untuk mendengar kesulitan anak-anak di bawah pengawasannya. Sebaliknya mereka yang diawasi selalu dengan senang hati minta nasihat seorang Pengawas bila memang diperlukan. "Nora, bagaimana menurutmu kalau aku minta agar Robert bermain dalam pertandingan hari Sabtu ini, dan bukannya aku?" tanya Elizabeth. "Kau tahu, Sabtu kemarin ia tak jadi main karena aku telah menuduhnya berbuat salah. Dan aku tahu ia sangat kecewa sekali. Bagaimana kalau aku minta pada Eileen agar mengganti namaku dengan nama Robert?" "Ya, kukira itu sungguh adil, Elizabeth," kata Nora segera. "Bagus sekali keputusanmu ini. Aku sangat senang kau berpikir sampai ke situ. Ada satu hal yang sangat kukagumi pada dirimu, kau selalu berusaha untuk bertindak sangat adil." "Aku akan mencari Eileen sekarang juga," kata Elizabeth, dan berlari meninggalkan Nora, takut kalau pikirannya berubah lagi. Hal ini memang tidak enak bagi Elizabeth, tapi akan merupakan kejutan manis bagi Robert! 19. Minggu yang Damai Eileen sedang berada di ruang senam. Ia memang sangat pandai dalam berbagai cabang olahraga. Ia sedang bersenam saat Elizabeth datang dan minta bicara dengannya. "Ada apa, Elizabeth?" tanyanya. "Eileen, bagaimana kalau Robert saja yang bermain hari Sabtu ini," kata Elizabeth. "Alasannya begini. Ternyata bukan dia yang mempermainkan aku dan Jenny seperti yang ku-tuduhkan padanya dahulu di Rapat Besar. Jadi kukira cukup adil bila kali ini aku memberinya kesempatan untuk main dalam per-tandingan nanti. Sebab Sabtu lalu ia tidak jadi main karena aku." "Boleh saja," kata Eileen yang kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan dan menuliskan sesuatu di dalamnya. "Akan kuatur itu. Seperti katamu, memang inilah yang paling adil bagi Robert. Sayang sekali kau tak jadi main, Elizabeth, tetapi yakinlah bahwa kau telah bertindak dengan tepat." Elizabeth mencari Robert. Tetapi tidak ditemukannya. Dan sebelum ia bisa bercerita sendiri pada Robert, Eileen telah memasang pengumuman baru, menggantikan pengumuman sebelumnya. "Robert Jones akan ikut bermain dalam pertandingan melawan Sekolah Uphill Sabtu ini", demikian bunyi pengumuman baru itu. Robert membaca pengumuman tersebut sewaktu akan pergi makan. Ia sangat heran. Bukankah tadi anak-anak berkata bahwa yang terpilih adalah Elizabeth? Dengan kening berkerut dibacanya pengumuman tadi berulang-ulang. Dan pada waktu itulah Kenneth datang, ikut membaca. Ia pun heran. "Halo," kata Kenneth. "Mengapa pengumuman ini diubah? Semula isinya Elizabeth yang terpilih untuk bermain melawan Uphill. Aku ingat betul itu!" "Ya. menurutku isinya memang begitu," kata Robert masih bingung. "Mengapa diubah? Memang berita yang menyenangkan bagiku, apalagi aku sangat kecewa tadi pagi." "Aku berani bertaruh Elizabeth akan merasa kecewa kini," kata Kenneth, dan mereka pun masuk ke ruang makan. Robert tak ingin membicarakan pengumuman itu dengan Elizabeth di hadapan orang banyak, dan tampaknya Elizabeth juga tak ingin membicarakannya. Nora-lah yang kemudian bercerita tentang apa yang telah terjadi pada Robert. "Apakah kau telah melihat pengumuman?" tanya Nora. "Ternyata akhirnya kau juga yang bermain di pertandingan nanti." "Ya, tetapi kenapa?" tanya Robert. "Kenapa Elizabeth tidak dipasang?" "Itu atas permintaan Elizabeth sendiri. Ia minta agar kau saja yang dipasang," kata Nora. "Katanya dengan begitu barulah adil. Dan aku setuju dengan pendapatnya." "Sungguh adil memang," pipi Robert jadi merah. "Tetapi seharusnya tak perlu dilakukannya. Aku tahu bahwa ia sangat ingin bermain mewakili sekolah kita." Robert segera mencari Elizabeth. Didapatinya Elizabeth berada di kebun, sedang menanam umbi berbagai macam bunga bersama John. "Hai, Elizabeth," sapa Robert. "Terima kasih atas kebesaran hatimu yang memungkinkan aku dipasang di tim sekolah. Tetapi aku lebih senang bila kau saja yang bermain Sabtu ini. Kalau kau tak keberatan." "Tak apa," kata Elizabeth. "Aku telah mengambil keputusan. Kurasa itu suatu cara terbaik untuk menebus kesalahan yang kubuat padamu. Aku akan merasa sangat malu bila tak memberikan kesempatan itu padamu." "Tetapi aku tak peduli apakah kau menebus kesalahanmu atau tidak," kata Robert. "Ya, tapi aku keberatan kalau tak memberimu ganti rugi atas kesalahanku dulu itu," kata Elizabeth. "Aku merasa lega setelah aku berbuat ini. Benar-benar tak punya beban pikiran lagi." "Baiklah," kata Robert. "Terima kasih banyak. Aku hanya berharap kau bisa datang untuk menontonku, Elizabeth." "Aku harap kau bisa mencetak gol banyak sekali," kata Elizabeth, kembali meneruskan pekerjaannya. Berat juga. Umbi bunga krokus yang mereka pesan telah tiba. Bidang-bidang rumput harus diangkat sebelum umbi-umbi itu boleh ditanam. Kemudian ada juga umbi-umbi dafodil dan tulip. Namun yang ini agak mudah cara penanamannya. "Begitu banyak pekerjaan, dan begitu sedikit waktu untuk mengerjakannya," keluh Elizabeth. "Aku ingin lebih sering berkuda-aku ingin berkebun sepanjang hari-aku ingin lebih sering bermain musik-aku ingin lebih sering bersama kelinci-kelinciku-dan aku ingin lebih sering berolahraga. Oh, John, kadang-kadang ingin rasanya aku seperti kau-hanya mempunyai satu kegemaran, jadi tidak sebingung aku yang mempunyai sepuluh kegemaran." "Tetapi kau toh lebih banyak merasakan kegembiraannya daripada aku," kata John bersungguh-sungguh. "Pak Johns sering berkata padaku bahwa mestinya aku punya perhatian lain daripada berkebun melulu. Kata beliau dengan hanya mempunyai kegemaran berkebun, maka aku akan membosankan bila diajak bicara." "Oh, aku tak berpendapat kau membosankan," kata Elizabeth. "Kau sungguh menarik bila mulai berbicara tentang berkebun." "Itu hanya karena kau juga suka berkebun dan mengerti tentang berkebun," kata John. "Tetapi kalau yang kuajak bicara tak suka berkebun, pasti ia akan mengira aku tolol. Tolong pikirkan hal lain kecuali berkebun untukku, Elizabeth." "Bagaimana kalau berkuda?" tanya Elizabeth. "Aku tak pernah melihatmu menunggang kuda, John. Mintalah pada Robert untuk mengajakmu menunggang Kapten. Robert akan senang bisa membantumu, dan kau akan senang memperoleh pengalaman baru." Hari-hari terus berlalu. Hari Jumat riba. Waktu untuk mengadakan Rapat Besar. Anak-anak memasuki ruangan tanpa bersikap sungguh-sungguh seperti minggu lalu, sebab kali ini takkan ada perkara berat yang akan dibicarakan. Anak-anak selalu senang menghadiri Rapat Besar, sebab mereka senang bisa memerintah diri sendiri, membuat berbagai peraturan dan menjaga agar peraturan dipatuhi. Uang-uang tambahan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan bangga Kenneth memasukan uang satu pound, kiriman salah seorang pamannya. Peter memasukkan lima shilling. Kemudian uang saku dibagikan. John Terry minta uang untuk pembelian umbi krokus. Uang tersebut diberikan. Kemudian ia juga minta uang tambahan untuk membeli garpu tanah yang lebih kecil dari yang biasa digunakannya. "Peter akan membantuku menggali tanah," kata John. "Dan garpu tanah kami terlalu besar untuknya. Selama ini kita tak punya alat kebun yang sesuai untuk anak kecil." Permintaan itu pun dikabulkan. Richard minta uang tambahan untuk membeli piringan hitam rekaman permainan biola seorang ahli musik terkenal. Ia ingin memainkan lagu yang sama, dan Pak Lewis berkata ia bisa belajar banyak dari piringan hitam itu. William langsung mengabulkan permintaan tersebut. Seluruh sekolah merasa sangat bangga punya seseorang seperti Richard yang juga mampu memainkan alat musik piano dan biola. Dan Richard pun kembali duduk, dengan perasaan lega. "Ada laporan atau keluhan?" tanya William. Leonard bangkit. Sedikit segan ia berkata, "Keluhanku ini sedikit konyol, memang. Tentang Fred. Ia mendengkur terlalu keras di malam hari. Aku jadi tak bisa tidur. Dan kalian kan tahu, aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk memerah susu. Bila malamnya aku tak bisa tidur, maka sulit bagiku untuk bangun pagi. Kami semua sudah membicarakan hal ini dengan Fred. Tetapi Fred tak bisa menghilangkan dengkurnya itu." Fred bangkit. "Aku sedang pilek," katanya. "Kukira dengkurku itu akan lenyap bila aku sudah sembuh nanti. Mungkin aku boleh tidur di Sanatorium sampai Ibu Asrama menyatakan aku sudah tak mendengkur lagi?" "Ya, kupikir itu jalan keluar yang tepat," William tersenyum. "Terus terang saja ini keluhan yang paling lucu yang pernah kudengar. Tetapi memang Leonard harus bisa tidur nyenyak. Kalau tidak, kita semua takkan bisa memperoleh susu waktu sarapan." Semua tertawa. William mengetuk meja, minta agar semua diam. "Sebelum kita membubarkan rapat ini," katanya, "Elizabeth ingin mengatakan sesuatu. Berdirilah, Elizabeth. " Elizabeth berdiri, mukanya terasa panas. Ia telah memikirkan baik-baik apa yang akan dikatakannya, maka ia bisa berbicara dengan lancar, tanpa tertegun ataupun berhenti. "Aku ingin menyampaikan tentang tuduh-anku pada Robert minggu lalu," katanya. "Aku menuduhnya mempermainkan aku dan Jenny dengan berbagai muslihat jahat. Dan kalian semua percaya pada tuduhanku itu, sehingga memutuskan untuk menghukum Robert dengan jalan melarangnya ikut bertanding. Ternyata tuduhanku itu tidak benar. Yang melakukan perbuatan keji itu sama sekali bukan Robert, yang melakukannya anak lain." "Siapa? Katakan!" seru beberapa orang anak, ada yang bernada gusar. William mengetuk meja dengan palunya, dan semua terdiam. "Tunggu dulu, Elizabeth," katanya. "Aku ingin menyatakan sesuatu. Rita dan aku, sebagai Hakim, telah memutuskan bahwa pada saat ini sungguh tidak bijaksana untuk mengumumkan nama anak yang bersalah itu. Kalian mestinya setuju bahwa ada kalanya tidak bijaksana untuk mengumumkan sesuatu pada orang banyak. Dan perkara ini adalah salah satu perkara seperti itu. Kuharap kalian mengerti dan puas, sebab ini kami lakukan demi kebaikan kita bersama juga." "Kami mengerti," kata beberapa orang anak. William dan Rita memang disenangi dan dikagumi. Semua anak percaya bahwa apa yang dilakukan keduanya pastilah bijaksana. Kathleen yang malang mau tak mau gemetar kakinya. Sesaat ia mengira bahwa seluruh sekolah telah mengetahui bahwa dialah yang berbuat begitu keji. Ia tak berani mengangkat muka. Mau rasanya lenyap begitu saja dari antara murid-murid yang lain. Jenny dan Joan yang duduk mengapitnya merasakan betapa Kathleen gemetar. Keduanya segera merapat untuk menenangkan anak malang itu. Untung sekali kedua Hakim tidak membicarakan perkara itu secara berkepanjangan. Elizabeth masih juga berdiri. Pembicaraannya belum habis. Ia menunggu sampai anak-anak tenang, lalu berkata lagi, "Tak banyak lagi yang ingin kukatakan. Aku hanya ingin meminta maaf sedalam-dalamnya pada kalian akan apa yang kukatakan minggu lalu. Aku berjanji bahwa kelak aku akan selalu berhati-hati, dan baru setelah yakin benar aku akan menuduh seseorang. Robert sungguh penuh pengertian tentang kesalahanku ini." Elizabeth duduk. William sudah mengangkat palu untuk membubarkan Rapat waktu Robert berdiri. Mukanya berseri, matanya bersinar-sinar. Sungguh sangat berbeda dengan Robert yang minggu lalu diadili oleh Rapat! "Bolehkah aku berkata sesuatu, William?" tanyanya. "Begini, Elizabeth telah mengundurkan diri dari anggota tim lacrosse untuk memberiku kesempatan terpilih menjadi anggota tim. Itu dilakukannya untuk menebus kesalahannya karena minggu lalu ia merasa telah menuduhku secara keliru. Aku berpikir tindakannya itu sungguh sangat baik, dan aku ingin agar seluruh sekolah mengetahuinya." "Hidup Elizabeth!" seseorang berseru. Semua anak merasa bahwa tindakan Elizabeth sungguh tepat dan adil. Elizabeth sendiri merasakan perasaan hangat ini, dan ia sungguh-sungguh berbahagia. Rapat Besar bubar. Anak-anak keluar untuk melakukan apa saja sesuai kegemaran mereka, dalam waktu setengah jam, sebelum makan malam. Joan menulis surat untuk ibunya. Jenny menyetel gramofon, lalu menggoyang-goyangkan badannya dengan kocak di tengah ruangan, membuat yang ada di situ tertawa ter-gelak-gelak. Elizabeth berlatih musik di salah satu ruang latihan musik. Robert membaca buku tentang kuda. Kathleen sibuk dengan alat menjahitnya. Ia telah menghabiskan seluruh uang sakunya untuk membeli dua tempat saputangan untuk disulam. Dan kini ia mulai menyulam tempat sapu tangan tersebut. Bila selesai nanti, sebuah akan diberikannya pada Elizabeth, yang lain untuk Jenny. Rita bilang bahwa sungguh mungkin menebus kesalahan seseorang dengan berbuat kebaikan. Dan kini Kathleen berharap bisa berbuat kebaikan, membuatkan tempat saputangan bagi teman-temannya itu. "Kami belajar banyak sekali, di samping pelajaran sekolah, di Sekolah Whyteleafe ini," batin Kathleen sementara ia menjahit. Dan Kathleen memang benar! 20. Pertandingan Lacrosse Hari sabtu tiba, cuaca cerah. Rumput-rumput berkilau oleh tetesan embun. Tetapi semua lenyap ketika matahari muncul, dan semua orang setuju bahwa hari itu hari yang sangat sempurna bagi pertandingan lacrosse. Elizabeth berusaha keras untuk ikut merasa gembira karena hari itu begitu cerah. Sungguh beruntung Robert. Dan sungguh kecewa dia. Rasanya tak adil. Sabtu yang lalu ia punya kesempatan untuk main, tetapi hari hujan. Sabtu ini bukan kesempatannya, tapi hari begitu cerah. "Yah, salahmu sendiri, Elizabeth," katanya dalam hati. "Kalau kau tak melakukan ke-putusan konyol itu, kau yang bertanding hari ini." Didekatinya Robert waktu dilihatnya anak itu. "Senang sekali melihat hari ini begitu cerah untukmu, Robert," katanya. Robert melihat padanya dan tahu bagaimana perasaan hatinya. "Alangkah senangnya bila kau juga main," kata Robert. "Tetapi tak apalah. Masih ada kesempatan lain bagimu " Hari cerah terus. Mereka yang akan bertanding tampak begitu gembira, tapi juga khawatir. Nora yang juga ikut main mengatakan bahwa tim Uphill belum pernah dikalahkan oleh Whyteleafe. "Kalau saja kali ini kita bisa mengungguli mereka, sekali ini saja!" kata Nora. "Tetapi kudengar tim mereka malah makin kuat. Kata Eileen tim itu belum pernah kalah semester ini. Mereka sungguh luar biasa. Mudah-mudahan setidaknya kita bisa mencetak satu gol." "Oh, Nora, kita harus lebih banyak lagi mencetak gol," kata Peter. Peter anak yang kuat, langsing namun berotot. Peter bisa berlari cepat, dan ia penangkap bola yang baik. "Kita harus berusaha semaksimal mungkin!" "Ya, kita harus berusaha keras!" kata Robert. Pagi itu terasa berjalan lambat. Waktu makan siang tiba. Anggota tim tak bisa makan dengan santai, sebab mereka terlalu tegang. Elizabeth mengalami perasaan seperti itu Sabtu yang lalu. Oh, betapa senangnya kalau kali ini ia pun ikut! Ia sangat kecewa. Tetapi ia juga bangga sebab bisa mengalahkan kepentingan dirinya sendiri, demi keadilan, dengan memberikan tempatnya pada Robert. Sinar matahari masuk lewat jendela. Hari ini tetap cerah! Hari yang sangat menyenangkan untuk bertanding. Sesak kerongkongan Elizabeth. Memang membanggakan bisa bersikap sangat adil-tapi kebanggaan itu tidak mengurangi kekecewaan di hatinya. Joan melihat wajahnya dan meremas tangannya. "Jangan bersedih, Elizabeth," kata Joan. Elizabeth mencoba untuk bersikap riang. Kemudian dilihatnya sesuatu terjadi di meja di dekat mereka. Beberapa anak datang mendekat dan ribut berbicara. Ada apa? "Peter! Ia sakit!" kata Joan. "Lihat. Betapa pucatnya dia. Mungkin ia akan muntah. Oh, aku ingat, waktu sarapan tadi ia juga tampak tak begitu sehat." Peter bergegas keluar ruangan, dibantu oleh Harry. Mukanya pucat. Pak Johns ikut bergegas keluar. Pak Warlow melihat arlojinya. Ia berharap Peter segera sehat kembali, sebab dua puluh menit lagi bus yang menjemput tim lacrosse akan datang. Lima menit kemudian Pak Johns masuk, dan mengatakan sesuatu pada Pak Warlow. Pak Warlow tampak sangat kecewa. "Kenapa Peter?" tanya John yang kebetulan berada satu meja dengan Pak Warlow. "Sakit perut," kata Pak Johns. "Memang sering kambuh. Dan kali ini agak berat. Ibu Asrama meyuruhnya tidur di Sanatorium." "Astaga!" seru John. "Jadi dia tidak bisa main?" "Tidak," kata Pak Warlow. "Sungguh sial. Peter salah seorang pemain terbaik kita. Kita harus mencari penggantinya." Berita itu segera tersebar ke seluruh ruang makan. Semua merasa kecewa, sebab Peter memang pemain yang baik. Tetapi kemudian, dari mulut ke mulut terdengar satu nama. Elizabeth. "Biar digantikan Elizabeth saja!" "Bagaimana kalau diganti Elizabeth?" "Tidak bisakah Elizabeth dipasang? Ia menyerahkan tempatnya pada Robert." "Ya," Pak Warlow melihat buku catatannya. "Sesungguhnya aku merencanakan untuk memasang anak lain, tetapi karena Elizabeth pantas diberi kesempatan, baiklah, Elizabeth akan menggantikan Peter." Jantung Elizabeth bagaikan melonjak karena kegirangan. Ia tak percaya pada berita yang begitu bagus itu. Wajahnya jadi merah seketika, matanya bersinar-sinar. Ia menyesal bahwa Peter tak bisa main, tetapi Peter telah ikut main dalam sekitar dua belas pertandingan. Dan kini dia, Elizabeth Allen, akan ikut main! "Hidup Elizabeth!" beberapa sahabatnya bersorak, ikut bergembira karena Elizabeth tampak senang. Semua tahu bahwa Elizabeth secara sukarela telah memberikan tempatnya pada Robert, dan kini semua merasa ikut gembira karena perbuatan tak mementingkan diri sendiri itu kini mendapat balasan yang setimpal. Elizabeth beberapa saat tak bisa berkata-kata karena gembiranya. Joan menepuk punggungnya, Jenny hanya meringis. "Selalu ada saja yang terjadi padamu, Elizabeth," kata Jenny. "Kau pantas menerima keberuntungan ini!" "Elizabeth! Selamat, ya!" teriak Robert dari pojok meja sana. "Kita akan bermain bersama-sama dalam pertandingan pertama kita! Bagus sekali!" Elizabeth tak bisa makan lagi. Disingkirkannya piring pudingnya. "Kalau aku makan juga, maka aku akan sakit seperti Peter," katanya. "Kalau begitu jangan kaumakan," kata Nora. "Kalau kau juga sakit takkan ada lagi yang menggantikanmu!" Elizabeth bergegas ke kamarnya untuk berganti pakaian olahraga. Ia menyempatkan diri menjenguk Peter di Sanatorium dengan membawakannya sebuah buku. "Sayang sekali, Peter," katanya. "Mudah-mudahan kau segera sembuh. Nanti akan kuceritakan jalannya pertandingan padamu." "Mainlah sebaik mungkin," kata Peter yang masih pucat. "Cetaklah gol sebanyak mungkin! Selamat bertanding!" Elizabeth berlari lagi, berkumpul dengan teman-temannya. Hatinya bagai bernyanyi terus. Begitu gembira dia! Semua orang tertawa padanya, semua orang senang bahwa akhirnya ia bisa ikut. Digandengnya tangan Robert. "Duduklah di dekatku nanti, di bus," kata Elizabeth. "Hanya kita berdualah yang belum pernah bertanding. Oh, aku sungguh senang, Robert, tetapi sedikit gugup juga." "Kau gugup?" Robert tertawa. "Aku tak percaya. Masa anak galak seperti kamu bisa gu-gup!" Tetapi Elizabeth memang gugup. Ia khawatir akan mengecewakan teman-temannya. Ia harus berusaha bermain sebaik mungkin! Oh, apa jadinya nanti kalau ia bermain buruk. Kalau ia tak bisa menangkap bola, wah, sungguh ngeri! "Untung tak ada yang datang menonton dari Whyteleafe," pikir Elizabeth mencoba menghibur hatinya. "Kalau aku bermain buruk takkan ada yang melihat." Dipandangnya Robert yang duduk di sampingnya. Anak itu tampak tabah, gagah, dan kuat. Sama sekali tidak gugup. Senang rasanya bila bermain dengan anak setabah itu. "Tak tahu aku bagaimana dulu aku bisa membencinya," pikir Elizabeth. "Agaknya bila kita membenci seseorang maka yang kita lihat adalah yang terburuk saja dari orang itu, sebab memang itulah yang kita cari. Sebaliknya bila kita menyukai seseorang maka orang tersebut akan tersenyum pada kita dan hanya menampakkan yang terbaik saja pada kita. Aku harus mencoba memberi kesempatan pada siapa saja. Akan kucoba untuk menyukai siapa saja agar siapa pun akan menunjukkan yang terbaik dari dirinya padaku." Bus segera tiba di Sekolah Uphill, yang seperti namanya terletak di puncak sebuah bukit terjal. Lebih besar dari Sekolah Whyteleafe, mereka memiliki murid lebih banyak sehingga memiliki banyak pilihan untuk anggota tim lacrosse-nya. Tim Whyteleafe melihat tim tuan rumah, dan mereka merasa bahwa tuan rumah benar-benar kuat. Kedua tim sudah berada di lapangan. Saling berhadapan. Peluit berbunyi, dan pertandingan pun mulai. Terbukti tim Uphill memang kuat, tapi tim Whyteleafe memiliki beberapa orang pelari cepat. Mereka kehilangan Peter-pelari tercepat Whyteleafe-tapi baik Robert maupun Elizabeth seperti mempunyai sayap di kaki mereka, berlari begitu cepat. Tak pernah mereka berlari secepat itu sebelumnya. Kedua anak itu merasa mendapat kehormatan untuk bisa bermain dalam pertandingan besar itu, karenanya mereka bermain sebaik mungkin. Rasa gugup Elizabeth segera hilang setelah pertandingan mulai. Ia lupa pada dirinya, yang dipikirkannya hanyalah pertandingan yang sedang dihadapinya. Sering Robert dan Elizabeth saling melempar bola. Mereka telah berlatih beberapa minggu sehingga sanggup melakukannya dengan cepat dan tepat. Tak sekali pun bola mereka jatuh. Setiap lemparan dapat ditangkap dengan tepat. "Bagus, Robert! Bagus, Elizabeth!" seru Pak Warlow dari pinggir lapangan. Ia ikut mengantarkan tim Whyteleafe dalam perlawatan ini. "Cepat! Cepat! Tembak, Elizabeth!" Elizabeth melihat gawang tak jauh di depannya. Dilemparkannya bola dengan sekuat tenaga. Bola lurus langsung menuju gawang. Tetapi penjaga gawang lawan sangat gesit. Bola ditampar terpental ke luar. "Percobaan bagus, Elizabeth!" seru Pak Warlow. Tim Uphill membawa bola. Cepat sekali menuju gawang Whyteleafe, bola dilemparkan dari pemain ke pemain lain sementara mereka berlari cepat. Kemudian bola diterima kapten mereka. Sebuah tembakan hebat... gol! Eileen, penjaga gawang Whyteleafe, sia-sia saja menangkap bola yang datang begitu cepat itu. "Satu-kosong untuk Uphill!" seru wasit. Peluit berbunyi lagi. Permainan mulai lagi. Baik Robert ataupun Elizabeth bertekad untuk menjaga bola sebaik-baiknya, jangan sampai terebut oleh lawan. Elizabeth membawa bola di tongkat lacrosse-nya. Ia berlari cepat ke depan. Ia sedang akan melontarkannya pada Robert yang selalu berada di dekatnya, saat tiba-tiba seorang pemain lawan menyerbunya. Elizabeth tersandung dan jatuh. Sekejap ia telah berdiri lagi tetapi bola telah dirampas lawan. Seorang gadis Uphill membawa bola. Kencang sekali larinya. Dilemparkannya pada kawannya yang juga lari ke arah gawang. "Tembak! Tembak!" seru penonton dari Uphill. Bola melesat ke gawang Eileen. Dan masuk. "Dua-nol untuk Uphill!" kata wasit, dan kemudian ia meniup peluit. Waktu istirahat. Para pemain berhamburan untuk berkumpul mengerumuni pelatih masing-masing, sambil makan dengan rakus potongan jeruk yang disediakan, rasanya manis-masam, menyegarkan! "Kalian harus berusaha lebih keras!" kata Pak Warlow, menasihati timnya. "Robert, kau harus selalu berada dekat Elizabeth. Elizabeth, cepat lontarkan bola pada Robert bila kau diserang. Kalian berdua berlari bagaikan angin hari ini. Langsung tembak ke arah gawang kapan saja ada kesempatan. Nora, kau harus lebih sering memberi umpan pada Elizabeth. Mungkin ia cukup cepat untuk mengalahkan anak Uphill yang bertugas membayanginya." Penuh perhatian anak-anak Whyteleafe mendengarkan. Mereka agak kecewa, sudah kalah dua-nol! Peluit berbunyi. Pertandingan mulai lagi. Nora mendapat bola, lalu segera melontarkannya pada Elizabeth, mengikuti petunjuk pelatih tadi. Robert berada di dekat Elizabeth. Dengan tepat ditangkapnya lontaran dari Elizabeth, yang langsung berlari ke depan. Robert kembali melontarkan bola ke arah Elizabeth. Elizabeth menangkapnya dan terus berlari ke arah gawang lawan. Dilontarkannya bola dengan sekuat tenaga, kiper lawan mengulurkan tongkat lacrosse-nya, bola membentur tongkat jaring tadi, mental dan... masuk! "Kedudukan sekarang dua-satu!" seru wasit, "dua-satu masih untuk kemenangan Uphill!" Elizabeth begitu gembira, la tak bisa diam. Lari ke sana kemari walaupun bola tak di dekatnya. Nora mendapat bola. Dikirimkannya ke Robert. Robert menerima bola tersebut, membawa lari, melemparkannya kembali ke Nora. Nora lari ke arah gawang. Melontarkan bola dan masuk! Hampir tak bisa dipercaya! Sebuah gol manis lagi! "Dua gol untuk Whyteleafe!" seru wasit. "Dua-dua dan waktu tinggal sepuluh menit lagi!" Anak-anak Sekolah Uphill yang menonton di tepi lapangan bersorak-sorak ramai, "Ayo, Uphill, serang! Serang! Ayo!" Didorong oleh sorak-sorai ini tim Uphill lebih menggebu-gebu lagi menyerbu. Mereka membawa bola. Mereka menyerbu ke arah gawang. Mereka menembak! Tetapi Eileen dengan cekatan menangkap bola tersebut melemparkannya kembali ke tengah lapangan. Selamat! Dua-dua. Dan waktu tinggal tiga menit. Ayo, Uphill! Ayo, Whyteleafe! Tinggal tiga menit! 21. Akhir Pertandingan "Tinggal tiga menit, Robert!" seru Elizabeth terengah-engah. "Kita harus berusaha lebih keras. Jangan sampai mereka mencetak gol lagi!" Bola cepat melesat dari satu pemain ke pemain lainnya. Elizabeth lari untuk menyergap seorang pemain lawan yang larinya sangat cepat. Dibenturkannya tongkatnya pada tongkat lawan itu. Bola meloncat ke udara. Elizabeth mencoba menangkapnya, tetapi bola jatuh ke tanah. Disambarnya dengan jaring tongkatnya, dan dibawanya lari dengan cepat. Tetapi seorang anggota regu lawan menyergapnya. Walaupun Elizabeth mencoba menghindar, tak ada gunanya. Ia terjatuh, bola lepas. Anak Uphill langsung menyambarnya dan melesat ke arah gawang Whyteleafe. Dilemparkan ke anak Uphill lainnya. Dikirimkan kembali ke seorang kawan mereka dekat gawang. Dan anak itu langsung menembak ke arah gawang! Deras sekali laju bola. Tampaknya pasti masuk. Tetapi Eileen langsung membuang diri, meluncur tepat untuk menangkap bola tersebut. Eileen terjatuh keras, namun gawangnya selamat. Dan bola dilempar ke arah seorang anak Whyteleafe. Anak tersebut segera lari ke arah gawang lawan. "Lemparkan! Lemparkan!" teriak Elizabeth, meloncat ke sana kemari. "Awas! Lawan di belakangmu! Lemparkan!" Anak Whyteleafe itu melepaskan bolanya tepat pada saat ia diserang lawan. Bola langsung menuju Elizabeth. Ia menangkapnya dan lari secepat angin diikuti oleh seorang anak Uphill yang terus membayanginya. Elizabeth melontarkan -bola pada Robert. Robert diserang lawan. Robert melemparkan bola ke Elizabeth yang telah berlari maju. Gawang sudah dekat. Apakah ia harus menembak langsung? Mungkin akan masuk. Dan ia akan memenangkan Whyteleafe! Tetapi Robert telah berlari maju, dan kini lebih dekat dengan gawang! Ia harus melemparkannya pada Robert! Dan tanpa ragu-ragu Elizabeth melakukannya. Robert menangkap bola dengan cermat. Langsung menembak ke arah gawang. Penjaga gawang berusaha menangkap bola itu. Tetapi bola melewati tongkat jaringnya, dan bersarang di sudut gawang! Gol untuk Whyteleafe! Dan hampir bersamaan terdengar peluit berbunyi. Pertandingan selesai! "Tiga gol untuk Whyteleafe!" seru wasit. "Tiga-dua! Untuk kemenangan Whyteleafe!" Kemudian semua penonton pendukung Uphill juga bersorak ramai menyambut kemenangan lawan mereka. Sebuah pertandingan yang cukup menarik. Semua pemain telah bermain sebaik-baiknya. "Oh, hampir saja terlambat, Robert," kata Elizabeth terengah-engah kehabisan napas. "Tepat sekali tembakanmu tadi!" "Tapi tak mungkin itu kulakukan kalau kau tidak begitu tepat melemparkannya padaku," Robert juga kehabisan napas, harus bertopang pada tongkat lacrosse-nya. Mukanya merah padam. Badannya basah oleh keringat. "Gila, Elizabeth! Kita menang! Coba pikirkan itu! Kita belum pernah mengalahkan Uphill. Oh, aku senang sekali kau juga mencetak satu gol!" Kedua tim meninggalkan lapangan. Mandi. Sungguh segar terasa air dingin, sebab semuanya begitu kepanasan. Kemudian semua berjabat tangan. Kapten tim Uphill menepuk punggung Eileen, kapten tim Whyteleafe. "Bagus sekali pertandingan tadi," katanya. "Ini pertama kali kami kalah dalam semester ini. Selamat, ya!" Mereka dijamu acara minum teh. Elizabeth tak begitu banyak makan siang tadi. Kini ia melahap apa saja yang terhidang. Roti tawar dengan mentega dan selai, macam-macam kue, dan sepotong kue cokelat yang sangat besar. Semua makan dengan lahap. Semua piring besar berisi roti-mentega dan kue kismis dengan cepat licin tandas. "Aku ingin sekali segera pulang ke Whyteleafe," kata Robert kepada Elizabeth, "untuk segera menceritakan berita baik ini. Oh, betapa senangnya, akhirnya kau bisa ikut main. Aku bisa main saja senangku sudah tak keruan. Apalagi ternyata kerja sama kita cukup bagus. Mudah-mudahan kita masih bisa bermain bersama untuk banyak pertandingan lagi." "Kau mencetak gol kemenangan itu begitu bagus," kata Elizabeth dengan riang. "Oh, aku lelah sekali. Tetapi juga senang sekali! Rasanya aku tak bisa berdiri lagi. Kakiku begitu berat!" Mereka memang kecapekan, tetapi mereka masih bisa sibuk bercakap-cakap, tertawa, dan bercanda sambil duduk di ruang tunggu, menunggu kedatangan bus mereka. Oh, betapa senangnya bisa pulang membawa kemenangan! Semua naik ke bus dan melambaikan tangan pada anak-anak Uphill yang juga bersorak-sorai meriah sampai bus keluar dari sekolah itu. Tak berapa lama kemudian anak-anak telah duduk kelelahan di dalam bus. Muka mereka masih merah padam dan kaki mereka masih pegal-pegal karena terlalu banyak berlari. Hampir tak ada yang berbicara lagi. Tetapi begitu mendekati Sekolah Whyteleafe, mereka duduk tegak, tak sabar untuk segera melihat sekolah mereka, tak sabar untuk melihat teman-teman mereka yang sudah pasti menunggu. Selama setengah jam Joan dan Jenny serta Kathleen memang telah menunggu-nunggu. Dan begitu terdengar suara bus datang, mereka bersorak berlari ke pintu gerbang, diikuti oleh puluhan anak lainnya. Memang sudah menjadi kebiasaan Sekolah Whyteleafe untuk menyambut dengan meriah kedatangan tim yang baru bertanding di tempat lawan. Tim lacrosse itu juga bersorak-sorai liar saat bus mereka masuk. "Kita menang! Menang! Tiga-dua! Tiga-dua!" "Kita menang! Hebat sekali pertandingan tadi!" "Inilah pertama kalinya Uphill kalah!" "Tiga-dua! Tiga-dua!" Bagaikan gila anak-anak Whyteleafe bersorak-sorak. Mereka menghambur mengerumuni bus, membantu anggota tim yang sudah hampir tak kuat lagi melangkah. "Hidup Whyteleafe! Hidup Whyteleafe!" semua anak berteriak-teriak. "Ayo cepat, ceritakan pada kami!" Tim lacrosse diarak menuju ruang senam. Para pimpinan sekolah ikut datang untuk mendengarkan peristiwa yang menggembirakan itu. Pak Warlow berpidato beberapa saat bahwa betapa semua anggota tim telah bermain sangat baik. Kemudian John bertanya. "Siapa yang mencetak gol?" "Elizabeth, Nora-dan Robert!" kata Pak Warlow. "Gol-gol yang indah. Gol Robert sungguh mendebarkan hati, sebab beberapa detik saja terlambat maka waktu akan habis." "Hidup Nora! Hidup Elizabeth! Hidup Robert!" gemuruh anak-anak berteriak. Ketiga anak itu berseri-seri bangga. Elizabeth hampir tak bisa menahan tangisnya. Betapa tidak bangga, pada pertandingan pertamanya ia telah menyumbangkan satu gol! Hampir tak bisa dipercaya. Nora telah sering bertanding, maka ia hanya tersenyum-senyum saja. Tetapi bagi Robert dan Elizabeth tentu saja sambutan meriah itu sungguh luar biasa. Elizabeth menggandeng tangan Robert dan berkata, "Aku gembira kita bisa bermain bersama! Dan betapa senangnya aku bisa menyumbangkan sesuatu untuk Whyteleafe, walaupun hanya berbentuk sebuah gol. Waktu pertama kali ke sini, aku sangat membenci sekolah ini. Tetapi kini aku menyukainya. Tunggulah sampai kau di sini satu-dua semester. Kau akan menyukainya juga." "Aku bahkan sudah menyukainya sekarang," kata Robert. "Dan aku bertekad untuk menyumbangkan tidak hanya gol-gol dalam pertandingan, tetapi lebih dari itu!" Malam itu dihidangkan makanan khusus bagi anggota tim. Sosis panas muncul di meja makan mereka. Masing-masing anggota tim memperoleh dua buah sosis. Betapa lezatnya! Lebih dari itu, semua anak yang kebetulan mempunyai permen membagikannya pada anggota tim, hingga pada saat lonceng untuk tidur berbunyi, perut Robert dan Elizabeth sudah penuh sesak. Kathleen merasa gembira seperti yang lain juga. Mukanya berseri-seri sewaktu membawa sekaleng permen untuk Elizabeth. Elizabeth memandangnya keheranan. "Wah, kau sungguh berbeda," katanya. "Matamu selalu tersenyum, rambutmu berkilau. Kau berjalan seolah menari, dan bintik-bintik di wajahmu telah lenyap!" Kathleen tertawa. Ia telah menepati janjinya pada dirinya sendiri, tak makan permen sebutir pun. Ia tak lagi mementingkan dirinya sendiri, selalu ikut bergaul dan bercanda dengan yang lain. Kini ia berjalan dengan kepala diangkat, dan senyumnya siap terpancar. Kini ia merasa heran mengingat betapa dulu ia bisa melakukan hal-hal yang bersifat nakal. Ia telah mengembalikan buku Elizabeth yang dahulu disembunyikannya, setelah membersihkannya dengan hati-hati. Dengan pipi merah ia mengembalikan buku-buku tersebut. Hampir saja Elizabeth meluap amarahnya bila mengingat betapa ia harus menderita karena ulah Kathleen. Tetapi ia cepat menguasai diri dan mengucapkan terima kasih. Kathleen dengan tekun dan rajin mengerjakan tempat saputangannya dengan sulaman halus. Ia membuat dua buah. Masing-masing bertuliskan kata SAPUTANGAN. Sebuah kata yang cukup panjang untuk disulamkan. Yang sebuah diberinya gambar bunga-bunga biru kecil, untuk Elizabeth. Yang sebuah lagi mawar merah, untuk Jenny. Tepat pada saat Kathleen menyelesaikan sulamannya, Jenny datang dan melihatnya bekerja di ruang bermain itu. "Wah, alangkah senangnya kalau aku juga ikut bertanding," Jenny mulai berkata, dan menjatuhkan dirinya pada sebuah kursi. "Apa saja mau kulakukan asal diberi hadiah sosis panas untuk makan malam. Hai, Kath, apa yang sedang kaukerjakan? Coba lihat." Jenny membungkuk memperhatikan pekerjaan Kathleen. "Waduh," katanya. "Betapa halusnya sulamanmu! Dan betapa indahnya bunga-bunga mawar ini. Alangkah senangnya kalau aku bisa menyulam seindah ini. Aku ingin memiliki tempat saputangan." "Kau bisa memilikinya," kata Kathleen. "Ini memang untukmu. Dan yang ini untuk Elizabeth." "Wah! Tetapi untuk apa?" Jenny sangat heran. "Sekadar untuk menghilangkan rasa kesalmu karena aku dulu telah mempermainkanmu," Kathleen tersenyum. "Nah, ini punyamu, Jenny, gunakan sebagai tempat saputanganmu. Aku gembira bisa memberikannya padamu." Jenny tampak sangat berterima kasih. Diterimanya pemberian Kathleen tadi. "Oh, kau ternyata sungguh baik hati!" katanya. "Terima kasih banyak! Oh, itu Elizabeth. Hai, Elizabeth! Lihat, kaudapat hadiah bagus nih!" Segera keduanya asyik mengagumi pemberian indah tersebut. Anak-anak lain yang datang kemudian juga memuji-muji keindahannya. Kathleen merasa sangat bangga mendengar kata-kata mereka. "Rasanya lebih menyenangkan mengerjakan sesuatu untuk kesenangan mereka daripada untuk mencelakakan mereka," batin Kathleen. "Tetapi rasanya aku tak akan pernah cukup berani untuk mengakui kesalahanku di hadapan seluruh sekolah. Kini aku lebih baik hati, lebih manis pula. Tetapi aku tetap penakut." 22. Elizabeth Mendapat Kesulitan Lagi Waktu-waktu berlalu dalam suasana bahagia. Dengan tak adanya pertentangan antara Kathleen dan yang lain, serta antara Robert dan Elizabeth, keadaan jadi lebih menyenangkan. Elizabeth belajar dengan rajin, dan dengan mudah berada di puncak urutan peraih angka terbaik di kelasnya. Robert kadang-kadang nomor dua, kadang-kadang nomor tiga. Tetapi ini sudah membuat Bu Ranger girang, sebab sesungguhnya Robert bukanlah anak pandai, jadi keberhasilannya menandakan bahwa anak itu benar-benar bekerja keras. Kathleen juga belajar sebaik-baiknya, dan tak pernah membantah secara keterlaluan seperti dulu. Khususnva pada mata pelajaran bahasa Prancis ia memperoleh kemajuan pesat, sampai Mam'zelle suatu hari menyatakan kegembiraannya. "Anak di kelas ini yang mencapai kemajuan pesat adalah Kathleen," kata Mam'zelle. "Ah, dulu kukira dia bodoh sekali. Dulu aku sering marah padanya. Tetapi kini karangan bahasa Prancisnya terbaik. Dan ia mengucapkan huruf 'r' dalam bahasa Prancis tepat seperti yang semestinya. Tidak seperti kau R-R-R-Robert! Kau takkan pernah mengucapkan huruf 'r' secara tepat!" Robert tersenyum. Kathleen tersipu-sipu, tetapi merasa sangat senang. Ia belum pernah dipuji dalam kelas. Ia jadi heran juga mengapa dahulu ia selalu memperoleh nilai buruk. "Kekuatan otakku agaknya makin baik juga." pikirnya. "Dan aku kini menyukai pelajaranku. Dulu aku bosan sekali pada pelajaran. Mungkin aku bisa terhindar dari kedudukan juru kunci. Wah, pasti hebat! Ibu akan sangat senang bila peringkatku setidaknya mendekati peringkat atas." Ia memang khusus belajar lebih rajin pada pelajaran Mam'zelle. Ini suatu perubahan besar bagi Kathleen. Dulu setelah Mam'zelle memarahinya, ia langsung tak suka pada bahasa Prancis, termasuk gurunya, dan sembarangan saja belajar. Tapi kini segalanya berubah. Misalnya saja, Kathleen kini tampak lebih sehat. Ia sering berkuda, berjalan-jalan, dan bahkan menawarkan diri untuk membantu John, Elizabeth, dan Peter di kebun sekolah. "Astaga," kata John. "Tak pernah kusangka kau punya pikiran untuk membantu kami. Apakah kau mengerti tentang berkebun?" "Tak banyak," jawab Kathleen secara jujur. Tiga minggu sebelumnya mungkin ia akan berdusta dan membual serta mengatakan bahwa ia tahu banyak tentang berkebun. "Tetapi, John, pasti aku bisa membantu sedikit-sedikit, bukan?" "Ya, dorong gerobak isi sampah itu ke tempat sampah, tuangkan di sana dan ambil sampah berikutnya," kata John. "Pekerjaan itu terlalu berat bagi Peter." Peter sangat ingin membantu John. Dan John senang anak kecil itu menaruh perhatian pada pekerjaan di kebun sekolah. Peter sering bercerita pada John bahwa Robert membawanya berkuda. John lama-lama tertarik juga untuk mencoba. "Aku harus mencobanya sekali-sekali," kata John. "Walaupun dulu aku tak punya minat sama sekali. Memang waktu pertama kali masuk Whyteleafe ini aku sering berkuda, namun kemudian aku lebih tertarik berkebun, dan jadi lupa segala-galanya. Tetapi besok aku akan mencobanya, Peter." Peter berbicara tentang hal itu pada Robert. Dan Robert setuju. Ia mengatur sehingga keesokan harinya John, Peter, Elizabeth, Kathleen, dan dia sendiri bisa berkuda bersama- menjelajahi padang rumput, perbukitan, di bawah cahaya pucat matahari musim dingin. Ternyata John sangat menyukainya! "Aku akan ikut lagi lain waktu," kata John melompat turun dari pelananya. "Sungguh menyenangkan! Astaga, Kathleen, pipimu merah sekali! Padahal dulu kau begitu pucat.. Ngomong-ngomong, bisakah kau membantuku di kebun akhir minggu ini?" "Ya, tentu," kata Kathleen gembira. Senang sekali dimintai bantuan oleh seseorang. Ia kini merasa betapa indahnya mempunyai sahabat. Bila kita membantu seorang sahabat, maka sahabat kita itu pasti akan membalas membantu kita suatu hari. Dengan begitu akan lebih menyenangkan bila kita punya sahabat banyak. "Benar juga kata William dan Rita," pikir Kathleen. "Dulu aku iri pada Jenny, dan kukatakan dia sangat beruntung punya sahabat begitu banyak. Dan kukatakan hanya karena aku tak punya nasib baik sajalah maka aku tak punya sahabat. Tetapi kini karena aku bersikap manis, banyak peristiwa manis terjadi padaku. Tepat sekali kata Rita. Diri kita sendirilah yang menentukan nasib kita. Aku selalu mengeluh, menggerutu tentang apa saja, menyalahkan nasibku bila aku tak memperoleh apa yang kuinginkan. Tetapi begitu aku mengubah pribadiku, semuanya berubah! Sayang sekali tidak semua orang mengetahui hal itu." Elizabeth tekun sekali belajar musik, Pak Lewis sangat gembira atas kemajuannya. Ia dan Richard sekali lagi berlatih berduet. Anak laki-laki besar itu senang sekali berduet dengan gadis kecil yang lincah jarinya itu. Elizabeth juga suka pada Richard karena ia seorang pemusik luar biasa. "Bolehkah kita bermain duet dalam pertunjukan musik akhir semester nanti? Seperti dulu?" tanya Elizabeth. "Aku ingin sekali, Pak Lewis? Apakah kami akan cukup baik?" "Oh, ya," kata Pak Lewis. "Di samping itu Richard juga akan memainkan biolanya. Pernahkah kau mendengarkan dia memainkan lagu seperti yang ada pada piringan hitam, Elizabeth?" "Belum, belum pernah," kata Elizabeth. "Coba mainkan untukku, Richard." Richard segera mengambil biolanya. Kemudian anak laki-laki besar yang tampaknya selalu melamun itu, memainkan sebuah lagu yang amat indah untuk gurunya dan untuk Elizabeth. Mereka berdua terpesona mendengarkannya. "Oh, indah sekali," desah Elizabeth sewaktu lagu tersebut selesai. "Ingin sekali aku bisa memainkannya seindah itu. Bisakah aku belajar biola, Pak Lewis?" "Anakku sayang, hari-harimu sudah terlalu sibuk," kata Pak Lewis, tertawa. "Tidak, lebih baik kau belajar piano saja." "Tetapi Richard bisa belajar dua-duanya, piano dan juga biola," kata Elizabeth. "Iya, tetapi selain kedua kegiatan itu, ia tak mempunyai kegiatan lainnya," kata Pak Lewis. "Tak ada yang menyuruhnya mengerjakan sesuatu yang lain, jadinya ya lebih baik ia mengisi waktunya dengan kedua hal tadi. Tak akan ada orang yang menyuruh Richard menyiangi kebun, naik kuda lebih dari satu kali, memelihara tikus putih, dan sebagainya. Hanya satu pikirannya, musik." "Akan kubuat agar ia memikirkan hal lain," kata Elizabeth. "Ayolah ikut berlatih lacrosse besok, Richard. Kau belum merasakan betapa senangnya bermain begitu bagus sehingga terpilih untuk bermain dalam sebuah pertandingan penting." Tetapi Richard menolak ajakan itu. Memang pernah juga ia bermain dalam suatu permainan olahraga, tetapi permainannya buruk sekali. Bahkan si kepala batu Elizabeth tak sanggup membuat Richard meninggalkan musiknya. Elizabeth tak meneruskan usahanya. Dalam hati ia bangga terpilih bermain duet bersama anak luar biasa itu. "Suatu hari Richard akan menjadi seorang pemusik dan pengarang lagu yang terkenal," kata Elizabeth pada Jenny dan Joan. "Dan aku akan dengan bangga bisa menyatakan bahwa aku pernah bermain duet dengannya." Di pertunjukan akhir semester, akan dipentaskan juga sebuah drama. Anak-anak di kelas Elizabeth mendapat tugas untuk menulis skenario juga. Lama sekali mereka memikirkan ceritanya. Dan ketika garis besar cerita sudah mereka sepakati, mereka sampai pada pekerjaan berat yaitu menuangkan cerita tadi ke dalam naskah drama atau skenario. Ternyata Jenny dan Kathleen sangat pandai menulis naskah drama. Jenny pandai membuat dialog, Kathleen penuh khayalan untuk men-ciptakan berbagai suasana. Sebelum minggu itu lewat, kedua anak tersebut sudah menyusun naskah dramanya, dibantu oleh kritik positif dan negatif dari teman-teman mereka. Lucu juga melihat kedua anak yang tadinya bermusuhan kini bekerja sama begitu rukun. "Sungguh aneh melihat Jenny dan Kathleen, persis seperti aku dan Robert," batin Elizabeth. "Betapa tololnya kami bertengkar. Aku berjanji akan selalu menghindari pertentangan." Sungguh sayang mengucapkan hal itu. Sebab pada hari berikutnya terjadilah pertentangan antara Elizabeth dan John. Mereka berdua telah membuat tumpukan sampah yang kini telah menggunung. John berkata ia akan menyulutnya bila kebetulan ada waktu luang. Tetapi ketika ia mencari John untuk membakar sampah itu, ternyata John tak ada! "Ah, sialan," kata gadis kecil itu dalam hati. "Padahal aku ingin melihat api unggun itu. Yah, kalau dalam beberapa menit ini John tidak muncul, akan kunyalakan sendiri api unggun ini. John pasti tak keberatan." Seharusnya Elizabeth tahu bahwa John pasti merasa keberatan. Walaupun ia telah mempercayai Elizabeth untuk berbagai hal, untuk pembakaran sampah ia selalu mengerjakannya sendiri. Elizabeth mengambil sekotak korek api. Dinyalakannya selembar kertas, lalu disesap-kannya di antara tumpukan sampah. Api berkobar. Dan jadilah api unggun menyala dengan hebat! Besar sekali kobaran apinya. Asap biru menjulur ke atas dan meliuk-liuk mencapai gudang tua di dekat situ. Elizabeth meloncat-loncat dengan gembira. Ini bagus sekali! Rugi John tak segera datang. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesuatu. Angin meniup kobaran api unggun ke arah gudang! "Astaga! Mudah-mudahan saja gudang itu tidak terbakar!" seru Elizabeth terkejut. "Ya ampun! Benar-benar terbakar! Oh! John! John! Cepat! Di mana kau?" John berlari mendatangi. Ia sedang berada di sudut lain kebun itu, dan cepat-cepat datang waktu dilihatnya kobaran api dari kejauhan. Ketika dilihatnya jilatan api telah hampir mencapai gudang, ia juga sangat terkejut. "Elizabeth! Ambil pipa air!" teriaknya. Kedua anak itu berlarian mengambil pipa air, membuka gulungannya dan memasangnya di keran. John membuka keran, dan mengarahkan pipa air ke api unggun. Tak berapa lama api unggun tersebut padam, meninggalkan asap hitam mengepul. "Untuk apa kaunyalakan api unggun itu?" hardik John marah kepada Elizabeth. "Sungguh tolol kau! Apakah kau tidak tahu bahwa aku yang memimpin di kebun ini? Semuanya harus dilakukan dengan perintahku! Kalau terlambat tadi, gudang itu sudah terbakar!" "Jangan bicara begitu .padaku!" teriak Elizabeth marah. "Kau kan bilang kalau kau yang akan membakar tumpukan sampah itu. Dan kalau kaulakukan toh kejadiannya akan sama saja!" "Aku tidak setolol kau! Aku takkan mungkin membakar tumpukan sampah itu begitu saja di situ, dan pada saat angin bertiup ke arah gudang seperti ini! Aku akan membakarnya setelah angin berganti arah! Bukan hari ini! Kau tak ada urusan untuk membakarnya, mengerti?! Padahal semestinya tumpukan sampah itu akan jadi api unggun yang indah. Kau telah merusaknya! Kau hanya membuat repot saja. Aku tak mau kau membantu di kebun lagi!" "Oh!" air mata menggenang di mata Elizabeth. "Kau anak kejam! Kau mengusirku setelah begitu banyak yang kulakukan, setelah begitu lama aku membantumu!" "Kau tidak melakukan semua itu untukku!" tukas John. "Semuanya untuk keperluan sekolah. Pergilah, Elizabeth, aku tak ingin berbicara denganmu lagi." "Baiklah! Aku juga tak sudi kemari lagi!" seru Elizabeth sambil berlari pergi dengan marah. Tetapi setengah jam kemudian dalam hati Elizabeth berkata, "Kau kan telah berjanji takkan bertengkar lagi dengan siapa pun. Padahal memang hak John untuk marah padamu. Karena kalau api itu tidak segera dipadamkan, maka bisa membakar" gudang, menghabiskan semua alat-alat di dalamnya. Kau juga telah merusak api unggun indah yang telah ia rencanakan!" Dan di dalam hati John, juga terdengar sebuah suara berkata, "Elizabeth tak bermaksud buruk. Ia hanya kurang berpikir. Bukannya jahat. Ia pasti juga sangat kecewa karena api unggun itu tidak jadi. Dan kau tahu, ia telah banyak membantu di kebun ini. Bagaimana kalau ia benar-benar tidak mau datang lagi ke kebun ini? Rasanya takkan begitu menyenangkan!" "Akan kucari dia," akhirnya John memutuskan. Dan pada saat yang sama Elizabeth juga berpikir, "Akan kutemui John." Maka mereka berdua bertemu di tikungan jalan di kebun sekolah. Keduanya tampak malu-malu. Dan bersamaan mereka mengulurkan tangan. "Maaf, aku telah bersikap kasar padamu," kata John. "Aku juga. Aku sangat menyesal," kata Elizabeth. "Oh, John, padahal baru kemarin aku berjanji dalam hati untuk tidak bertengkar dengan siapa pun. Dan ternyata aku telah bertengkar denganmu!" "Kau akan selalu begitu," John tertawa. "Tetapi tak apa bila kau juga cepat-cepat menyesali tindakanmu. Sekarang, yuk kita menggali tanah, biar hati kita tenang kembali." Mereka berdua kembali ke kebun, bersahabat. Persahabatan memang takkan putus hanya oleh sebuah pertengkaran, bukan? 23. Kejutan bagi Joan Dua bulan dari semester Natal telah lewat. Rapat Besar telah diadakan tujuh kali. Dan yang kedelapan akan diadakan Jumat ini. Dalam Rapat nanti itu akan dipilih seorang Pengawas baru, sebab salah seorang Pengawas lama, George, terpaksa harus tinggal di Sanatorium selama satu-dua minggu karena flu. "Bagaimana cara memilih Pengawas baru?" tanya Robert. "Belum ada Pengawas baru yang dipilih sejak aku ada di sini. Semula kukira masa jabatan Pengawas satu bulan. Tetapi sudah dua bulan kita memiliki Pengawas yang sama." "Ya, sebab Pengawas yang ada cukup bagus sehingga kita tidak menginginkan mereka diganti," kata Joan. "Kalau kita menghendaki, setiap bulan kita bisa memilih Pengawas baru. Tetapi tak ada gunanya memilih Pengawas baru bila kita puas dengan Pengawas yang lama. Kukira pada saat ini semua Pengawas kita sangat bagus." "Benar," kata Elizabeth. "Tadinya kukira jadi Pengawas sungguh tidak enak, harus menaati semua peraturan dan menjaga agar anak lain menaati juga peraturan itu. Tetapi kini aku berubah pendapat. Kurasa pasti menyenangkan bila kita dipercayai oleh begitu banyak anak, dan menjadi tempat meminta tolong dan nasihat." "Memang orang yang akan menjadi cukup berarti di dunia ini adalah mereka yang bisa dipercayai orang lain serta bisa dimintai pertolongan," kata Jenny. "Dan kita mendapat pendidikan untuk itu di Whyteleafe ini. Suatu hari kelak aku ingin sekali menjadi seorang Pengawas. Tetapi seperti kau, Elizabeth, rasanya keinginan tersebut takkan mungkin terkabul." "Tetapi belum ada yang menjawab pertanyaanku," kata Robert. "Apa pertanyaanmu tadi?" tanya Elizabeth. "Aku bertanya bagaimana Pengawas dipilih," kata Robert. "Mereka dipilih oleh kita, oleh Juri, oleh Hakim, atau oleh siapa?" "Mula-mula seluruh sekolah yang memilih," kata John. "Tiap anak menulis di atas kertas nama anak yang mereka anggap baik untuk menjadi Pengawas, lalu ditutup rapat, dan diserahkan pada Juri." "Lalu bagaimana?" tanya Robert. "Lalu Dewan Juri memilih tiga nama yang mendapat suara terbanyak," kata John. "Kemudian setiap anggota Dewan Juri itu memilih satu nama yang terbaik menurut mereka masing-masing. Hasil pemilihan mereka diserahkan pada Hakim-William dan Rita. Kedua Hakim itu lalu memilih satu nama dari hasil pilihan Dewan Juri, dan terpilihlah seorang Pengawas baru." "Begitu," kata Robert. "Tampaknya memang adil, semua memperoleh kesempatan untuk menyatakan pendapat. Itulah salah satu yang kusukai di Whyteleafe ini. Semua diberi kesempatan berbicara." "Aku tak bisa berpikir siapa yang akan kupilih," kata Jenny. "Sulit sekali menentukan." "Aku juga," Joan merenung. "Sungguh suatu kehormatan untuk dipilih, jadi kita harus berpikir baik-baik, yang kita pilih haruslah orang yang memang pantas mendapat kehormatan itu." "Bolehkah aku berjalan bersamamu dalam perjalanan pengamatan alam nanti?" Kathleen bertanya pada Joan. "Elizabeth tidak bisa ikut, ia harus berlatih musik dengan Richard." "Boleh," kata Joan. "Tetapi jangan datang terlambat, sebab aku yang harus memimpin nanti. Jadi kalau kau ingin berjalan bersamaku, kau harus datang tepat pada waktunya." Kathleen datang tepat pada waktunya. Kedua anak itu berangkat dengan membawa buku catatan mereka, diikuti anak-anak lain yang juga berjalan berdua-dua. Mereka diharuskan mencari bunga ivy, jenis tanaman sulur-suluran, santapan terakhir serangga-serangga musim itu. Mereka harus mencatat dan menggambar serangga-serangga yang mereka dapati pada bunga tersebut. Sungguh menyenangkan berjalan-jalan berdua di sepanjang jalan setapak dan melintasi padang. Matahari musim dingin yang pucat bercahaya lembut, langit pun berwarna biru muda. Semua pohon sudah tak berdaun lagi, kecuali pohon pinus dan pohon fir yang ujung daun-daunnya berkilauan karena tetesan embun beku. Kathleen menggumamkan sebuah lagu sambil matanya mencari bunga ivy. Joan memandang heran padanya. "Aneh juga perubahan yang terjadi pada seseorang," kata Joan. "Semester yang lalu aku menyaksikan betapa Elizabeth yang badung dan nakal berubah menjadi baik dan manis. Aku dan Robert yang semula pemalu dan selalu merasa kesepian berubah menjadi senang bergaul. Dan kini kau juga berubah!" "Ya, aku tahu," kata Kathleen. "Tetapi ada satu hal dariku yang tak bisa berubah, Joan. Aku tetap seorang penakut." "Apa maksudmu?" tanya Joan heran. "Apakah kau takut pada sapi, misalnya?" "Tidak, tentu saja tidak," jawab Kathleen. "Aku takut akan pikiran orang lain. Itu lebih mengerikan daripada sapi! Tak seorang pun kecuali kau, Jenny, Nora, dan Elizabeth yang tahu perbuatan jahatku. Oh, ya, juga William dan Rita tentu. Dan aku tahu pasti, misalkan saja yang berbuat itu kau, atau Jenny, atau Elizabeth, pastilah kalian dengan berani mengakuinya di hadapan seisi sekolah waktu Rapat Besar. Tetapi aku tak berani berbuat seperti itu," "Tetapi mengapa tidak?" tanya Joan. "Kau tahu bahwa seluruh murid akan sangat memuji keberanianmu mengaku. Dan ini akan mengurangi rasa marah mereka pada perbuatan jahatmu. Lain halnya kalau, entah karena apa, tersebar berita bahwa kaulah yang berbuat keji dan tidak mau mengaku. Semua akan tambah membencimu. Bahkan kau sendiri akan merasa benci pada dirimu. Itu semua hanya tergantung pada caramu mengambil keputusan. Semua orang memiliki keberanian yang sama. Hanya ada yang tidak bisa memutuskan kapan menggunakan keberanian tersebut." "Benarkah begitu?" tanya Kathleen. "Maksudku, apakah aku juga punya keberanian? Apakah aku bisa menggunakannya bila aku menghendakinya? Aku tidak harus menjadi penakut?" "Kau sungguh tolol," kata Joan menggandeng tangan Kathleen. "Sungguh! Tak seorang pun harus menjadi penakut. Setiap orang bisa menggunakan keberanian mereka pada saat mereka memutuskan untuk menjadi berani. Cobalah di Rapat nanti. Kau akan mengerti apa yang kumaksud." Saat itu mereka menemukan sekelompok bunga ivy yang sedang berkembang, dan percakapan mereka pun terputus. Mereka sibuk menulis dan menggambar. Namun Kathleen sesungguhnya masih memikirkan kata-kata Joan. Sungguh bagus sekali kalau kata-kata itu benar Kalau memang semua orang punya keberanian tersembunyi, tak perlu ada penakut di dunia ini! Mereka tinggal menentukan saja kapan harus menggunakan keberanian itu. "Akan kucoba apakah aku bisa menggunakan keberanianku di Rapat berikutnya," kata Kathleen dalam hati, walaupun makin dipikir ia makin takut. "Sungguh mengecilkan hati melihat anak-anak lain dengan mudah berdiri dan memberikan pengakuan mereka, sementara aku membuka mulut saja tak berani." Sore itu sewaktu Rapat akan dimulai, Kathleen duduk dengan kaki gemetar, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia tak berkata apa-apa pada sahabatnya. Dan Rapat pun mulai. Uang dikumpulkan, dibagikan, lalu diberikan tambahan pada mereka yang membutuhkan-ada yang ditolak, ada yang diterima. Kemudian sampailah pada acara keluhan dan laporan. Hanya ada satu laporan dan satu keluhan. Semuanya ditanggapi dengan cepat. Kemudian sebelum melanjutkan acara dengan pemilihan Pengawas baru, William minta waktu untuk bicara. "Ada pengumuman sedikit," katanya. "Dengan ini diumumkan bahwa Fred telah kembali ke kamar tidurnya, dan kini ia tak lagi mendengkur." Semua tertawa dan beberapa anak malah bertepuk tangan. Fred ikut tertawa. Kemudian William minta agar hadirin tenang. "Aku juga ingin mengumumkan bahwa berdasarkan pengamatan banyak orang, maka dengan bangga dan gembira kami menyatakan sangat puas akan perkembangan yang terjadi pada diri Robert. Dari semua Pengawas, Rita dan aku menerima laporan-laporan yang sangat memuaskan. Dari pengurus kuda didapat keterangan bahwa ia hampir tak bisa bekerja lagi tanpa Robert." Robert berseri-seri kegirangan. Dan semua hadirin juga merasa senang bahwa bantuan mereka untuk memperbaiki pribadi Robert telah berhasil dengan baik. Dan saat itulah Kathleen mendapatkan keberaniannya. Tahu-tahu ia sudah berdiri, kakinya tak lagi gemetar dan suaranya mantap. Ia memandang para Hakim dan Dewan Juri lurus ke depan. "Aku ingin mengatakan sesuatu yang mestinya sudah kukatakan sejak dulu," kata Kathleen. "Aku ingin menyatakan bahwa akulah sesungguhnya yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan pada Robert. Sebelum ini aku terlalu takut untuk mengakui perbuatanku itu." Hening seketika. Semua orang terpesona. Mereka yang belum tahu merasa terkejut akan kenyataan itu. Mereka yang sudah tahu terkejut melihat keberanian Kathleen. Apa yang menyebabkan anak itu mengaku? Kemudian Rita berbicara, "Lalu apa yang membuatmu berani mengaku kali ini?" "Sesuatu yang dikatakan Joan padaku," kata Kathleen. "Ia berkata bahwa tak ada perlunya bagi seseorang untuk merasa takut. Menurutnya semua orang punya keberanian, yang jadi soal adalah bagaimana kita bisa menggali keberanian itu dan menggunakannya. Aku telah menggali keberanianku, dan menggunakannya. Joan memang benar. Kini aku tak merasa takut lagi." "Terima kasih, Kathleen," kata Rita. Kathleen duduk. Kepalanya terasa ringan. Seakan beban berat telah diambil dari pundaknya. Ia telah mendapatkan keberaniannya dan tak akan melepaskannya lagi. "Kita takkan membicarakan lagi apa yang baru saja diakui oleh Kathleen," kata Rita. "Kami sangat gembira bahwa akhirnya ia punya keberanian untuk mengaku. Tentu saja aku dan William sudah mengetahuinya, dan kami berharap suatu hari ia akan cukup berani mengaku pada kalian semua. Kini ia sudah mengakui perbuatannya, dan kami semua sangat senang." "Kini kita akan melanjutkan acara dengan pemilihan Pengawas baru," kata William. "Eileen, tolong bagikan kertas-kertas suara." Kertas yang dipotong kecil-kecil itu dibagikan. Setiap anak menuliskan nama anak yang dipilihnya, nama seseorang yang mereka anggap cukup baik untuk dijadikan Pengawas. Kertas-kertas tadi kemudian dikumpulkan oleh Juri, dibuka, dan dihitung. Tiga nama yang memiliki suara terbanyak disisihkan. Dan anggota Dewan Juri memilih dari ketiga anak ini, siapa yang dianggap terbaik. Juri-juri ini juga menulis di kertas, yang secara tertutup diberikan pada kedua Hakim. William dan Rita membuka kedua belas kertas itu dan membaca pilihan Dewan Juri. Mereka berunding dengan suara perlahan, sementara hadirin menunggu dengan perasaan tegang, sunyi senyap, menunggu siapa yang akan terpilih. Kemudian William mengetuk meja. Kesunyian makin terasa. "Tampaknya tak terlalu sulit untuk menjatuhkan pilihan kali ini," kata William. "Tampaknya hampir semua di antara kalian telah memilih nama yang sama. Nama ini muncul di hampir semua kertas suara. Joan Townsend!" Riuh rendah sorak-sorai dan tepuk tangan. Muka Joan merah padam bagaikan kepiting rebus. Ia sama sekali tak menduga akan terpilih! Agaknya seluruh isi sekolah telah mendengar betapa bijaksananya Joan dari apa yang dikatakan oleh Kathleen. Kini Joan memperoleh pahalanya. Ia jadi Pengawas! "Kami memperoleh laporan yang sangat baik tentang dirimu dari para Pengawas," kata Rita. "Kami tahu bahwa kau bisa dipercaya, kau baik hati, dan cukup bijaksana bila mengingat umurmu. Kami yakin kau akan berusaha sebaik mungkin untuk sekolah kita. Majulah dan duduklah di meja Pengawas, Joan. Kami dengan gembira menerimamu di meja Juri." Joan pergi ke meja Juri, bangga dan bahagia. Elizabeth bertepuk tangan sekeras-kerasnya. Ia begitu bangga dan gembira karena Joan memperoleh kehormatan itu. "Joan pantas menerimanya," batin Elizabeth. "Sangat pantas! Ya Tuhan, senang sekali kalau aku bisa jadi Pengawas. Tetapi kurasa aku sama sekali tak punya bakat untuk itu. Sama sekali tidak." 24. Pengalaman yang Mengerikan Bulan Desember tiba. Sekolah Whyteleafe sibuk mempersiapkan berbagai pertunjukan untuk akhir semester nanti. Cuaca sering buruk, sehingga banyak kegiatan di luar gedung terpaksa dibatalkan. "Bahkan untuk berkebun juga tak baik," gerutu John, kemudian melihat ke luar jendela. "Tanah begitu lembek sehingga malah tak bisa digali." "Bisa sih bisa tapi kau akan basah kuyup," kata Joan. "Seharusnya kaucari kesibukan lain. Tapi mestinya kau akan sibuk menekuni buku-buku berkebunmu." Joan bangga sekali menjadi Pengawas. Dilakukannya semua tugasnya dengan sepenuh hati dan penuh kebanggaan. Diperhatikannya betul-betul bahwa anak-anak di bawah pengawasannya tak ada yang melanggar peraturan. Dan bila mereka datang padanya minta bantuan atau pertolongan, maka ia berusaha keras untuk bisa membantu, paling tidak dengan nasihat. Ia juga harus bertindak selalu bijaksana dan sabar, dan ini tak begitu sulit baginya, karena pada dasarnya ia memang anak yang bijaksana dan baik hati. Elizabeth merasa sangat gembira Joan menjadi Pengawas. Ia sama sekali tidak merasa iri, walaupun ia punya keinginan juga menjadi Pengawas. Lagi pula Joan telah berada lebih lama darinya. Ia harus menunggu gilirannya dengan sabar-walaupun sabar bukan termasuk salah satu sifat Elizabeth. Elizabeth dengan tekun berlatih musik, dan melatih duetnya dengan Richard berkali-kali. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bermain sangat bagus di bidang musik. Pak Lewis sering sekali memujinya. "Elizabeth, kau berlatih terlalu rajin. Permainanmu sungguh luar biasa baiknya semester ini." Elizabeth merasa bangga. Asyik! Akan ditunjukkannya pada semua orang betapa pandainya dia bermain musik. Kalau ayah-ibunya hadir, pasti mereka akan heran dan bangga melihat dia memainkan duet yang begitu sulit dengan seorang anak sebesar Richard. "Kau tampaknya jadi terlalu sombong akan permainanmu, Elizabeth," kata Richard suatu sore. Richard kalau bicara memang selalu ceplas-ceplos, tidak pernah dipikir sebelumnya, kadang-kadang memang menyakitkan hati. "Sayang sekali. Aku menyukai permainanmu. Tetapi aku tak suka bila kau jadi sombong karenanya," "Jangan bicara begitu, Richard," kata Elizabeth, meluap amarahnya tetapi ditahannya. "Bukankah aku tidak berkata padamu bahwa kau juga sombong?" "Tidak. Sebab aku memang tidak sombong," jawab Richard. "Aku tahu benar aku punya bakat musik. Aku tahu benar itu anugerah Tuhan, sesuatu yang membuatku bersyukur. Dan aku akan selalu menggunakan bakatku itu sebaik mungkin. Tetapi aku takkan pernah menyombongkannya." Elizabeth merasa tersinggung. Terutama karena ia tahu bahwa kata-kata Richard ada benarnya. Ia memang sedikit besar kepala karena terlalu sering dipuji! "Tetapi mengapa aku tak boleh membanggakan kepandaianku," pikir Elizabeth. "Aku tidak memiliki bakat hebat seperti Richard. Kepandaianku karena hasil jerih payahku, sudah selayaknya aku patut berbangga, bukan?" Karenanya Elizabeth tetap saja merencanakan untuk memamerkan kepandaiannya pada pertunjukan akhir semester. Ia akan membuat semua orang kagum akan kepandaiannya memainkan piano. Tetapi memang, siapa sombong akan terdorong, siapa angkuh akan jatuh, dan siapa takabur akan hancur. Elizabeth juga akan tahu itu-dengan cara yang cukup mengerikan. Elizabeth, Robert, John, dan Kathleen telah merencanakan untuk pergi berkuda di suatu sore, sebelum waktu latihan olahraga. Peter mendadak muncul dan minta pada Robert agar ia juga diperbolehkan ikut. "Tidak bisa, Peter," kata Robert. "Kuda yang biasa kau tunggangi pincang, dan kau belum begitu bisa menguasai yang lain. Tunggu saja sampai kudamu sembuh." "Oh, biarkan aku naik kuda yang lain," pinta Peter. "Kau kan tahu, aku sudah cukup bisa berkuda." "Biarlah dia ikut, Robert," kata Elizabeth. "Ia bisa naik Tinker." "Tetapi Tinker hari ini agak aneh," kata Robert. Baiklah, kita lihat saja nanti. Kalau keadaan Tinker membaik jam dua nanti, kau boleh ikut." Sudah pukul dua. Robert ternyata tak tampak di kandang. Yang lain sudah berkumpul. Elizabeth memasang pelana pada kuda-kuda yang akan mereka tunggangi. Dan Robert belum juga muncul. "Sialan," keluh Elizabeth. "Ini sudah jam dua lebih sepuluh menit. Ke mana sih si Robert? Kita membuang-buang waktu saja." Peter cepat berlari untuk mencari Robert. Tetapi beberapa menit kemudian ia telah kembali dan berkata bahwa ia tak bisa menemukan Robert. "Yah, kalau kita ingin berkuda, sebaiknya cepat berangkat," kata Elizabeth. "Bisa habis waktu kita nanti," Ia memanggil pengurus kuda. "Hai, Tucker! Bolehkah aku memasang pelana si Tinker?" katanya. "Apakah Tinker sudah baik?" "Dia tampaknya agak gelisah. Nona," sahut Tucker. "Cobalah lihat sendiri." Elizabeth pergi ke kandang Tinker. Kuda kecil itu segera menciumi tangannya. Elizabeth menggaruk-garuk hidung Tinker dan berpikir, "Tampaknya kuda ini baik-baik saja." Dan ia berkata pada Peter, "Kurasa kuda ini sudah baik, Peter. Baiklah kupasangkan pelanamu. Aku yakin Robert akan berkata bahwa kau boleh menungganginya." Cepat-cepat Elizabeth memasangkan pelana pada Tinker, dan Peter langsung melompat ke punggung kuda itu. Keempat anak itu tak lama kemudian sudah berkuda di padang rumput. Rambut anak-anak perempuan melambai-lambai ditiup angin. "Kita tak punya banyak waktu!" seru Elizabeth. "Tinggal dua puluh menit! Setelah sampai di Bukit Windy, kembali lagi saja!". Mereka berderap di jalan yang menuju ke bukit tersebut. Dan sesuatu terjadi! Ketika mereka menikung, dari arah depan ternyata sebuah mesin penggilas muncul, men-deru-deru dan menderam-deram. Tinker melonjak ketakutan. Peter mencengkeram kendalinya. Cepat Elizabeth memajukan kudanya, mencoba menyambar kendali Tinker. Tetapi Tinker mengibaskan kepala, meringkik keras dan melesat memasuki sebuah gerbang yang terbuka ke arah sebuah padang. Dan Tinker melarikan diri! Ketiga anak yang tertinggal itu sesaat ternganga ketakutan, kasihan sekali Peter! Dibawa lari Tinker, berpegangan erat-erat ketakutan, sementara kudanya bagaikan gila berlari menyeberangi padang berbatu menuju Bukit Windy. "Akan kukejar dia!" teriak Elizabeth. Dibelokkannya kudanya, berpacu cepat memasuki padang. Ia berteriak pada kudanya, ia menepuk punggung kuda itu. Dan sang kuda mengerti ia harus mengejar Tinker yang lari tak terkendali itu. Menyeberangi padang berbatu itu Elizabeth mengejar terus, sementara John dan Kathleen terpaku ketakutan. Di kejauhan Tinker juga terus berpacu, membawa Peter di punggungnya. Kuda Elizabeth jauh lebih besar dan lebih cepat daripada Tinker. Dan ia pun sangat senang berlari cepat. Kakinya mendepak keras membuat kerikil beterbangan. Dan Elizabeth terus saja membujuk agar ia berlari lebih cepat lagi! Untunglah ia cukup pandai berkuda dan ia sangat mempercayai kudanya. Mereka berpacu terus, dan makin lama makin dekat dengan Tinker. Saat itu Tinker sudah mulai terengah-engah, sebab mulai menanjak lereng Bukit Windy yang terjal. Kini ia mulai menderap lambat, sementara Peter berusaha keras menghentikannya. Tetapi Tinker masih ketakutan. Elizabeth terus berpacu dan akhirnya menyusul Tinker. Tetapi Tinker jadi ketakutan lagi melihat kedatangannya. Ia menjulurkan leher dan mulai berlari cepat kembali. Untung Elizabeth berhasil menyambar cepat kendalinya. Dan saat Tinker merasakan tangan kecil tapi kuat menahan kendalinya, ia mulai tenang. Elizabeth membujuknya terus. Elizabeth tahu cara berbicara dengan kuda. Tinker hanya sekali mencoba membebaskan diri, kemudian dengan patuh ia memperlambat langkahnya, gemetar sekujur badannya. Peter juga gemetar. Ia segera turun. Elizabeth melompat turun dari kuda dan cepat memegang kepala Tinker. Dalam beberapa menit saja ia telah membuat tenang kuda itu. Tetapi ia belum berani menungganginya. "Peter, naikilah kudaku dan pergilah ke anak-anak yang lain," kata Elizabeth. "Aku akan menuntun Tinker pulang. Katakan pada pengurus kuda, apa yang terjadi. Dan katakan pada Pak Warlow aku tak bisa datang tepat pada waktunya untuk latihan. Cepat berangkatlah!" Peter naik kuda Elizabeth segera pergi menemui yang lain. Rasa takutnya segera hilang dan ia mulai membual pada John dan Kathleen tentang pengalamannya di atas kuda yang melarikan diri tadi. Ketiga anak tersebut langsung pulang, menyampaikan pesan-pesan Elizabeth-sementara Elizabeth harus berjalan menuntun Tinker, menempuh jarak yang lumayan jauhnya! Tak lama Elizabeth sudah merasa letih dan kesal. Kejadian tadi mengakibatkan suatu kecelakaan yang mengerikan. Mungkin saja Peter jatuh dan luka parah. Mengapa ia memperbolehkan Peter menaiki Tinker sebelum dapat persetujuan dari Robert? Tapi Robert juga salah, mengapa ia tidak datang pada waktu yang sudah ditentukan? Tangan kirinya terasa sakit. Tadi ia telah menggunakan tangan itu untuk menyambar tali kendali Tinker. Dan agaknya karena tarikan Tinker maka terjadi salah urat pada tangan kirinya itu. Kini dimasukkannya tangan itu ke dalam mantelnya, berharap semoga kehangatan bisa membuatnya lebih baik. Sungguh sengsara ia berjalan menyeberangi padang dan menyusuri jalan sambil menuntun kuda yang mendengus-dengus dan terengah-engah karena kelelahan. Pengurus Kuda tampak gusar waktu ia datang. Robert juga lari keluar dan langsung memarahinya. "Elizabeth, sudah kudengar semuanya!" kata Robert. "Sungguh tolol kau memperbolehkan Peter naik Tinker. Aku terpaksa terlambat datang karena harus mengerjakan sesuatu untuk Pak Johns. Mestinya kau menunggu sampai aku datang! Kalau saja kau menungguku, peristiwa ini takkan mungkin terjadi, sebab pasti aku takkan mengizinkan Tinker ditunggangi. Kau ini selalu saja tak pernah berpikir kalau bertindak!" Elizabeth begitu letih, tangannya begitu sakit. Tak terasa air matanya mengalir. "Bagus sekali, kau jadi bayi sekarang, ya!" Robert berkata mengejek. "Kaukira kalau kau menangis aku akan kasihan? Lalu aku takkan memarahimu? Dasar anak perempuan! Untung saja Peter dan Tinker tidak apa-apa." "Oh, Robert, jangan terlalu keras memarahiku," Elizabeth tersedu-sedu. "Tanganku sakit sekali, dan aku memang sangat menyesal telah memperbolehkan Peter naik Tinker." "Coba kulihat tanganmu," kata Robert agak lebih lembut. Ternyata pergelangan tangan Elizabeth bengkak "Cepat pergi ke Ibu Asrama. Tampaknya cukup gawat tanganmu ini. Jangan terlalu bersedih, nasi sudah jadi bubur! Lain kali berpikirlah dua kali sebelum mengambil keputusan." "Bukan karena itu aku menangis," kata Elizabeth kesal, dan mengusap air matanya. "Aku menangisi kuda yang begitu binal itu, dan tanganku yang begini sakit!" Elizabeth bergegas ke tempat Ibu Asrama. Kasihan benar. Selalu ada saja yang terjadi pada Elizabeth. 25. Elizabeth Sangat Mengesalkan Elizabeth mengetuk pintu Sanatorium. Ibu Asrama sedang berada di dalam, merawat dua orang anak yang sedang sakit. Ibu Asrama keluar mendengar ketukan Elizabeth. "Ada apa?" tanya Ibu Asrama. "Kau tak boleh masuk." "Aku tahu," kata Elizabeth. "Tanganku terkilir. Mungkin Ibu bisa mengobatinya." Ibu Asrama memeriksa pergelangan yang bengkak itu. "Wah, pasti sakit sekali rasanya," katanya. "Bagaimana terjadinya tadi?" Elizabeth menceritakan apa yang terjadi. Ibu Asrama merendam kain perban dalam air dingin dan membebatkannya erat-erat di pergelangan yang sakit itu. "Apakah bisa cepat sembuh?" tanya Elizabeth. "Untung bukan tangan kananku." "Agak lama juga kukira," kata Ibu Asrama. "Jangan digerak-gerakkan, ya. Begini, akan kubuatkan penggantung tangan dari saputangan tua ini, dan kubelitkan ke lehermu. Nah, kurasa ini cukup membantumu." Sudah lewat waktu minum teh. Ibu Asrama mengajak Elizabeth ke kamarnya, dan ia diberi beberapa potong roti bakar. Elizabeth sangat lelah dan pucat. Rasanya ia tak ingin makan apa pun, tetapi tergiur juga ia oleh roti bakar berlapis mentega itu. Tak lama ia telah memakannya sambil minum cokelat yang juga dihidangkan oleh Ibu Asrama. Ketika kemudian ia kembali ke kamarnya, teman-temannya telah menunggunya di ruang bermain. Joan segera berlari menjemputnya, bertanya khawatir, "Elizabeth? Apakah kau luka? Parah?" "Tidak. Hanya sakit sekali rasanya kini," kata Elizabeth. "Tetapi lumayan juga karena Ibu Asrama telah membebatnya. Seperti biasa ini memang salahku sendiri. Aku tak sabar menunggu Robert. Lalu kupasang pelana pada Tinker untuk Peter. Dan ternyata Tinker melarikan diri!" "Kasihan sekali kau," kata Jenny. Robert tak berkata apa-apa. Ia duduk membaca buku. Wajahnya tampak masih marah. Terdengar ketukan di pintu ruang bermain itu. Dan Peter kecil muncul. "Apakah Elizabeth di sini?" tanyanya, kemudian ia melihat Elizabeth. "Oh, Elizabeth bagaimana pergelangan tanganmu? Aku sungguh menyesal. Kurasa kau takkan dapat main piano." Elizabeth belum pernah memikirkan hal itu. Ia ternganga terkejut oleh kata-kata Peter itu. "Ya ampun! Benar juga!" katanya. "Aku lupa itu. Oh, padahal aku ingin sekali berlatih lebih keras lagi minggu ini. Dan kini aku hanya punya satu tangan!" Semua anak merasa kasihan pada Elizabeth. Robert mengangkat kepala dan berkata tenang, "Sayang sekali, Elizabeth. Kuharap tanganmu sudah sembuh nanti pada saat pertunjukan akhir semester" Elizabeth gusar sekali. Tak terasa air matanya mulai menetes lagi, dan cepat-cepat ia berdiri. Ia tak ingin anak lain tahu ia sedang menangis. Ia keluar, dan pergi ke salah satu kamar latihan musik. Sendiri ia duduk di kursi piano, menopangkan kepalanya ke standar buku musik Ia sangat marah pada dirinya, berbuat suatu ketololan yang seperti biasa membuahkan suatu kesulitan baginya sendiri. Richard masuk menggumamkan sebuah lagu. Ia tak melihat Elizabeth, sampai kemudian ia menyalakan lampu. Heran ia melihat Elizabeth sendirian di kegelapan itu. "Ada apa?" tanya Richard. "Mengapa kau menangis?" "Sebab apa yang kaukatakan terjadi," kata Elizabeth dengan sedih. "Kau mengatakan bahwa aku jadi sombong akan permainan pianoku. Dan kau berkata pula yang angkuh akan jatuh. Kau benar. Aku telah melakukan sesuatu yang tolol. Dan pergelangan tanganku kini sakit. Aku takkan bisa main piano bersamamu. Aku takkan bisa memainkan duet denganmu di akhir semester nanti." "Oh, sayang sekali," kata Richard kecewa. "Jadi aku akan terpaksa bermain dengan Harry. Padahal ia jauh sekali darimu, Elizabeth, dalam hal kepandaian bermain piano. Sungguh sial!" "Mestinya kau jangan berkata Yang angkuh mesti jatuh," tangis Elizabeth. "Aku merasa seolah-olah kaulah yang membuat semua ini terjadi." "Oh, sungguh tolol!" kata Richard. "Benar-benar kekanak-kanakan pikiran itu, Elizabeth. Betapapun, bergembiralah. Mungkin keadaan ini takkan seburuk yang kauduga. Sudahlah, sekarang akan kumainkan sebuah lagu untukmu. Turunlah dari kursimu." Elizabeth turun dari kursi piano, dan duduk di kursi di sudut ruangan. Marah dan lelah. Ia tak senang pada Peter dengan kudanya yang melarikan diri. Ia tak senang pada Richard. Ia tak senang pada Robert. Ia tak senang pada dirinya sendiri. Ia marah. Kesal. Lelah. Tak ingin merasa senang pada siapa pun dan apa pun. Tetapi musik Richard membuat segalanya berbeda. Sedikit demi sedikit kerut di kening gadis kecil itu menghilang. Ia menyandarkan diri, merasakan betapa nada-nada lembut piano mengisi kesunyian dalam ruangan itu. Richard tahu benar bahwa musik akan bisa menyejukkan hati Elizabeth. Sebelum lagu Richard habis, Elizabeth menyelinap ke luar, kembali ke ruang bermain. Mungkin pergelangan tangannya akan membaik besok. Mungkin ia terlalu khawatir untuk suatu persoalan kecil. Teman-temannya berpaling waktu ia masuk. "Elizabeth, mari bantu aku menyelesaikan puzzle ini," ajak Kathleen. "Entah yang mana yang bisa masuk tempat ini." Semua bersikap baik padanya. Elizabeth bersyukur. Tetapi ia lebih gembira lagi waktu lonceng tidur berbunyi, sebab kakinya terasa kaku, dan pergelangan tangannya sakit. Ibu Asrama memeriksanya sekali lagi, mengganti bebatnya dan menaruhnya di gantungan tangan. "Lebih baik kau memakai gantungan tangan itu dulu," kata Ibu Asrama, "agar tak banyak bergerak dan tak terlalu terasa sakit." Elizabeth berharap mudah-mudahan sakitnya sembuh bila ia bangun keesokan harinya. Tetapi ternyata tidak, tangannya masih bengkak dan memar, walaupun tak begitu terasa sakit. Ia takkan mungkin main piano! Sungguh sial. Kemudian Elizabeth baru sadar betapa sulitnya mengerjakan hal-hal sepele dengan satu tangan. Ia tak bisa mengikatkan pita rambutnya, la tak bisa menalikan tali sepatunya. Ia tak bisa mandi dengan baik. Ia tak bisa mengancingkan baju. Ia bahkan tak bisa membersihkan hidung dengan leluasa. Teman-temannya semua membantu apa yang mereka bisa lakukan. Tetapi Elizabeth begitu kesal hingga sulit untuk dibantu. Ia tak mau berdiri tenang. Ia menggeleng-gelengkan kepala waktu Joan mencoba merapikan rambutnya. Ia mengentakkan kaki waktu Kathleen mencoba mengancingkan bajunya, sehingga kancing-kancing itu banyak yang salah lubang karena Elizabeth tak bisa diam. "Ya ampun!" seru Joan. "Kau kembali jadi gadis badung sekali lagi! Kau betul-betul menyebalkan bagi semua orang!" "Kau pasti juga begitu bila mengalami kejadian seperti ini," kata Elizabeth marah. "Kalau saja yang sakit tangan kananku, maka aku pasti boleh tidak mengikuti semua ulangan akhir semester. Tetapi karena tangan kiriku yang sakit, maka aku harus tetap mengikuti semua ulangan, sementara aku terpaksa tak bisa mengikuti semua kegiatan yang paling kusukai-olahraga, naik kuda, musik, oh... betul-betul sial aku ini!" Beberapa hari kemudian Ibu Asrama berkata bahwa Elizabeth sudah boleh menggunakan tangannya lagi. Tetapi malang bagi Elizabeth, tangan kirinya itu kini serasa tak punya kekuatan, hingga ia tak berani sering-sering menggunakannya. Dokter juga berkata ia tak boleh memaksa tangan kiri itu, segalanya harus dilakukan secara bertahap. Ia harus bersabar. Itulah salah satu hal yang paling tak bisa dilakukan Elizabeth. Bersabar! Ia sedang gusar, dan itu tak disembunyikannya. Ia cepat tersinggung. Semua anak segera tahu hal itu. Ia marah pada Richard karena kini Richard berlatih duet dengan Harry. Dan ternyata ia juga tak bisa ikut bermain drama, sebab ia berperan sebagai seorang prajurit yang harus melakukan beberapa gerakan dengan senjata-yang tak bisa dilakukannya dengan pergelangan tangannya yang lemah itu. Habis kesabaran Elizabeth. Teman-temannya sangat khawatir akan perkembangannya. Juga sangat kecewa. Mereka membicarakannya terus. "Makin lama ia makin menyebalkan," kata Jenny. "Makin pemarah. Tak seorang pun bisa melakukan sesuatu untuknya. Ada-ada saja alasan baginya untuk murka. Ia tak bisa tidak menaruh kasihan pada dirinya yang telah kehilangan begitu banyak kegiatan yang digemarinya. Sungguh sayang ia tak bisa ikut berolahraga, padahal ia sangat menyukai semua cabang olahraga." "Mari kita pikirkan sesuatu yang bisa dilakukannya," kata Joan. "Misalnya saja ... mungkin ia bisa menghibur George yang masih harus berbaring di Sanatorium, membacakan buku untuknya misalnya. Banyak sekali yang bisa dikerjakan. Elizabeth pandai merancang dan melukis, mungkin ia bisa membantu dengan membuat beberapa buku acara untuk pertunjukan drama kita. Ia toh bisa menulis dan melukis dengan tangan kanan. Kita juga memerlukan mahkota-mahkota emas, Robert berjanji akan membuatnya, dan Elizabeth mungkin bisa membantu mengecatnya dengan cat emas." Semua setuju bahwa bila Elizabeth diberi tugas-tugas, mungkin sekali ia akan melupakan kemarahannya. Maka satu per satu mereka datang ke Elizabeth untuk minta dibantu ini-itu. Elizabeth anak cerdas. Ia segera mencium maksud teman-temannya itu. Mula-mula ia cenderung untuk langsung menolak permintaan mereka-untuk apa ia melakukan sesuatu untuk kesenangan orang lain, padahal dirinya sendiri tak bisa merasa senang? Joan melihat air muka masam Elizabeth, lalu segera menuntunnya keluar. "Mari ikut aku jalan-jalan," kata Joan. "Dan kita bisa omong-omong. Aku kini seorang Pengawas, Elizabeth, dan aku punya hak untuk menasihatimu dan menolongmu." Mereka berjalan-jalan di taman. "Aku tahu apa yang akan kaukatakan," kata Elizabeth. "Kau akan berkata bahwa tingkahku buruk sekali. Aku takkan bisa jadi Pengawas seperti kau, aku takkan bisa melupakan kepentingan diriku sendiri, aku takkan bisa tidak turun tangan bila ada sesuatu yang kuanggap tak beres." "Elizabeth, kau sungguh tolol," kata Joan dengan sabar. "Kau tak tahu apa yang bisa kaulakukan sebelum kau mencobanya. Semester ini tinggal dua minggu lagi. Jangan membuat waktu yang singkat itu tak menyenangkan bagimu. Kami semua menyukaimu, mengagumimu. Janganlah hal kecil seperti sakit pergelangan tanganmu itu membuat perasaan kami padamu berubah, membuat kami tak senang padamu, tak kagum padamu. Kau sesungguhnya memang sangat mengesalkan. Kau membuat segalanya sulit bagi sahabat-sahabatmu." Elizabeth menendang sebuah batu di jalan. Mengapa ia membuat teman-temannya kesal padanya, pikirnya, padahal sakit tangannya adalah karena kesalahannya sendiri. Sungguh ia tak bisa berpikir secara dewasa! Akhirnya Elizabeth memegang lengan Joan. "Baiklah, Pengawas!" katanya. "Akan ku-bantu kau sejauh aku mampu. Aku akan membuat buku acara. Aku akan membacakan buku untuk George, aku akan mengecat mahkota emas itu. Kalau tinggal dua minggu saja aku tak bisa bersikap baik, sungguh keterlaluan, bukan?" "Sesungguhnya karena kami tahu bahwa kau mempunyai pribadi yang kuat, maka kami tak rela tiba-tiba kau berkepribadian lemah," kata Joan. "Baiklah, lakukanlah apa saja yang kaurasa baik." Sekali Elizabeth membuat keputusan, maka keputusan itu pasti dilakukannya. Seperti juga ia bisa tak sabaran, maka ia pun bisa bersabar hati. Seperti juga ia bisa jadi pemurung, ia pun bisa bersikap ceria. Dan perubahan ini berlangsung seketika! Ia langsung membuat rencana buku acara. Ia bisa memegang kertas dengan tangan kiri, hingga dengan mudah ia bisa menggambar dengan tangan kanan. Tak lama ia sudah menyelesaikan enam buah buku acara. Indah dan menarik, dan dikagumi teman-teman sekelasnya. Elizabeth sangat gembira. "Kini aku akan menjadi anak baik dan aku akan mengunjungi George. Akan kubacakan sebuah buku untuknya," katanya sambil tersenyum riang pada siapa saja. Begitu ia keluar ruangan, semua tertawa. "Ia memang bukan main badungnya, tetapi kita menyukainya," kata Jenny. Dan semua anak setuju pada pendapat itu. 26. Kejutan Manis Minggu terakhir semester. Ulangan dilakukan setiap hari. Semua bekerja keras untuk meraih nilai-nilai terbaik. Terutama Elizabeth, Robert, dan Kathleen. Mereka belajar lebih keras dari anak-anak lain! Elizabeth ingin berada di urutan teratas di kelasnya. Begitu juga Robert. Sedangkan Kathleen ingin mendapat angka tertinggi paling tidak di salah satu mata pelajaran, dan bisa berada pada posisi mendekati urutan teratas. "Alangkah senang bila bisa kukatakan pada Ibu bahwa aku mencapai angka tertinggi di salah satu pelajaran," pikir Kathleen. "Dulu aku selalu dekat dengan kedudukan juru kunci, dan Ibu tak pernah marah padaku. Akan merupakan kejutan yang manis baginya bila ternyata aku meraih angka tertinggi di salah satu mata pelajaran!" Pergelangan tangan Elizabeth sudah jauh lebih baik. Tetapi ia masih tak boleh menggunakannya untuk main piano, atau berkuda, atau berolahraga, atau menggali tanah di kebun, atau bersenam. Sungguh sial nasibnya. Di pertunjukan akhir nanti ia ikut paduan suara. Hanya itu. la tidak main drama, dan tidak main duet dengan Richard-Harry yang menggantikan tempatnya. Ia mencoba bersikap ceria. Ia berusaha agar tak ada yang tahu bahwa sesungguhnya kadang-kadang ia merasa sangat sedih. Ia telah mencoba bangkit dari kesedihannya dan berusaha keras untuk membantu yang lain, dengan cara apa pun. Ia telah mengecat mahkota-mahkota untuk pertunjukan drama. Ia telah membuat lukisan pemandangan untuk latar belakang drama tersebut. Dan semua mengatakan lukisan pemandangannya sungguh indah. Ia telah membuat dua belas buku acara terbaik yang pernah dibuat di sekolah itu. Bu Belle akan menerima salah satu buku acara itu. Begitu juga Bu Best dan Pak Johns. Elizabeth sungguh bangga karenanya. Ia telah membacakan buku bagi George. Menemaninya memainkan berbagai permainan tiap hari, sampai George boleh meninggalkan Sanatorium. Sementara itu berbagai pekerjaan kecil Ibu Asrama dikerjakannya pula. Ia tak bisa membantu John di kebun seperti biasanya, tetapi ia bisa membantu menulis daftar benih bunga yang akan ditanamnya musim semi nanti. Ia pun dengan penuh perhatian mendengarkan cerita John tentang apa yang sedang dikerjakannya di kebun bersama Peter. "Elizabeth sungguh luar biasa," kata Joan suatu hari kepada teman-temannya. "Ia bisa jadi anak paling badung di sekolah kita, ia bisa juga jadi anak terbaik!" Elizabeth ikut menonton pertandingan hockey, atau lacrosse. Ia bersorak-sorai gembira walaupun dalam hati ia merasa sedih karena tak bisa ikut main. Sungguh tidak menyenangkan untuk tidak bisa melakukan apa saja yang disenanginya. "Satu hal yang paling kusukai pada dirimu, Elizabeth," kata Richard, "adalah kemampuanmu untuk menanggung kesedihan dengan hati riang." Rasanya dua minggu terakhir semester ini Elizabeth memberikan kesan tersendiri bagi semua murid Whyteleafe. Waktu yang dua minggu itu membuat nama Elizabeth. membubung tinggi di mata mereka. Apa pun yang dilakukannya di masa lampau, terhapus oleh apa yang dilakukannya saat itu. Semua anak mengaguminya. Semua tahu betapa pemarah-nya dia dulu, tak sabaran dan bandel! Mereka tahu pasti, sangat berat untuk mengubah pribadi seperti itu menjadi seorang yang selalu ceria, sabar, dan siap membantu anak lain. Semua bangga pada Elizabeth. Akhirnya hari terakhir tiba. Pertunjukan akhir semester yang dinanti-nantikan itu pun tibalah. Sore yang sangat semarak. Semua orangtua murid yang tak berhalangan, datang untuk menyaksikannya. Ayah-ibu Elizabeth, Tuan dan Nyonya Allen, juga hadir. Mereka tinggal di sebuah hotel di dekat Whyteleafe, agar keesokan harinya bisa membawa Elizabeth pulang. Elizabeth gembira sekali dengan kedatangan ayah-ibunya. Dipeluknya keduanya erat-erat. Keduanya merasa sedih bahwa pergelangan tangan yang sakit membuat Elizabeth tak jadi bermain di panggung. Tetapi keduanya sangat mengagumi buku acara yang khusus dibuat oleh Elizabeth. "Ini kubuat untuk Ayah dan Ibu," kata Elizabeth bangga. "Bagus, bukan? Ketiga pimpinan sekolah juga memiliki buku acara buatanku. Dan, Ibu, pada pementasan drama nanti harap Ibu perhatikan mahkota-mahkota emasnya. Semuanya aku yang mengecat. Begitu juga pepohonan di panggung." Pertunjukannya sukses. Dramanya lucu, hadirin tertawa terpingkal-pingkal. Jenny dan Kathleen sangat bangga karena merekalah yang menulis skenarionya. Richard memainkan biolanya dengan sangat indah memesona, kemudian ia berduet dengan Harry pada piano, nomor yang sesungguhnya akan dimainkan oleh Elizabeth. Elizabeth merasa sedih mendengarkan duet tersebut, tetapi ia berhasil memaksa diri untuk tersenyum dan bertepuk tangan paling keras saat duet itu berakhir. Dari sudut matanya Elizabeth melihat bahwa Jenny, Joan, Robert, dan Kathleen memperhatikannya. Ia tahu bahwa keempat sahabatnya itu pasti bangga padanya, sebab ia masih mampu tersenyum dan bertepuk tangan, walaupun mereka tahu dalam hati ia sangat kecewa. Di akhir pertunjukan hasil ulangan umum terakhir diumumkan. Elizabeth mendengarkan dengan dada berdebar keras. Begitu juga Robert dan Kathleen. Jenny tidak begitu peduli, asal dekat dengan kedudukan puncak ia sudah akan merasa senang. Kathleen lebih tegang sebab tahu ia telah berusaha keras. Paling tidak jangan sampai ia masih berada dekat dengan juru kunci. Akhirnya Bu Belle sampai pada laporan untuk kelas Elizabeth. "Bu Ranger berkata bahwa kelas ini telah membuat kemajuan pesat. Semuanya berusaha keras," katanya. "Beberapa orang murid memperoleh kemajuan luar biasa. Di tempat pertama Elizabeth Allen dan..." Tetapi kata-kata Bu Belle terputus oleh sorak-sorai gemuruh. Semuanya tampaknya sangat gembira bahwa Elizabeth mencapai kedudukan puncak di kelasnya. Robert juga bertepuk tangan kuat-kuat. Ia berharap ia bisa mencapai kedudukan nomor dua. Tadinya ia memang mengincar kedudukan pertama, tetapi, yah, nomor dua pun boleh. Bu Belle mengangkat tangan minta agar anak-anak diam. "Tunggu sebentar," katanya. "Biarkan aku menyelesaikan kalimatku. Di tempat pertama: Elizabeth Allen dan Robert Jones! Keduanya mencapai nilai yang sama, maka keduanya menduduki tempat pertama!" Robert duduk tegak. Wajahnya berseri oleh rasa terkejut dan gembira. Jadi ia dan Elizabeth menduduki tempat teratas bersama-sama! Ini jauh lebih menyenangkan daripada berada sendirian di puncak teratas. Elizabeth yang duduk di belakangnya langsung menepuk punggungnya keras-keras. "Robert," kata Elizabeth dengan wajah bersinar gembira. "Alangkah senangnya! Aku lebih suka berada di puncak teratas bersamamu daripada sendirian! Sungguh!" Robert mengangguk dan tersenyum. Ia tak bisa berbicara karena begitu gembira. Ia tidak sepandai Elizabeth, jadi keberhasilannya mencapai puncak teratas adalah semata-mata hasil kerja kerasnya! Betapa bangganya ayah dan ibunya, tampak dari tempat dia duduk. Bu Belle terus membaca daftarnya. Jenny keempat. Joan kelima. Dan kedua anak itu sangat gembira. Kathleen keenam, jauh dari kedudukan juru kunci. Dan ia memperoleh nilai terbaik di mata pelajaran sejarah! Pipinya memerah saat Bu Belle membacakan hal itu. Ia dekat kedudukan puncak, dan mendapat nilai tertinggi dalam sejarah! Kathleen berpaling ke arah tempat duduk para tamu. Dilihatnya wajah ibunya. Sekali lihat saja Kathleen merasa ibunya sama bangganya dengan ibu-ibu lain! "Aku tak tahu apa yang dilakukan oleh Whyteleafe pada Kathleen-ku," pikir ibu Kathleen. "Ia tampak berbeda. Tadinya ia begitu biasa wajahnya. Kini tampak cantik bila tersenyum. Dan betapa bahagia dan riangnya ia berkumpul dengan teman-temannya!" Suatu sore yang indah. Dan malam harinya Rapat Besar terakhir diadakan. William baru mengumumkan bahwa akan ada suatu kejutan nanti setelah segala kegiatan tetap selesai dilaksanakan. Kotak uang dikosongkan, isinya dituang di meja dan dibagi rata untuk semua murid. Ini selalu dilakukan setiap akhir semester. Anak-anak gembira menerimanya, sebab ini berarti mereka akan memulai masa liburan mereka dengan sejumlah uang di saku. Kemudian William berkata, "Dengan sangat menyesal aku mengumumkan bahwa kita akan kehilangan Kenneth dalam semester mendatang. Ayah-ibu Kenneth akan pergi ke luar negeri dan ia akan ikut mereka. Maka kita takkan bertemu dengannya lagi sampai ia kembali. Dan itu mungkin memakan waktu enam bulan." Keadaan hening. Semua mendengarkan dengan penuh perhatian. "Di sini aku merasa terpanggil untuk berkata, bahwa kami sangat berterima kasih pada Kenneth. Ia telah melakukan tugasnya sebagai Pengawas dengan sangat baik dan bijaksana selama beberapa semester. Ia telah melakukan banyak sekali tindakan yang menggambarkan kebaikan hatinya, tindakan yang sering tidak pernah kita ketahui dan hanya dinikmati oleh mereka yang dibantunya. Kami akan sangat kehilangan dia, dan kami akan sangat gembira bila ia kelak kembali ke tengah-tengah kita," "Terima kasih," sambut Kenneth dengan muka merah. Ia seorang anak yang pendiam dan pemalu, tetapi sangat disukai oleh semua anak. Seluruh sekolah memang merasa kehilangan atas Kepergiannya. "Karena Kenneth takkan berada di antara kita semester mendatang, maka kita harus memilih seorang Pengawas baru untuk menggantikannya," kata William kemudian. "Kalau kalian kehendaki, tentu saja George bisa kembali menjadi Pengawas, menggantikan Kenneth. Tetapi kalian boleh juga memilih orang lain, yang kalian anggap patut menjadi Pengawas. Nora, bagikan kertas suara." Nora berdiri, membagikan secarik kecil kertas kepada setiap murid yang ada di situ. Anak-anak itu agak lama termenung, berpikir. Agak sulit juga tiba-tiba harus memilih, tanpa lebih dahulu mereka membicarakannya. Elizabeth menggigit-gigit pensilnya. Ia menulis nama siapa? Akhirnya ia memutuskan untuk memilih nama John Terry-walaupun dalam hati ia merasa bahwa John bukanlah pilihan yang tepat untuk dijadikan Pengawas dengan hanya satu hal yang sangat diketahui oleh John. yaitu berkebun. Tetapi tak apa kalau anak itu diberi kesempatan. Maka akhirnya Elizabeth menulis di kertasnya: John Terry. Segera juga yang lain selesai menulis. Kertas-kertas dikumpulkan oleh Dewan Juri, dibuka dan dihitung. Setelah diketahui nama tiga calon dengan suara terbanyak, para Juri menuliskan pilihan mereka, dan menyerahkannya pada kedua Hakim. William dan Rita membaca kertas-kertas pilihan para Juri, membicarakannya dengan perlahan. Kemudian William mengetuk meja. "Tiga buah nama telah memperoleh suara terbanyak," kata William. "John Terry, Robert Jones, yang terutama dipilih oleh anak-anak kecil dan kau mesti bangga untuk itu, Robert, dan Elizabeth Allen!" Terlompat Elizabeth dari tempat duduknya. Tak pernah terpikir olehnya bahwa ada yang memilih namanya. Tak pernah terpikir olehnya ada anak yang menganggap dia cukup bijaksana untuk jadi Pengawas! Suatu kejutan besar! "Dalam semester ini, kita telah mendengar banyak tentang Elizabeth Allen," kata William selanjutnya. "Ada yang baik, ada yang buruk. Tetapi baik Rita maupun aku telah memperhatikan betapa baiknya Elizabeth menanggung beban kekecewaan akhir-akhir ini. Ia melupakan kekecewaannya, melupakan kepentingan dirinya dan giat membantu anak lain, membantu kelasnya. Maka tak heran bila cukup banyak yang memilih dia," "Kami tahu bahwa kekecewaannya itu datang padanya karena ulahnya sendiri," Rita melanjutkan kata-kata Robert. "Tetapi kita tak boleh lupa bahwa ia sampai mengorbankan pergelang-an tangannya karena mencoba menghentikan kuda Peter. Itu suatu tindakan yang sangat berani. Elizabeth, kau memang campuran berbagai sifat. Kau bisa berbuat konyol, tapi kau juga bisa berlaku bijaksana. Kau bisa tak sabaran, tapi kau juga bisa bersabar. Kau bisa bertindak keji, tapi kau juga bisa baik hati. Di atas semua itu kita tahu bahwa kau selalu berusaha untuk berlaku adil, bijaksana, dan setia." Rita berhenti sejenak. Elizabeth menunggu, dadanya berdebar keras. Apakah Rita akan mengatakan bahwa ia harus mencoba lagi, berusaha lagi, dan baru semester yang akan datang bisa jadi Pengawas kalau ia berusaha lebih baik? Tidak. Rita ternyata tidak mengatakan begitu. Ia tersenyum pada Elizabeth dan berkata lagi, "Elizabeth, baik aku maupun William telah sangat mengenalmu sekarang. Dan kami yakin bila kami mengangkatmu menjadi Pengawas, kau tidak akan mengecewakan kami. Kau akan memperlakukan anak lain lebih daripada kau memperlakukan dirimu sendiri. Karenanya kami merasa cukup aman untuk memanggilmu maju, dan duduk di meja para Pengawas, serta minta padamu untuk berusaha menjadi yang terbaik dalam semester yang akan datang," Dengan pipi serasa terbakar dan mata bersinar-sinar Elizabeth maju ke meja Juri. Belum pernah ia begitu bangga dan bahagia. Oh, sekarang ia tak peduli lagi ia tak bisa main di pertunjukan sekolah. Ia tak peduli tak bisa main di berbagai pertandingan dan permainan olahraga. Nasib sialnya ternyata telah berubah menjadi nasib yang luar biasa baiknya. Ia telah diangkat menjadi Pengawas! Ya, benar-benar Pengawas! Ia mengambil tempat di samping Joan yang langsung menjabat tangannya dan berbisik gembira, "Oh, Elizabeth, aku senang sekali!" Dan di sinilah kita meninggalkan Elizabeth. Duduk di meja Pengawas, melamunkan berbagai rencana hebat yang akan dilaksanakannya semester berikutnya. Ia jadi Pengawas! Benarkah itu? Anak paling badung itu kini jadi Pengawas? "Walaupun aku jadi Pengawas, mungkin sekali aku masih akan melakukan berbagai tindakan konyol," pikir Elizabeth. "Tetapi tak apa. Aku telah mendapat kesempatan ini. Dan akan kutunjukkan pada semua orang bahwa aku mampu berbuat sesuatu dalam semester nanti!" Saya harap Elizabeth akan mampu membuktikan kemampuannya! -END- Djvu: kiageng80 Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net